Mari Bertenggang Rasa di Jalan
Rabu, 10 Agustus 2016
2 Komentar
Dahulu,
jaman saya masih sekolah, jalanan di kota Tuban, masih lapang. Apa iya sih? Jalanan
masih sepi kendaraan. Jalan kaki kesana kemari masih terasa sangat biasa dan
aman. Saya saja sekolah TK hingga kuliah masih setia dengan berjalan kaki. Jarak
sekitar 1 km mah enteng. Itu dulu!
Teknologi
semakin berkembang, dan daya beli masyarakat semakin meningkat. Jarak rumah ke
sekolah yang hanya 500 meter saja sudah bisa dipastikan diantarkan dengan
sepeda motor.
Dengan
meningkatnya kendaraan pribadi yang lalu lalang di jalanan, baik jalan besar
hingga gang-gang sempit di tengah kota, jalanan semakin terasa sempit. Bukan jalannya
yang menyempit, namun tumpahnya kendaraan-kendaraan di jalan. Okelah, semua
demi memudahkan aktiviatas umat manusia. Siapa sih yang ingin berangkat ke
sekolah dengan menghabiskan waktu 15 menit jalan kaki. No!
Saya
rasa waktu 15 menit jalan kaki ke sekolah itu tidak terasa lama. Sembari ngobrol
dengan teman seperjalanan. Biasanya sih selalu ada teman yang rumahnya
berdekatan dan berangkat ke sekolah bareng.
Kalau
sekarang minimal naik sepeda bareng. Seperti anak saya yang sudah kelas 6
SD. Sudah tiga tahun yang lalu belajar
bersepeda ke sekolah. Lumayanlah mengurangi antar jemput. Kecuali kalau
sepedanya rusak dan baru sembuh dari sakit, saya yang mesti mengantar dan
menjemputnya.
Pagi
hari menjelang jam 07.00 adalah saat tersibuk jalanan. Waktu itu banyak orang
yang mengantarkan anak ke sekolah, pelajar yang berangkat sendiri, ibu-ibu yang
hendak belanja ke pasar, orang-orang yang hendak pergi bekerja dan orang-orang
dengan segala urusannya di jam sibuk jalanan. Imbas dari banyaknya kendaraan
bukan hanya di jalan besar, namun juga di jalan-jalan kecil. Seperti tadi pagi,
di perempatan itu tidak ada lampu merah. Maklum ini bukan jalan raya. Tidak ada
polisi pengatur lalu lintas. Entahlah, kadang ada tapi sering tidak ada.
Kendaraan
dari depan, samping kanan dan kiri berebut hendak maju duluan. Dalam kasus
seperti ini yang berlaku adalah siapa yang paling berani dialah yang cepat
sampai. Eit pastinya tetap memakai segala pertimbangan sebelum melewati
persimpangan jalan. Dan seperti biasa pengendara motor yang notabene adalah
anak-anak bikin jantung makin deg-degan. Ngeri-ngeri sedap kalau melihat mereka
meyalip dari kanan kiri.
Saya
sendiri lebih memilih keadaan aman, kendaraan mulai sepi baru berani jalan dan menyalip.
Sebagai orang tua yang membawa anak-anak saya lebih hati-hati. Meski anak-anak
bete melihat tingkah saya. Terlalu slow.
Saya
( dari arah timur) berhenti di perempatan itu. Melihat semua arah penuh
kendaraan di rush hour. Mau bagaimana lagi. dengan begini saya juga
mengajari anak untuk bersabar. Memberikan kesempatan buat kendaraan lain untuk
berjalan.
Tiba-tiba
ada bapak-bapak (dari arah utara) yang berhenti tepat di perempatan. Saya merasa
tidak mungkin untuk maju. Kendaraan dari sisi selatan sudah hampir di tengah
jalan. Tapi rupanyanya bapak-bapak tadi memberikan perintah dengan tangannya
agar saya segera jalan. Padahal saya yakin, si bapak pastilah bisa melajukan
motornya dengan damai tanpa peduli kepada saya. Ternyata si bapak lebih memilih
untuk bertenggang rasa. Memberikan jalan kepada saya yang sedang mengantar si
kecil ke sekolah.
Saya
melihat masih banyak kendaraan yang berhenti di belakangnya. Saya segera
memutuskan untuk segera melarikan motor ini. Alhamdulillah baik-baik saja.
Terima kasih ya, Pak!
Kadang-kadang
kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ketika kita sedang membutuhkan
pertolongan di jalan. Suami sering mengingatkan meskipun kita juga ingin segera
tiba di tempat tujuan tapi tak ada salahnya untuk mendahukan kendaraan lain. Misalnya
mobil yang hendak menyeberang atau menyalip.
Bisa
jadi dengan memberikan kesempatan-kesempatan tersebut bisa membantu orang lain
agar segera tiba di tempat tujuan.
Kemarin
saya sempat jengkel dengan ibu-ibu yang memaksa saya untuk maju padahal di
depan saya ada jalan yang berlubang. Scene nya seperti ini. Saya ( dari
arah barat) lewat sebuah gang di kelurahan Kutorejo. Gangnya sempit! Di depan
saya sudah ada sepeda motor yang berhenti. Saya sengaja memberi jarak dengan
kendaraan di depan. Lalu ada mobil dari arah timur yang ingin keluar dari dari gang
ini. Kadang kalau melihat pemandangan seperti ini mungkin lebih baik di kasih
papan peringatan saja agar kendaraan roda empat tidak perlu keluar masuk gang! Mau
satu arah atau dua arah sama saja, kendaraan lain pasti kesulitan kalau ada
mobil.
Di
belakang saya ada beberapa sepeda motor. Anehnya meski mereka melihat di depan
ada mobil tapi tetap saja melajukan kendaraan. Ketika si mobil benar-benar
kesulitan, sepeda motor di belakang saya berhenti. Berhentinya mangkrak gitu. Tidak
berada di pinggir jalan. Sementara yang paling belakang bisa minggir karena
masih ada jarak yang memungkinkan.
Entah
si pengendara atau penumpangnya, saya melihatnya mengacungkan tangan dan berteriak-teriak
memerintah saya supaya maju. Bete banget! Dengan bersusah payah saya juga harus
memberikan kesempatan agar mobil bisa jalan.
Sepeda
motor di depan saya masih diam tak berkutik. Mobil berhenti. Bagaimana bisa
jalan, kalau sepeda motor berada di tengah jalan! Cuma bisa ngelus dada!
Mobil
itu masih mencoba untuk berjalan untuk beberapa jengkal, lalu berhenti lagi. Saya
melihat sepeda motor di depan sudah pergi. Waktunya saya pergi juga. Lihat kanan
kiri semoga tidak menyerempet si mobil. Aduh, takutnya ada apa-apa.
Wusss!
Lega rasanya seolah selesai dari himpitan!
Saya
yakin banyak diantara kita yang sering menikmati bermacam-macam pemandangan di
jalan. Yang bisa membuat hati jengkel ataupun tertawa. Seperti beberapa waktu
lalu, ada pengendara motor di belakang saya yang tiba-tiba membunyikan klakson
panjang. Posisinya benar-benar mepet motor saya. Saya menoleh. Pandangan saya
berhenti padanya. Dia menatap saya dan bergumam. Disitu bising sekali sehingga
saya tak mendengar suaranya. Saya mencoba menebak saja. Tidak mungkin bunyi
klakson itu karena kepencet.
Sementara
itu suara motornya menderu-deru. Si bapak ini dengan semena-mena mengingatkan
saya supaya bersiap untuk jalan. Lha ini di perempatan lampu merah. Kondisi lampu
masih menyala merah dengan terang benderang. Masih lama. Belum ada tanda-tanda
menunjukkan angka 3 apalagi 1.
Parahnya
lagi di depan saya ada becak. Di samping saya ada angkutan desa. Kalaupun mau
buru-buru pasti sulit sekali melewati keduanya.
Kesimpulan
Meski jalan di desa tampak sepi, tetap berhati-hati dan jangan ngebut. |
Berkendara
di jalan harus bisa tenggang rasa : mengendalikan ego masing-masing, waspada
dan sabar. Dengan waspada, kita akan berhati-hati berkendaran. Bersabar jika
ada ulah pengendara yang bikin bete. Asal masih dalam batas yang aman dan tidak
membahayakan nyawa. Dalam kondisi tertentu kita usahakan untuk mengalah. Bukan untuk
kalah ataupun dikalahkan, namun memberikan kesempatan kepada pengendara lain.
Benar
sekali kalau ada yang mengatakan “Ingat keselamatan”. Tapi hendaknya ini
ditafsirkan lebih luas. Keselamatan pribadi dan orang lain itu sama pentingnya.
Jangan
lupa untuk berdoa. Percayalah dengan kekuatan doa yang kita panjatkan. Semoga perjalanan
ini lancar tanpa ada masalah apapun.
Emang mba, saya saja yang uda betul lewat jalan yang benar malah di bilang monyet bodoh dan yang bilang itu masih sekulah, dy yang ugal2ugalan saya yang kena. Di Jalan emang harus sabar makanya saya suka jalan di sisi kiri dan santay :p
BalasHapusCuma bisa mengelus dada. Sabar. *puk puk sayang.
Hapus