Ratih

Oleh: Nur Rochmaningrum

            “Tak terasa sudah tujuh tahun usia anakku,” kata Lina lirih. Matanya terus saja menatap wajah Ratih yang terlelap. Ada kebahagiaan yang entah bagaimana sulit sekali dikatakan. Ia merasakannya, lembut, bahkan lebih lembut dari sutra terbaik sekalipun.

            Hari ini Ratih sangat capek. Ini adalah hari pertama ia masuk sekolah. Setelah selama berbulan-bulan yang lalu Lina berusaha mengenalkan sekolahnya pada Ratih. Ia ingin Ratih siap ketika tiba saatnya ia bersekolah.

Waktu sepertinya terbang melebihi kecepatan angin. Waktu sepertinya bergerak tanpa ia sempat berpikir dan beranjak dari kursi. Ah, tujuh tahun, bukan masa yang singkat. Ia berusaha melewati masa-masa yang sulit bersama Ratih, buah hatinya yang pertama, harapannya, amanah dari Allah yang wajib dijaganya. Sekuat tenaga Lina menyongsong masa depan yang tak kunjung gemilang.

            Tadi pagi Ratih agak malu. Ia berjalan pelan-pelan ketika Bu Astin menyambutnya dengan ramah. Tapi sepertinya ia senang melihat sekolahnya. Satu-satunya Sekolah Dasar Luar Biasa di kotanya. Ia senang memiliki banyak teman. Walaupun tak ada seorang teman yang bisa mengertinya. Ibunya berusaha mengenalkan Ratih pada teman-teman barunya, mengajaknya bermain bersama dan membantunya mengerjakan sesuatu di kelas. “Besok ibu akan menunggu di luar,” kata Lina hati-hati.

            Tapi Ratih marah. Ia tidak ingin ditinggal ibunya. Lina sadar, ini tidak mudah. Mungkin butuh waktu agak lama. Mungkin setelah Ratih terbiasa dengan suasana dan teman-teman juga gurunya disini. Lalu ia berjanji akan tetap menemani Ratih, mungkin  sampai Ratih besar, bahkan lebih besar dari ibunya. Lina mengangkat tangannya melebihi kepalanya. Ratihpun tertawa.

            Pada saat ia tahu sedang hamil, sungguh luar biasa senangnya. Penantian yang luar biasa, lelah yang tak kunjung padam, bahkan ketika Ratih hendak lahir. Oh, Ratih, engkau adalah bidadariku, cahaya masa depanku, bisik Lina.

            Suatu hari Ratih demam, sudah dibawanya ke bidan, tapi tak kunjung reda. “Bu, Ratih kejang-kejang!” teriak Lina pada ibunya. Memang sejak menikah hingga sekarang ia masih tinggal bersama orang tuanya.

            Lina sangat panik. Ia sangat bingung. Mau dibawa ke dokter, tak mampu. Suami Lina tidak ada di sampingnya. Ia bekerja di luar kota, kadang-kadang terlambat mengirimi nafkah. Lina sangat maklum dengan keadaan ini. Tapi ia tak berdaya melihat keadaan putri tercintanya. Sementara ibunya tidak tahu harus bagaimana, ia malah menciumi tubuh cucunya sambil menangis. Tetangga-tetangga berdatangan. Mereka menyarankan masuk rumah sakit.

            Setelah itu hari-hari Lina suram. Perkembangan Ratih lambat. Ingin sekali ia membawanya berobat, namun selalu saja masalah biaya yang menghalangi. Bahkan ketika ia mengandung anak kedua, mendung di matanya tak sanggup sirna.

Syukurlah, anak kedua lahir normal seperti anak-anak lainnya. Tak kurang suatu apa. Lina mengajari banyak hal dan ia dengan cepat bisa mengikuti. Ketika mulai bersekolah, ia sangat disenangi guru-gurunya. “Anaknya pintar dan lincah,” kata seorang gurunya. Lina senang. Ini sungguh kenikmatan yang luar biasa, yang selalu disyukurinya.     Bahwa dalam kesulitan ia masih diberi kegembiraan.

            Kalaupun ada yang bertanya seperti apa cintanya pada kedua anaknya, jawabnya adalah sama. Sama besarnya, sama indahnya. Seperti bulan ketika purnama. Seperti bunga ketika mekar. Walaupun memang ia cenderung lebih memperhatikan si sulung. Karena memang ia sungguh tak bisa ditinggal. Barang-barang di rumah tiba-tiba pecah, bahkan saat ada tamu, tiba-tiba si sulung mengamuk. Dari pagi sampai ketemu pagi lagi ia harus menjaganya. Tak sedikitpun waktu yang tersisa untuk sekedar melepas lelah ataupun jenuh. Demi anak-anak, ia rela melakukan apapun. Ia rela melepaskan pekerjaannya di sebuah pabrik demi menjaga si sulung. Ia ingin merawatnya sendiri.

            Terserah orang mau bilang apa tentang anaknya. Dari raut wajahnya saja, orang pasti bisa menebaknya. Seperti kemarin saat mereka sedang naik angkot. Tiba-tiba seorang ibu nyeletuk, “Aduh kasihan ya …” atau ada teman yang takut berkunjung ke rumahnya. Lina sangat maklum. Mungkin mereka masih belum bisa menerima keadaan Ratih yang memiliki keterlambatan berpikir dan berkomunikasi.

            Tak ada yang salah pada diri Ratih. Tak ada. Lina berusaha membesarkan hatinya. Ya, hatinya yang telah hancur berkeping-keping saat ia mengetahui bagaimana anak itu berusaha keras untuk belajar bicara, namun suara yang keluar tetap sama. Suara teriakan yang tak jelas.

            “A…yah!” Lina sesabar mungkin mengajarinya.

“A..a…aah!” teriaknya.

“Ayo ulangi lagi! Pelan-pelan ya! A…yah!”

“A..aaah. A…aaah!” suara Ratih serak. Ia sudah berusaha keras untuk mengucapkannya. Ia jengkel. Suara itu terus yang muncul. Ia marah dan menjerit-jerit. Lina akhirnya menghentikan acara belajarnya.

Entahlah, tak tega rasanya melihatnya seperti itu. Ia tahu Ratih sangat ingin seperti anak-anak yang lain, yang bisa bermain dengan anak seusianya, yang bisa bercanda-gurau, tanpa harus memaksa orang lain untuk mengerti.

Dipeluknya Ratih. Namun Ratih justru ingin memberontak. Ia berlari, Lina mengejarnya hingga ketemu dan mengajaknya pulang. Lina membisikkan sesuatu, “Ayo pulang. Nanti kita mampir di tokonya Mak Ji. Kita akan beli es krim.”

Wajah Ratih berbinar-binar. Ia mengangkat dua jarinya. Maksudnya beli dua. Satu untuk dia, satu lagi untuk adiknya. Di luar semua ketidakmampuannya ia sangat menyayangi adiknya. Ia selalu minta dua, baik makanan, baju, sepatu, tas, apa saja. Ia ingin selalu sama dengan adiknya. Begitu juga dengan adiknya. Ia juga sangat menyayangi kakaknya. Ia mengerti dengan keadaan kakaknya. Maka, ketika ibunya sibuk mengurus kakaknya, ia dengan suka rela menunggu. Bahkan adiknya lebih sering diasuh oleh mbahnya.

Ratih mengambil dua batang es krim. Lalu ia berjalan dengan riang, sepanjang jalan ia tersenyum gembira. Bila berpapasan dengan orang ia berteriak memanggil, namun suara yang keluar tak bisa dimengerti. Ia ingin sekali menunjukkan kalau ia mempunyai dua es krim. Satu untuknya, satu lagi untuk adiknya.

Tiba di rumah tak sabar mencari adiknya. Namun saat itu adiknya masih tidur nyenyak. Dengan tergesa-gesa ia mengguncang-guncang tubuh adiknya. Ibunya sudah melarangnya, namun ia berkeras hati untuk segera memberikan pada adiknya.

“Nanti saja, Mbak,” kata Lina.

“Ah…ah..” katanya sambil mengguncang-guncang tubuh adiknya. Akhirnya adiknya terbangun, Ratih senang bukan main. Segera saja ia memberikan es krimnya sambil senyum-senyum.

***

Saat yang menyenangkan adalah ketika ayah datang. Lalu mereka akan jalan-jalan bersama. Makan di warung, walaupun sekedar makan bakso dan es degan.

Ratih masih sibuk mencari sesuatu. Ia tak mau mengatakannya. Ia hanya berjalan keluar masuk kamar, sementara matanya melihat setiap sudut ruangan. Karena kesal ia mendekati adiknya lalu menarik kaca mata plastiknya, sambil berteriak-teriak pula.

“Oh itu.” Lina tersenyum geli. “Jadi sedari tadi Mbak Ratih mencari kaca mata ya.” Linapun mencari kaca mata milik Ratih hingga ketemu. Kaca mata itu tergeletak di kolong tempat tidurnya. Pantas saja susah mencarinya.

Mereka naik angkot ke alun-alun kota. Sungguh senangnya anak-anak. Mereka telah membayangkan akan naik becak goyang, kereta api, atau bisa juga naik andong keliling alun-alun. Lalu beli jajanan di pinggir alun-alun yang ramai.

“Ah…ehh..ah!” teriak Ratih sambil menunjukkan sesuatu.

Ayah dan ibunya menoleh. “Iya.iya,” kata mereka. Tapi Ratih tetap saja berteriak sambil menunjuk sesuatu. Sebenarnya, baik ayah maupun ibunya sama sekali tak mengerti apa yang dimaksud Ratih. Mereka berusaha menutupi ketidakmengertian itu dengan menjawab iya. Tapi Ratih mengerti. Ia tahu kalau ia tidak dimengerti. Ia menangis sambil menepuk-nepuk dadanya. Sedih sekali rupanya.

Miris hati kedua orang tuanya. Mereka sangat ingin mengerti anaknya. Tapi sungguh, ini diluar kemampuan mereka. Lina memeluk Ratih, menciumi, ia berjanji akan memberinya hadiah untuk menyenangkan hatinya. Ia tidak tahu lagi bagaimana memperlakukan Ratih. Ia sudah berusaha. Entah sampai kapan. Namun ia selalu berdoa, “Jangan pernah Engkau pisahkan kami, sebelum aku sempat mengajarinya untuk mandiri.” Lina tahu, tak selamanya ia bisa menemani Ratih. Lina tahu tak selamanya ia sanggup berdiri di samping Ratih. Mungkin sampai Allah memanggilnya…

Dimuat di majalah Ummi Februari 2009

Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

Belum ada Komentar untuk "Ratih"

Posting Komentar

Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel