Hadiah dari Ustadzah Fida





Alfi selalu berharap bunda terlambat menjemputnya. Entah dengan alasan apa! Yang penting terlambat, lama. Dengan begitu alfi memiliki banyak waktu untuk bermain di sekolah. Berkumpul bersama teman-teman yang belum dijemput juga. Menjelajahi sudut-sudut sekolahnya yang luas. Bersembunyi di tempat yang jarang dilewati anak-anak.
Cerita sebelumnya.
Nyatanya, sampai detik ini bunda tak pernah terlambat menjemput. Meski tak juga tepat waktu. Menjelang waktu pulang, Alfi lebih suka berdiam di kelas. Tapi begitu Alfi keluar kelas, sudah bisa dipastikan ada bunda diantara para penjemput itu.

Baca juga Hadiah Untuk Kebaikan Sang Guru...

Bunda selalu tersenyum ketika melihat Alfi keluar kelas. Kadang melambaikan tangannya, sebagai petunjuk bahwa bunda sudah datang dan sekaligus perintah, “Ayo pulang”. Tak ada tawar menawar sesudah itu karena Alfi tahu bunda masih harus kerja.

Sejak Alfi kehujanan di rumah Rara, ustadzah Hani sering mengingatkan agar anak-anak selalu meminta ijin sebelum pergi bermain. Alfi kan sudah ijin nenek. Bunda masih kerja. Sudah benar apa yang dilakukannya. Ustadzah tak perlu mengingatkan ataupun marah.

Rara dan Nis sudah jarang bermain ke rumahnya. Katanya Alfi tidak punya mainan. Tidak asyik saja. Bagi Alfi keputusan sepihak ini sungguh menyakitkan meskipun di sekolah mereka tetap akrab dan bermain bersama.

Hari ini Alfi mengeluh kenapa pelajaran terakhir ini harus menulis sekitar setengah halaman. Baru sebaris saja, tangan sudah pegal.  Kenapa tidak membaca saja. Bukankah sudah ada buku. Kenapa masih disuruh menulis lagi. Kenapa?

Sebenarnya bukan hanya Alfi yang ketinggalan menulis. Ada dua anak lagi yang mesti melanjutkan menulis setelah sekolah usai. Meski jengkel tapi Alfi senang. Dia masih memiliki teman yang bisa diajak ngobrol macam-macam. Sementara dia tak kunjung menulis. Sesekali pura-pura pinjam penghapus. Padahal dia punya. Tidak ditaruh di tempat pensil, namun di saku tasnya. Lalu pinjam rautan. Ah, Alfi selalu memiliki alasan untuk menolak menulis.

Sekarang, kedua temannya kini sudah selesai menulis. Tinggallah Alfi bersama teman-teman yang belum dijemput. Tapi mereka ini boleh bermain-main di luar kelas. Sementara Alfi tetap duduk menghadap papan tulis. Sebal!



Mungkin ini adalah hukuman ustadzah. Hukuman buat anak yang suka ngobrol. Alfi semakin jengkel, tangannya semakin malas diperintah untuk menulis.

Bunda mungkin sudah menjemputnya disana tapi kata ustadzah Hani, Alfi harus harus selesai menulis.  “Capek, ustadzah!”

“Pelan-pelan nulisnya. Kalau tidak mau menulis ya tidak akan selesai.”

Lalu Alfi berpikir, andai saja memiliki ilmu sulap, bimsalabim dengan satu kali gerakan tongkat sihir langsung beres tulisannya. Tapi ilmu seperti itu kan harus sekolah dulu ya. Ehm...ternyata tetap harus belajar, termasuk menulis.

Siang begini sekolah sudah mulai sepi. Alfi menegok ke arah pintu keluar kelas, “Ustadzah, apakah bunda sudah datang?”

Ustadzah berdiri dan memandang keluar. Dari balik jendela kaca, ustadzah melihat deretan orang yang menjemput anak-anaknya sudah banyak berkurang. Pandangannya berhenti pada seorang ibu yang dikenalnya. Ya, bunda Alfi sudah datang! Mungkin sudah sejak tadi.

“Sudah. Ayo ditulis ya!”

Alfi mendengus. Kenapa harus menulis. Itu saja pertanyaan yang belum bisa dijawab.

Ustadzah Hani melirik jam dinding. Sudah dua puluh menit berlalu. Alfi tidak kunjung selesai menulis. Sebaliknya, dia malah mengajak ustadzah ngobrol. Lalu memainkan pensilnya. Merautnya hingga pendek. Kini pensil Alfi kira-kira hanya sepanjang 3 cm. “Alfi, nulisnya dilanjutkan di rumah saja ya.”

Alfi menatap ustadzah tak percaya. Segera saja, ia memasukkan semua buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Berantakan sekali tasnya. Buku dan peralatan tulis berjejalan di dalam tas. Resleting ditarik dengan paksa hingga hampir saja terlepas. Untung tangan kirinya memegang ujung restleting yang sobek. Dengan tergesa-gesa ia meraih tangan ustadzah dan menciumnya lalu berlari keluar kelas.

“Bunda!” teriak Alfi di depan kelasnya.

“Kok lama?” sapa bunda.

“Aku nggak suka menulis. Ustadzah galak!”

Bunda merasa harus berpikir keras. Apa hubungan antara menulis dan ustadzah galak. Bisa jadi Alfi dihukum gara-gara jahil atau nakal. Ah, nanti saja bertanya. Sekarang waktunya pulang!

“Aiii! Bu..ku..” Kak Amel selalu menyambut kedatangan Alfi. Dengan wajah riang dia berteriak, seolah banyak yang hendak diceritakan kepada adiknya.

Hari ini Alfi pulang terlambat. Kak Amel mengomel tak jelas. Antara teriakan dan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Semuanya kacau. Dia menyodorkan beberapa kertas dengan gambar yang belum selesai.

Alfi tak peduli.  Ternyata pulang sekolah terlambat membuatnya semakin capek saja. Capek berpikir dan capek tubuhnya. Rasanya ingin langsung rebahan di atas kasur. Tapi tadi dia sudah berjanji  pada bunda, akan segera ganti baju sebelum melakukan kegiatan lain. Termasuk mencomot pisang goreng bikinan nenek.

Bunda sudah melesat pergi. Suara motor bunda sudah tak terdengar lagi. Melanjutkan pekerjaannya hingga sore. Ah, andai saja bunda selalu ada di dekatnya, seperti dulu, menemaninya bermain dan belajar. Mungkin hidupnya tidak sekacau ini.

Sudahlah. Kata bunda tidak boleh mengingat kesedihan. Alfi melangkah ke kamar. Sebelum sempat menutup pintu, kak Amel sudah berada  didalam kamar.

“Hei, aku mau ganti baju!” Alfi melotot melihat kak Amel.

Ada sesuatu yang harus diperhatikan dulu. Tapi Alfi terlanjur capek dan malas. Tentang kertas itu, Alfi sudah bisa menebaknya.

“Hu..hu...” kak Amel menyodorkan beberapa kertas yang sejak tadi belum diliriknya. Mencoba sekali lagi mencari perhatiannya. Sungguh ini adalah karya yang sangat ingin ditunjukkan kepada Alfi. Kenapa Alfi tidak mau?

“Pasti gambarnya begitu-begitu juga,” pikir Alfi yang segera saja mendorong kak Amel keluar. Sayangnya tubuh kak Amel lebih besar dan berat sehingga dia hanya bergeser sedikit. Alfi mendorong lagi. Semua tenaga sudah dikerahkan, namun tetap saja kak Amel belum keluar kamar.

Dalam keadaan capek seperti ini, menangis adalah cara yang dianggap paling tepat untuk menyelesaikan masalah. Lupakan kata teman-teman bahwa menangis adalah perilaku cengeng, tidak berani dan memalukan. Biarlah, biar orang lain mendengarnya. Biarlah orang lain mau mengatakan apa saja. Menangis itu bikin hati menjadi lega.

Nenek berjalan tergopoh-gopoh mendekati kedua cucunya. Alfi dan Amel masih berada di dalam kamar yang sama. Nenek menarik lengan Alfi, mengelus rambutnya. Nenek berusaha menenangkan Alfi. Sementara kak Amel yang masih berdiri mematung, dihardiknya keluar.

Kak Amel masih menatap nenek dan Alfi sambil bersuara, “Hu...hu..hu..” Entah apa maunya. Nenek masih belum bisa mengerti kata-kata ajaib kak Amel. Bagi nenek kalau Alfi menangis mungkin gara-gara dipukul oleh kak Amel. Jadilah nenek memarahinya.

Nenek geram. Ditariknya lengan kak Amel keluar kamar. Tangis Alfi reda. Dia menang. Tapi perasaannya menjadi tak nyaman saja. Dia tahu seharusnya kak Amel tidak perlu dibentak. Kak Amel pasti tak suka.

Wajah kak Amel datar saja. Dia menyendiri sekarang. Lalu gantian kak Amel yang meraung-raung di depan kamarnya.

“Aku nggak dipukul kak Amel, nek,” kata Alfi kemudian.

Nenek melongo mendengar jawaban Alfi. Menyesal telah memarahi kak Amel tanpa tahu persoalannya. Marah karena berisik mendengar kedua cucunya bertengkar. Nenek menghela nafas panjang. “Ya, sudah, jangan nangis lagi.” Nenek kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur.

Siang itu Alfi memang sudah rebahan diatas tempat tidur. Sayangnya sudah beberapa kali mencoba memejamkan mata tetap tidak bisa tidur. Alfi bangkit dan keluar kamar.

Kak Amel masih sibuk dengan gambarnya. Crayon 12 warna dalam kotak persegi panjang itu sudah patah-patah. Ada yang hilang. Lantai dibawahnya ikut diwarnai. Kak Amel mau bikin masalah. Nanti kalau ketahuan nenek pasti kena marah. Nenek tidak suka rumahnya dikotori.

Kak Amel yang melihat kehadiran Alfi, langsung saja bangkit dan menyodorkan lagi kertas-kertasnya yang sudah diwarnai tadi.

Alfi berseru, “Iya, bagus.” dengan begitu Alfi berharap kak Amel tidak akan mengganggunya lagi.

“Kak Amel, itu dibersihkan.”

“Ha!”

Alfi menunjuk bagian lantai yang diwarnainya. Lantai berwarna putih dengan semburat abu-abu berubah menjadi gambaran anak kecil.

Kak Amel tersenyum riang. Mungkin menurutnya gambar di lantai itu sungguh indah. Tapi kalau Alfi boleh jujur, gambar itu berantakan sekali. Hanya coretan-coretan yang tak jelas bentuknya. Jika Alfi jadi gurunya, pasti akan memberi nilai 50. Itu saja sudah terlalu banyak. Kata ustadzah, nilai dibawah 50 termasuk jelek, harus rajin lagi dan lagi sampai nilainya bagus.

Sore ini Alfi bermain sepeda saja. Tak masalah tidak ada anak kecil di sini. Sepanjang bolak-balik depan rumah pasti nenek mengijinkan. Lagipula, kalau jauh-jauh ih Alfi takut saja. Takut tersesat atau bisa jadi diculik orang. Diiming-imingi mainan, jajan, uang terus ikut saja. tidak! alfi pasti menolak yang seperti itu.

Alfi mengayuh sepeda pelan. Sudah dua kali bolak balik bersepeda di depan gang Soka. Kalau dibelakang gang ini ada banyak anak kecil. Tapi Alfi belum kenal sama mereka.

Alfi hanya diam ketika rombongan anak dari gang sebelah melewatinya. Dia ingin bergabung tapi ada yang bilang tidak boleh. Karena tidak satu gang. Ah, kenapa sih urusan bermain sepeda saja sesulit ini. Kenapa tidak bersepeda bersama saja. Tidak peduli kamu dari gang mana, sekolah dimana, umur berapa, suka apa.

“Lebih baik ke rumah Rara saja,” pikir Alfi. Tekadnya sudah bulat. Dia ingin ke rumah Rara. Sepanjang jalan, tak henti-hentinya berdoa. Mengucap basmalah. 

Entah sudah berapa kali sampai dia benar-benar yakin dengan jalan yang dituju.

“Assalamualaikum, Rara. Rara!” Satu kali salam tidak ada yang menjawab. Diulanginya lagi. Pintu pagar setinggi 1,5 meter itu tetap saja tak bergeser. Masih ada satu kali kesempatan untuk mengucapkan salam. Andai sekali ini tetap tidak ada seorangpun yang menjawab, wajib baginya untuk pulang.

Mata bening Alfi mengintip dari celah-celah pagar berwarna hitam legam. Deretan sandal-sandal masih berserakan di depan teras. Pintu rumah Rara masih tertutup rapat. Tapi daun jendela dengan bingkai kayu bercat coklat masih terbuka. Semilir angin membuat gorden putih dengan gambar bunga berwarna kuning keemasan melambai perlahan. Di samping teras, ada mobil berwarna hitam. Biasanya kalau ada mobil papa Rara, artinya keluarga Rara ada di rumah.

Alfi menyandarkan punggungnya pada pagar rumah Rara. Mengatur nafasnya yang lelah setelah bersepeda. Berharap ada keajaiban setelah ketiga salamnya. Satu bunga kamboja gugur didekatnya. Alfi mendongak. Menatap bunga-bunga berwarna pink yang terayun angin.

Sepi sekali rumah Rara. Kalau salam boleh tiga kali, sementara kalau memanggil nama Rara tidak ada batasannya. Alfi memanggil temannya, berulang. “Rara...Rara...Rara...”

Suara berisik di depan pintu pagar itupun mengusik hati mama Rara yang sedang memanggang roti. “Oh, mbak Alfi. Mau main ya?”

Alfi tersenyum ramah.

“Rara masih tidur.”

Saya senangnya kemudian pudar. Rara masih tidur. Pasti mamanya tidak mau membangunkan Rara.

“Ayo masuk! Tante sedang membuat kue." Mama Rara berharap Alfi senang dengan kue buatannya. Sekaligus promosi.

Setengah jam kemudian, Rara bangun. Matanya masih mengantuk, tapi dipaksa untuk melek demi menyenangkan temannya.

Alfi menatap wajah kusut Rara. Mungkin Rara masih ingin tidur. Tapi sudahlah, mama Rara sudah membangunkannya.

Rara memilih bersandar di sofa. Sementara Alfi masih berdiri tegak memandang temannya yang sedang menguap lebar. Kenapa tidak tidur di dalam kamar saja. Alfi akan pulang daripada disini cuma lihat wajah kusut dan tampang juteknya.

“Main sepedaan yuk!” Akhirnya Alfi menemukan kata ajaib untuk memulai pembicaraan. Tidak mudah. Butuh konsentrasi tinggi untuk beberapa patah kata yang dianggap sangat fantastis.

Dengan suara lembut, akhirnya  Rara bertanya, “Kamu sudah sholat ashar?”

Ehm..alfi tersenyum getir. Kenapa ajakannya tidak dijawab. Bahkan sebaliknya, Rara menanyakan sholat ashar. Apa mungkin Rara belum sholat atau sekedar bertanya.

Tidak mungkin Rara tidak mendengar adzan ashar. Musholla hanya berjarak satu blok dari tempatnya. Suara adzan pasti terdengar hingga sini. Mungkin kalau sedang tidur, tidak bisa mendengar bunyi apapun. termasuk suara adzan.

Sebelum berangkat ke rumah Rara, Alfi sudah sholat bersama nenek. Sholatnya sebentar, tanpa berdoa. Sudah capek saja karena nenek sholatnya lama. Setelah itu Alfi diperbolehkan pergi bermain.

“Aku sudah sholat, Ra. Sekarang aku mau sepedaan. Kamu mau ikut nggak?”

“Ha?” Rara menguap lagi. Rupanya Rara belum benar-benar sadar apa yang dikatakan.

Jadi Alfi keluar saja dari rumah Rara. Tidak pamit juga. Rara tidak melihatnya. Dia masih mengantuk berat.

Rara yang baru menyadari kepergian Alfi segera saja berteriak memanggilnya. Dicarinya keluar pagar, dan tubuh Alfi sudah melesat jauh. Sepeda warna pink itu sudah dikayuh cepat-cepat. Rara melihatnya sesaat sebelum berbelok.

Sebelum pulang ke rumah, Alfi mampir di depan rumah ustadzah Fida. Rumahnya tampak sepi. Jam segini biasanya ustadzah Fida sedang menyiram tanaman-tanaman.

Sepeda motor ustadzah juga tak ada. Sebagai pedoman kalau ada ustadzah ya ada sepeda motornya. Ya, sudah, Alfi pulang saja. Daripada gagal bermain ke rumah teman dan ustadzah.

Tiba di depan rumah, sebenarnya rumah kakek, tapi lebih enak kalau menyebut rumah Alfi saja. Agar teman-teman juga mudah mengingatnya. Alfi terkejut ada sepeda motor yang dikenalnya.

Sepeda motor ustadzah Fida! Tapi buat apa ustadzah main ke rumahnya. Biasanya Alfi yang datang. Bukan ustadzah! Atau mungkin ustadzah mau melaporkan kata-kata Alfi beberapa waktu lalu. Bahwa Alfi tidak suka tinggal di rumah ini.

Deg-degan rasanya. Alfi melangkah pelan. “Assalamualaikum....”

Nenek dan ustadzah Fida menjawab salam Alfi. “Semoga tak terjadi apa-apa.” Doa Alfi sepanjang langkah menemui mereka.

Ustadzah sedang mengajari kak Amel. Ada garis-garis berwarna-warni di buku gambarnya. Garisnya tebal-tebal. Ada juga macam-macam gambar bangun datar. Mulai ukuran kecil hingga besar. Ada yang sudah diwarnai dan ada yang belum.

Kak Amel memperhatikan tangan ustadzah Fida yang bergerak-gerak membuat gambar. Pandangannya lurus saja. Kedua tangan kak Amel tak berhenti bergerak. Membolak balik crayon kadang menekannya hingga patah. Tak sedikitpun memperhatikan Alfi yang baru datang.

“Sekarang diwarnai ya!” perintah ustazah Fida. Kak Amel memandang deretan crayonnya yang patah-patah. Satu diambil kemudian dikembalikan lagi. Ganti lagi. Sampai ustadzah bingung melihatnya.

“Warnanya terserah Amel. Ayo diwarnai!”

Kak Amel mantap memilih warna kuning. Gerakan tangannya kasar dan ceroboh. Warnanya keluar dari garis-garis. Berantakan sekali. Tapi ustadzah Fida senyum-senyum dan tetap memberi semangat untuk mewarnai semuanya.

Semua gambar sudah diwarnai kak Amel. Ustadzah membuat gambar lagi. Katanya buat diwarnai besok. Tapi kak Amel menolak. Dia bersikeras untuk mewarnai sekarang saja.

Ustadzah Fida menyerah. Mau diwarnai sekarang atau besok tidak apa-apa. Tapi kemudian ustadzah tertawa. Senang sekali melihat gambar kak Amel yang sudah lebih baik. Masih ada yang keluar garis, tapi tidak sebanyak tadi.

Sebelum pulang, ustadzah merogoh sesuatu dari dalam tas coklatnya. Sebuah benda yang dibungkus kertas kado. Ada dua. Lalu memanggil Alfi agar mendekat. “Ini buat Alfi dan satunya lagi buat kak Amel.”



Alfi tak sabar ingin segera membukanya. Alfi bersorak-sorak riang. Loncat-loncat kegirangan. Ada kotak pensil dan satu set peralatan tulis baru untuknya. Sedangkan kak Amel mendapatkan satu set crayon. Alfi pernah cerita kalau kak Amel suka mewarnai, dan sekarang crayon sudah patah-patah dan hilang.

Kak Amel juga senang menerima hadiah dari ustadzah Fida. Berkali-kali dia menganguk-angguk berterima kasih. Setelah mencium punggung tangan ustadzah Fida dia ikut loncat-loncat seperti Alfi.

Ustadzah bilang, Alfi harus belajar lagi. Agar tidak lupa dengan pelajaran yang dulu-dulu. Kalau cuma sekali pasti gampang banget lupanya. Tapi kalau sering diulang-ulang, mudah-mudahan gampang ingat.

Tapi kenapa tiba-tiba ustadzah memberinya hadiah?

“Karena Alfi bisa menjawab soal-soal bahasa Inggris dengan benar.”

“Kalau kak Amel? Bukannya ustadzah belum pernah mengajarinya? Memberikan soal? Bertanya apapun? Mengapa dia juga mendapat hadiah?”

“Oh, ya, karena kak Amel suka menggambar dan mewarnai. Jadi kak Amel butuh crayon baru.”

Alfi mengangguk. Semudah itukah kak Amel mendapatkan hadiah? Rasanya tak adil. Coba bandingkan dengannnya. Setiap hari harus membantu bunda dan nenek. Belajar pula. Sementara kak Amel masih mendengkur dengan keras dikamar. Tidak adil!

“Kalau aku mewarnai, menggambar, apakah aku juga mendapatkan crayon seperti milik kak Amel?”

Ustadzah fida tersenyum, “InsyaAllah.”

“Oh ya, Alfi sudah lama tidak pernah main lagi ke rumah ustadzah?”

Alfi bukannya tidak mau menjawab. Tapi dia tidak cukup memiliki alasan untuk menuduh ustadzah membohonginya. Perkara ini cukup rumit. Nanti kalau bilang seperti itu jangan-jangan ustadzah tidak suka dan tidak mengijinkannya bermain lagi. Tidak mendapatkan hadiah lagi.

Bukankah ustadzah sendiri yang mengatakan ada acara jadi Alfi harus pulang. Tapi kenyataannya, ustadzah malah ngobrol dengan temannya. Alfi tidak suka dibohongi. Jadi Alfi tidak pernah main lagi dua minggu ini.

“Sekarang aku mau ikut ustadzah saja!” rengeknya sebelum ustadzah beranjak pergi.

Ustadzah melirik jam tangannya. “Ehm...besok-besok saja gimana.”

Alfi mengangguk. Artinya ustadzah sudah tidak berbohong lagi. Jadi mulai besok sore Alfi bisa bermain ke rumahnya.

***

Sejak pulang sekolah Alfi sudah tak sabar ingin pergi ke rumah ustadzah Fida. Dia membawa buku gambar. Ada gambarnya yang belum selesai apalagi diwarnai. Belum. Nanti mau dikerjakan di rumah ustadzah Fida saja. Alfi ingin hadiah yang sama seperti kak Amel.

Kalau boleh jujur, Alfi tidak begitu suka mewarnai. Tidak telaten meski disekolah ada pelajaran mewarnai, menggambar sesuatu sesuai dengan pelajarannya. Tidak seperti kak Amel yang betah berjam-jam duduk atau kadang sambil tiduran, menghabiskan crayon dan pensil warna untuk mewarnai gambar-gambar.

Tapi Alfi suka hadiah. Dia ingin mendapatkan hadiah yang sama seperti kak Amel. Tak susah. Karena mewarnai tu mudah. Siapapun pasti bisa. Tidak ada alasan untuk tidak mendapatkan hadiah.

Alfi memperkirakan bahwa saat ini adalah waktunya bermain ke rumah ustadzah Fida. Hanya dikira-kira saja sekitar angkanya. Alfi belum hafal cara membaca jam. Baginya, setelah adzan ashar artinya boleh bermain.

Tunggu dulu. Kalau setelah sholat ashar pasti ustadzah baru pulang sekolah. Baru mengajar di sekolahnya. Jadi Alfi masih duduk-duduk di teras sambil menunggu waktu yang tepat untuk pergi.

Dia sudah ijin ke nenek. Ah, nenek suka lupa sudah ijin atau belum. Nenek terus saja bertanya mau kemana. Padahal jelas-jelas suara Alfi keras dan mestinya terdengar nenek.

Alfi melihat jam dinding. Jarum pendek sudah bergerak melebihi angka 4. “Wah sudah kelewatan!” Alfi berteriak lantang. Dikayuhnya sepeda itu kuat-kuat. Tiba juga dirumah ustadzah Fida. Seperti biasa, ustadzah mdasih menyiram tanaman.

Alfi menunggu di teras sambil menceritakan kejadian selama dua minggu  di sekolah. Teman-temannya yang jahil bin usil tetap saja melakukan kegiatan yang dibencinya. Menyembunyikan penghapus, benda kecil yang mudah hilang baik sengaja maupun tidak. Alfi sampai menangis. Satu minggu kehilangan 5 penghapus. Ustadzah Hani bertindak cepat. Sayangnya mereka yang menyembunyikan pensil ini selalu lupa menaruh. Hilang!

Ustadzah Fida memintanya untuk menggambar saja. Tidak perlu menunggunya sampai selesai menyiram. Pasti lama. Tapi Alfi tetap bertahan. Dia bercerita apa saja. Satu cerita tentang kejadian di sekolah selesai, lanjut dengan cerita tentang kak Amel dan nenek. Cerita Alfi seperti air bah, mengalir deras tak terbendung. Kata-katanya meluncur cepat seolah tak punya waktu lama untuk bertemu ustadzah.

Ustadzah Fida, diam saja tak memberinya komentar selain senyum atau tertawa kecil. Tapi bagi Alfi itu saja sudah cukup menyenangkan.

Sayangnya kebersamaan dengan ustadzah Fida harus segera berakhir. Ada tamu yang memiliki urusan penting. Iya, kalau bukan penting lalu mengapa Alfi disuruh pulang cepat-cepat. Ceritanya belum selesai.

Wajah ustadzah Fida bersemu merah. Senyumnya tak pernah lepas semenjak kedatangan tamu tadi. Lalu, sedikit ragu berkata pelan.  



Alfi masih diam tak mengerti. Urusan orang dewasa terlalu rumit baginya. Dia rela jika harus menunggu hingga tamu itu pulang. Tapi ustadzah Fida buru-buru masuk ke dalam rumah dan berganti baju. Lama.

“Besok main lagi ya,” kata ustadzah begitu saja.

Alfi murung. Ditatapnya sekali lagi laki-laki di depannya. Dia pulang tanpa mengucap salam. Dibawanya kembali buku gambar itu. Ustadzah Fida belum sempat melihatnya. Dan hadiah yang diinginkan tak akan pernah ada.  

Ustadzah Fida berbohong lagi. Dia sibuk berurusan dengan orang itu. Dulu juga begitu. Orang yang sama seperti dua minggu yang lalu. Yang merampas waktunya bersama ustadzah Fida.

#blogtobook

^_^

sumber gambar: internet kecuali kotak pensil.
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

7 Komentar untuk "Hadiah dari Ustadzah Fida"

Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel