Jangan Lupa Bahagia
Rabu, 18 Mei 2016
Tulis Komentar
Kemarin
saya menghadiri acara perpisahan si sulung di SMP. Duduk berdekatan dengan
seorang teman yang mulai akrab sejak anak-anak kami kelas 1 SMP. Kami bercerita
banyak tentang kesibukan dan kerepotan masing-masing menyiapkan kostum untuk
acara ini. Padahal anak-anak kami sama-sama laki-laki.
Kostum
perpisahan anak-anak adalah kemeja putih, jas hitam, dasi hitam, sepatu
pantovel hitam. Gampang bukan! Saya pikir anak saya bisa mengurus sendiri. Jadi
saya tidak perlu ikut campur tangan. Atau mungkin ada temannya yang bersedia
mengurus persewaan jas seperti acara kartini dulu. Cukup membayar sekian lalu
dapat kostum. Beres!
Sebenarnya
pemberitahuan tentang kostum sudah jauh-jauh hari. Tapi, saya pikir mudah saja.
Seperti tadi saya katakan, dia bisa mengurus sendiri.
Ternyata
tidak, sodara-sodara! Hari sabtu adalah pembagian undangan, dan pengumuman
tentang perpisahan. Sabtu dan minggu saya dan keluarga keluar kota dan baru
dapat undangan hari senin. Perasaan saya sudah tidak nyaman saja.
Benar
saja, “Ibu, temanku tidak ada yang sewa jas. Aku pakai sepatu pantovel....celanaku
cingkrang...”
“Tidak
mungkin tidak ada yang pinjam. Pastilah ada yang pinjam di salon, rias
pengatin.”
“Tapi
semua yang kutanya tidak ada yang pinjam.”
Saat itulah
saya sadar bahwa harus segera bertindak! Berburu keperluannya. Secepatnya.
Lupakan kedua adiknya, mereka aman bersama mbak.
Bukan
saya saja yang mengalami kejadian serupa. Teman-teman saya juga mondar mandir
mencari semua keperluan anaknya. Abaikan pantas dan tidak baju itu. Yang penting
adalah bisa dipakai. Terserah, kedodoran atau tidak. Tak usah peduli ini baju
milik pak dhe, pak lik, bapak, temannya bapak, atau siapa saja. Yang penting
bisa pakai jas. Harga jas itu mahal sodara-sodara!
Terakhir
adalah mencari sepatu. Saya yakin anak-anak tidak suka memakai sepatu pantofel.
Kalaupun terpaksa memakai pasti pada saat acara tertentu. Seperti acara ini. Memang
acara resmi cocoknya memakai sepatu tersebut. Dengan alasan tersebut lebih baik
pinjam saja. Saya datang ke rumah keluarga suami. Disana ada bapak-bapak dan
mas-mas yang kakinya besar-besar seperti anakku. Ternyata dugaanku salah! Tidak
ada yang muat!
Bapak
mertua sampai kasihan melihat cucunya. Dua lembar uang merah diberikan buat
beli sepatu. Orang-orang bilang harga sepatu pantofel sekitar 200 ribu.
Pikir
saya kenapa harus membeli mahal? Memakainya saja jarang sekali. Lebih baik
membeli di pasar saja. Murah meski kualitas tidak terjamin (abaikan kalimat
ini). Yang penting bisa dipakai! Maka di siang yang panasnya menyengat itu saya
dan anak berangkat ke pasar jalan kaki. Setelah dua kali ban sepeda motor bocor
dan saya titipkan ke tukang tambal ban depan lapangan.
Di pasar
baru saya bertemu dengan tetangga yang keluarganya adalah penjual sepatu sandal
dan tas. Disuruhnya saya mencari di salah satu kiosnya. Tinggal satu pasang
yang ukurannya pas dengan anak saya. Untuk harga saya tidak berani menawar
lagi. Harga tetangga pastilah berbeda dengan harga konsumen lain. (Cerita
begini ke teman jadi kena marah. Dia beli lebih mahal 20 ribu!)
Tiba di
rumah rasanya lega sekali. Ingin tidur dengan nyenyak tapi tak bisa. “Ada gladi
bersih jam setengah empat.”
Perasaan
saya masih tak nyaman dengan sepeda motor. Berangkat ke Graha Sandiya (tempat
acara perpisahan besok) dengan rasa was-was. Ada masalah dengan ban lagi. Kalau
ke tukang tambal ban untuk ketiga kalinya sungguh tak mungkin. Satu-satunya
pilihan adalah memompa ban saja. Setidaknya sepeda motor ini masih bisa dipakai
sampai tujuan, sampai kembali ke rumah dan menjemputnya pulang.
“Kalau
besok pagi motor mogok, saya nggak tahu lagi. Ibu punya rencana buat kamu. Naik
sepeda sendiri ke sana.”
Dia
bengong menatap saya, “Apa!”
Kami
sepakat. Meski dia merasa sangat terpaksa.
Pagi-pagi
saya buka hp dan ada sms dari ketua paguyuban pusat yang mengatakan bahwa
pengurus paguyuban orang tua siswa (saya bendahara) dimohon memakai kebaya.
Pemberitahuan ini dikirim malam hari ketika saya sudah tertidur.
Apa! Saya
baca berkali-kali juga tidak akan mengubah tulisan itu. Saya buka lemari baju
sama saja. Keadaan tidak berubah. Masalah belum selesai. Padahal kemarin saya tanya anak saya, “Ibu
pakai baju apa?”
Pertama
dia jawab, putih. Lalu diralat, terserah, kata guruku, “Orang tua pasti akan
memakai baju terbaik untuk anaknya.” Terakhir katanya, “Ibu tanya temannya ibu
saja.”
Karena
saya masih bingung akhirnya saya tanya teman, “Bebas rapi.” Sorak-sorak
bergembira saat itu juga. Saya tidak terlalu peduli masalah baju. Saya cuma
kepikiran dengan sepeda motor saya!
Kembali
ke topik kebaya? Saya tidak punya kebaya! Daripada bingung mikir kebaya saya
pilih pakai tunik batik saja. Semoga agak mirip (mirip dari mana?).
Alhamdulillah
sepeda motor masih bisa dipakai. Saya jalan pelan-pelan. Rasanya masih ada yang
tidak nyaman dengan roda belakang. Saya tidak tahu apa yang bermasalah.
Begitu
bertemu dengan ibu-ibu paguyuban, langsung saja saya berkata, “Maaf saya tidak
punya kebaya.” (cari-cari alasan!)
Beruntung
sekali bukan saya saja yang salah kostum, ada ibu-ibu lain yang menemani saya.
Kalau salah rasanya pengen cari teman saja. Biar tidak bete sendirian.
Keberuntungan kedua adalah ketua paguyuban kelas bersedia menggantikan posisi
saya untuk memberikan bingkisan kepada wali kelas. You saved my life!
Well,
panjang banget curhat rempongnya si emak. Sebenarnya apa sih yang membuat
ibu-ibu begitu rela melakukan ini itu demi anak-anak? Kadang terselip rasa jengkel
tapi mau saja berangkat.
Intinya adalah
karena kasih sayang yang ikhlas. Andai setiap ibu meminta bayaran terhadap
pekerjaan rumah tangga hingga pengurusan anak-anak, betapa mahalnya! Andai gaji
suami tak cukup memadai....
Ikhlaslah
yang membuat hati tenang dan kuat menghadapi lika-liku kehidupan. Ikhlaslah yang
membuat saya mampu tersenyum gembira bersama anak-anak. Dan ikhlaslah yang membuat kita semua bahagia. InsyaAllah.
Belum ada Komentar untuk "Jangan Lupa Bahagia"
Posting Komentar
Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!