Pindah



Alfi berlari menghindari kak Amel. Keringat bercucuran. Nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang mungil bersembunyi di balik dinding warung bu Dar. Sesekali matanya yang indah melongok ke arah depan. Sambil berharap semoga kak Amel tak mengetahuinya.

“Alfi...Alfi!” sayup-sayup, Alfi mendengar seseorang memanggilnya. Bunda. Mengapa bunda? Bukankah jam segini belum waktunya bunda pulang.

Sekali lagi Alfi melongok ke depan.

“Oh, tidak! Ada bunda yang sedang bercakap-cakap dengan bu Dar. Pasti menanyakannya.”

Setelah keadaan aman, Alfi berjalan pulang. Ah, tidak! Pasti bunda marah. Tidak jadi pulang saja. Alfi bimbang. Lalu, ke rumah siapa kalau tidak pulang.

“Alfi!”

Refleks, Alfi menoleh, “Oh, tidak!”

Alfi masih berdiri ketika bunda mendekat. “Ayo, pulang, Nak!" pinta bunda.

“Ehm...Alfi mau main sebentar. Iya, sebentar saja, bunda! Sebelum maghrib, Alfi pasti sudah pulang."

Bunda menggeleng. Alfi mengeluh. Tapi akhirnya dia ikut pulang bersama bunda. Ya, dia harus pulang. Apapun yang akan terjadi. Di rumahlah dia sanggup menyandarkan segala rasa.

"Kak Amel sudah lama menunggumu Alfi. Kenapa kamu pergi? Kak Amel sendirian di rumah. Dan kamu tahu, kak Amel sedih sekali di rumah sendirian."

“Ehm...iya, bunda maaf.”

Tiba di rumah, kak Amel langsung menarik lengannya. Dengan langkah yang serba cepat, mengajak ke ruang tengah. Kaki Alfi yang belum siap untuk berjalan cepat, tersandung kaki kursi. Alfi menjerit. Tapi kak Amel tak mau tahu. Ia tetap berjalan sambil menarik lengan Alfi.

Alfi terjatuh. Jari kakinya masih sakit ditambah dengan lututnya yang menabrak lemari buku. Untungnya, Alfi bisa melepaskan pegangan tangan kak Amel.

Kak Amel berdiri mematung. Entah apa yang ada di dalam hatinya saat ini. Tidakkah dia tahu, perbuatannya benar-benar mencelakai Alfi. Tidak menolong. Tidak minta maaf. Tidak merasa bersalah. Tidak mau tahu. Tidak! Alfi benar-benar jengkel dibuatnya. Andai boleh memilih mungkin akan ikut saudara bunda saja.

Suara kak Amel terdengar seperti anak yang baru belajar bicara. Memang sudah bisa mengucapkan beberapa kata, seperti bunda, ayah, Alfi yang terdengar seperti Aiii. Juga kata benda dan kata kerja sederhana. Itupun sulitnya bukan main. Mulutnya sudah menganga namun suara yang keluar hanya kecil dan sedikit. Lama pula.

Sepertinya terapi untuk kak Amel tidak banyak membawa perubahan.  Sejak ayah meninggal, bunda menghentikan semua terapi.  Namun kesibukan di toko akhir-akhir ini seolah merenggut semua waktu bunda. Iya, bunda tidak memiliki waktu buat sekedar bermain dengan kak Amel. Akibatnya sungguh membuat Alfi semakin menderita. Yup, Alfi yang harus menemani kak Amel dengan segala resikonya.

Kak Amel masih berdiri canggung melihatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Menunggunya dalam diam. Setelah Alfi tidak menjerit lagi, dia mengulurkan tangan kanannya. Dia mengajak Alfi untuk melihat sesuatu. Alfi tahu kebiasaan kak Amel. Kalau ada sesuatu yang baru pasti memanggil Alfi. Dia ingin segera menunjukkan kepada adiknya. Entah itu penting atau tidak. Baginya Alfi harus tahu.

Sayangnya kali ini Alfi tidak bisa menolak. Menghindarpun tidak. Kaki kanannya masih menyisakan nyeri. Ditahannya sebentar. Setelah ini dia akan tidur saja. Sambil menanti keadaan kakinya membaik.

Kak Amel bercerita dengan kedua tangannya. Alfi tak peduli. Apa yang dilakukan kak Amel sungguh keterlaluan. Tidak ada kewajiban baginya untuk menjadi pendengar ataupun penonton setianya.

‘Uh..uh...tak..tak.” kak Amel menunjuk bungkusan di atas meja makan.

Sejak tadi, sudah hilang nafsu makan Alfi. Dia bebalik arah. Tapi kak Amel mencegahnya. “Apa sih maumu! Aku nggak mau!”

“Sa...kit!” teriak Alfi sambil menunjuk ke kaki kanannya.

Kak Amel melihatnya sebentar. Dia tetap memaksa Alfi untuk melihat bungkusan dalam kotak putih.

Alfi mendesah. Jengkel! “Kak...aku sudah tahu!”



Tapi kak Amel menggeleng. Kedua tangannya cekatan membuka kotak putih yang ditaruh diatas meja makan. Nasi kuning dengan lauk lengkap. Ada ayam goreng, mie, sambal goreng kentang dan perkedel. Ditambah krupuk udang yang dibungkus plastik bening. Kak Amel mengambil dua sendok dan dua piring. Dia membagi makanan ini dan mengajak Alfi makan bersama. Taburan bawang goreng diatas nasi kuning lenyap tertimbun nasi. Lalu kak Amel mengambil ayam dan menariknya dengan kuat. Satu potong untuk Alfi

Nasi kuning itu telah berpindah ke dua piring melamin bergambar bunga. Dia juga menyiapkan minum untuk Alfi. Lalu Alfi disuruh duduk dan makan bersama. Alfi yang memimpin doa.

***

“Jadi..kita harus pindah, bunda? Kapan?” wajah Alfi tak bersemangat. Pindah rumah berarti berpisah dengan keadaan disini. "Alfi senang tinggal disini. Teman Alfi banyak. Semuanya baik-baik. Mengapa, bunda?"

Bunda mendesah. Anak-anak tak perlu ikut sedih. Dilipatnya semua resah, sendiri. Asal mereka bahagia.

Bunda tersenyum tipis. Sejujurnya bunda juga senang tinggal disini. Sudah bertahun-tahun. Punya tetangga yang baik. Punya teman yang baik pula. Namun, pulang ke ke rumah kakek dan nenek adalah keputusan yang terbaik saat ini.

Disini kalian sering ditinggal bunda. Iya kan bunda mesti bekerja. Sudah waktunya bunda mencari penghasilan sendiri. Kalau tidak bagaimana dengan sekolah kalian?

"Oke, mungkin kalian tidak suka. Tapi kenyataannya harus seperti ini. Bunda akan lebih tenang lagi jika kalian bersama dengan nenek selama bunda bekerja."

“Percayalah semuanya akan baik-baik saja.” tangan bunda mengelus rambut Alfi. Kak Amel masih sibuk dengan buku gambar dan crayon! Katanya sih ada tugas dari gurunya. Ehm...bisa saja dia berbohong biar diperbolehkan bermain crayon.

Alfi tahu, hanya kepadanyalah bunda bercerita banyak. Kak Amel tak mampu mencerna pembicaraan seperti ini. Dunianya adalah masa kanak-kanak yang ceria, gembira, dan tanpa gangguan.

“Terserah bunda. Ehm..aku sekolah dimana? Aku tidak punya teman disana.”

“Pasti punya teman. Iya, teman baru. Teman sekolah dan teman bermain. Teman kamu menjadi bertambah banyak. Bayangkan saja kalau disini punya berapa teman? Kalau ditambah teman anak-anak kecil di sekitar rumah kakek pasti bertambah banyak."

"Seminggu ini kita akan mencicil mengepak semua barang. Buku harus dikumpulkan dengan buku, begitu juga dengan baju, peralatan dapur, dsb. Kamu bisa kan membantu bunda. Tidak perlu banyak-banyak. Tapi tiap hari, nanti juga beres."

Karena sekarang kondisi Alfi tidak memungkinkan, maka dia meminta mulai besok saja membereskan semua barang. Sehingga tidak berat di hari H saat pindah rumah.

Alfi merasa pindah rumah itu repot sekali. Bayangkan saja, sepuluh kardus super gedhe tidak cukup memuat barang-barang bunda. Padahal untuk perabotannya sudah dijual dengan harga murah. Sedangkan perabot yang kelihatan sudah jelek meskipun masih bisa digunakan, ditawarkan kepada para tetangga dan teman bunda. Setiap hari ada saja orang yang ingin melihat perabotan rumah. Mulai dari satu set kursi meja, tempat tidur, meja makan, dsb.

“Bunda kulkasnya jangan dijual!” rengek Alfi ketika ada orang yang menanyakan kulkas mereka.

Tidak Alfi. Kulkasnya bisa dipakai di rumah nenek. Wajah Alfi kembali cerah.

Rumah semakin lega. Perabot rumah yang menyita tempat sudah berpindah tempat. Kardus-kardus besar sudah siap diangkut. Bunda juga sudah mengurus surat pindah. Dan pamit kepada semua guru di sekolah.

Sayang juga, karena baru masuk SD dan baru saja membayar uang sekolah. Tapi mau bagaimana lagi. Bunda ingin pindah. Alfi hanya bisa mematuhi perintah bunda.

Sejak bunda dan Alfi sibuk membereskan semua barang mereka, kak Amel malah memperparah keadaan.  Ada barang yang sudah dimasukkan tiba-tiba sudah keluar lagi. Setiap hari pasti seperti ini. Akhirnya bunda menaruh ke kamar belakang dan menguncinya.

Ketika ada orang yang menawar perabot bunda, tiba-tiba kak Amel menangis kencang sekali. Perabot yang hendak dijual itu dipegangi erat. Beberapa kali transaksi gagal.

Bunda tak patah semangat. Bunda suka sekali membisikkan kata-kta yang menyenangkan sehingga kak Amel bersedia melepaskan perabot yang dipeganginya.

Masih ada satu lagi perabot yang hendak dijual. Sudah ada calon pembeli. Bunda berharap orangnya segera datang. Segera beres. Tinggal memikirkan perjalanan pulang.

“Maaf, bu. Saya belum bisa datang. Saya masih sibuk. Kemarin saya habis keluar kota. Tahu sendiri kan jeng, badan ini masih capek luar biasa. Remuk redam, deh. Dan hari ini saya cuma pengen tiduran saja,” pesan Whatapps itu segera membuyarkan harapan bunda.

“Besok saja, gimana? Semoga saja, besok tubuh saja sudah bisa diajak jalan-jalan ke rumah Jeng Ain,” lanjutnya.

“Oh, ya, saya bawakan oleh-olehnya, Jeng. Aduh maaf ya, kalau selama ini saya suka lupa sama Jeng Ain. Maklum usia tidak bisa berbohong!”

Iya, usia selalu jujur, tapi mulut yang memilih berdusta. Ah, teman bunda ini suka membuat basa-basi yang membosankan. Kalaupun tidak mau membeli apa susahnya bilang tidak. Lalu bunda mencari calon pembeli lainnya.

Jari-jemari bunda segera membalas, “Nggak apa, bu. Besok saya sudah pulang ke Surabaya. Maaf.”

Sekarang waktunya sudah mepet. Mau menawarkan kepada siapa lagi. Sudahlah, nanti dipikir lagi. Kalaupun tetap tidak ada jalan keluarnya, mungkin sebaiknya diberikan kepada orang lain saja.

Semua barang yang dijual masih dalam kondisi yang baik. Sementara harga yang ditawarkan bukan hanya murah, tapi murah sekali. Bunda tidak berniat untuk memperdagangkan semua perabot ini. Namun tidak mungkin mengakut sebanyak ini ke rumah orang tuanya.

Adapun barang-barang yang kondisinya tidak begitu baik sudah disumbangkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Termasuk PAUD terdekat yang beruntung sekali mendapatkan mainan berupa ayunan.

Rumah berukuran 6m x 9m ini tampak lega. Kak Amel bebas berlarian. Sambil mengambil pensil warna membuat gambar yang menurutnya sangat bagus.

Ini adalah hari terakhir mereka disini. Kardus-kardus dipindah ke ruang tamu. Kak Amel masih memandanginya. Tanpa sepengetahuan bunda, tangannya merobek kardus itu lalu mencari mainan miliknya. Tak ada. Lalu membongkar kardus lainnya. Terpaksa Alfi yang merapikan lagi. Menghalau kak Amel agar tidak mendekati kardus-kardus itu.

Truk yang akan mengangkut barang-barang mereka sudah tiba. Kak Amel berlari mendengar deru truk yang berhenti tepat di depan rumah mereka. Dengan bahasa tubuhnya dia meloncat-loncat. Mulutnya bersuara, namun tak ada kata-kata yang keluar selain uh..uh..uh.

Suara truk itu ternyata membuat sedikit keributan di sekitar rumah. Tetangga-tetangga sibuk mengucapkan selamat jalan dan doa terbaik mereka. Ini bukan basa-basi, namun ucapan-ucapan yang mengalir adalah bentuk rasa simpati para tetangga. Juga ada permintaan maaf. Bunda tidak membuat acara apapun untuk pindah rumah. Hanya permintaan maaf saja. Bersama kedua anaknya, bunda sudah keliling tetangga terdekat.

Perjalanan dimulai. Kak Amel mulai berseru-seru sejak tiba di stasiun Gambir. Barang yang dibawanya tidak banyak. Bunda melarang membawa semua bonekanya. Hanya ada satu. Boneka barbie  yang bajunya sudah sobek.

Begitu duduk di kangku kereta kelas bisnis, kak Amel segera membuka tasnya. Ada lima buku gambar ditambah satu buku mewarnai dan peralatan menggambar. Lengkap.

Kak Amel gembira sekali membuka buku gambarnya. Satu garis telah dibuat bersama dua lingkarang. Ada pula bentuk lingkaran tak beraturan. Entah apa maunya. Bunda membiarkan. Yang penting dia diam.

“Hua..Aii...bu....ku...ku...”

“Ada apa sayang?” Bunda menatap wajah sendu kak Amel.

“U..bu...ku...” kak Amel menunjuk bukunya. Ya, bukunya. Bunda menebak. Pasti ada yang hilang dengan buku Amel. Lalu tangan kanannya menunjuk ke bawah bangku kereta.

Bunda melepaskan Alfi yang sedang duduk dipangkuannya. Matanya mengitari bawah bangku. Di lorong-lorong keretapun tak ada tanda-tanda ada buku yang tergeletak. “Tidak ada.” diantara sesaknya penumpang, bunda berjongkok. Menoleh ke kanan kiri. Ke lorong lagi. Diantara tas-tas yang tergeletak dengan damai disamping kaki-kaki penumpang.

Masih tak ada buku yang dimaksud. Bunda menabrak kaki penumpang dan segera saja bunda duduk kembali ke bangku.

Mungkin bukan buku. Tapi kalau pensil atau crayon yang terjatuh pasti susah mencari. Kereta penuh penumpang dengan barang bawaannya. Bagaimana mungkin mencarikan benda sekecil itu.

Kak Amel menjerit. Alfi sudah bangun sejak tidak berada di pangkuan bunda. Wajahnya cemberut. Kedua tangannya mengucek mata sambil menguap. Tidur yang terpotong. Badan yang capek. Berisik oleh teriakan kak Amel. Dia tak mungkin ikut menangis.

Penumpang-penumpang didepannya ikut terkejut. Mata yang tertidur tiba-tiba mengerjap. Melihat apa yang sedang terjadi. Tapi kemudian mereka tidur lagi. Bunda lega.

Lagi-lagi kak Amel histeris. Dia bangkit dan menggedor kaca. Alfi seketika menjerit ketakutan, “Bunda!”

Wajah bunda tegang. Tidak pernah seumur hidupnya membawa anak-anak bepergian jauh tanpa suaminya. Tidak untuk keperluan apapun. Acara jalan-jalan selalu bersama suaminya. Kalau satu capek ada pasangannya yang ikut menjaga anak-anak. Kalau sekarang? Siapa yang peduli.

Seseorang yang merasa terganggu langsung saja berteriak nyaring. Memaki kak Amel dan bunda. Mata-mata yang sudah mengantuk berat, yang sudah tertidur pulas akhirnya menyala lagi. Seperti sorot lampu, semua mengarah pada mereka. Menghujam tajam menyisakan tanda tanya. Mengapa?

“Ehm...maaf..maaf,” kata bunda terbata-bata.

“Amel,  duduk, sayang,” Alfi berpindah tempat. Lebih baik tidak berdekatan dengan kak Amel. Berisik. Tangan bunda meraih tubuh kak Amel. Dia meronta. Dia ingin bukunya kembali.  

“Nanti kita beli lagi. Kalau keretanya sudah berhenti di Surabaya. Kak Amel boleh beli banyak. Boleh kok.”

Tangan bunda mengelus lembut rambut kak Amel yang berantakan. Sekarang gantian, kak Amel yang tidur di pangkuan bunda.

Dalam keadaan masih mengantuk, Alfi merasa ada sesuatu di pantatnya. Tangannya meraih benda itu. “Ini bukunya kak Amel.” Drama berakhir, dan semoga tidak ada lagi.

Serpihan kenangan yang indah disimpan erat bunda. Yang lainnya, lupakan saja. Semoga tak ada yang tersakiti semenjak kepergian bunda ke kampung halaman.

Setelah urusan pendaftaran Alfi beres. Segera saja esoknya berangkat sekolah. Kalau bukan dengan bantuan om Han dan tante Lin, pasti bunda repot banget. Tak salah jika mereka berhasil mencarikan sekolah disini.

Rasa capek yang mendera dibiarkan. Lebih baik berada di sekolah, dengan teman-teman barunya daripada di rumah menemani kak Amel. Alfi mantap melangkahkan kaki di sekolah barunya.




Pada hari pertama, Alfi disambut teman-temannya di kelas 1C. Wali kelasnya memperkenalkan Alfi. Teman-teman barunya segera mendekatinya dan bertanya macam-macam. Sampai-sampai Alfi tidak bisa konsentrasi dengan pelajaran.

Untungnya wali kelas yang juga guru tematik, memberikan waktu untuk perkenalan lebih lama. Kira-kira hampir 20 menit. Suasana kelas yang ramai menjadi hening setelah pelajaran dilanjutkan lagi. Tapi cuma sebentar, setelah itu ada saja anak-anak yang berteriak maupun mengusili temannya.

Kesan pertama sangat menyenangkan mungkin berlaku buat Alfi di sekolahnya. Namun sebaliknya, kak Amel meski sudah didaftarkan di sekolah Salsabila untuk anak-anak berkebutuhan khusus, ternyata tidak mau berangkat. Kak Amel tidak suka dengan lingkungan baru, teman baru, guru baru. Semua yang baru membuatnya ragu.

Seminggu ini kak Amel masih tidak mau bersekolah. Bunda membiarkan saja. Bunda langsung sibuk dengan bisnis yang selama ini ditekuninya. Bisnis baju couple dan baju keluarga. Bunda mendapatkan sebuah kios di pusat grosir. Kata bunda, harus bekerja keras untuk membayar uang sewa.

“Assalamualaikum, Alfi ya?” seorang ustadzah berhenti ketika berpapasan dengannya di kantin sekolah. Alfi mengamati wajah cerianya. Oh, Alfi belum mengenal ustadzah ini.

Alfi mengangguk. Oh, dia tahu namanya karena membaca nama dada di seragam sekolah ini. Akhirnya Alfi tersenyum. Alfi berbaur dengan teman-temannya. Mereka cepat akrab dengan Alfi bahkan sejak hari pertama masuk sekolah. Permainan kali ini sungguh menyenangkan. Halaman sekolah yang luas dan nyaman sekali untuk berkejaran.

***

“Ayo, Alfi kita berangkat ke sekolah.” Motor bunda sudah berada di luar pagar. Namun Alfi masih sibuk menyiapkan bekalnya. Ada roti dan sosis goreng kesukannya. Sebenarnya tinggal memasukkan saja ke dalam kotak bekal. Tapi Alfi ingin memberikan sedikit hiasan diatas roti. Hiasan khas anak-anak.

Setelah membuat gambar mulut dan tidak berhasil. Maka saus cokelat itupun dijilat. Alfi memperbaiki gambar dengan menambahkan mata dan hidung layaknya sebuah boneka.

“Oh, lupa! Harusnya rotinya dipotong berbentuk bulat.” Alfi menghambur keluar. “Bunda, mana..”

“Ayo berangkat, Alfi!”

“Tapi bunda, rotinya belum berbentuk boneka.”

Bunda menghela nafas panjang. Sederet to do list sudah mengantre dengan damai. Banyangkan, akan ada dua acara hingga siang nanti. Lalu, belum belanja...belum menyiapkan dagangan karena kemarin ada konsumen yang datang ke rumah. Dan tentu saja, belum mandi. Aduh, rasanya bunda ingin berlari-lari saja. Tapi Alfi kok ya tega mengacaukan.

 “Tidak usah dibentuk bulat. Besok bikin lagi. bunda lupa dimana menaruh cetakan roti tawar bentuk lingkaran. Atau diiris saja dengan pisau. Lebih gampang. Gimana?”

“Ehm...nggak usah, bunda. Kita berangkat saja.”

Baru saja Alfi naik ke atas sepeda motor ketika ustadzah yang pernah menyapanya di sekolah lewat. “Assalamualaikum Alfi. Kita tetanggaan. Besok berangkatnya bareng ustadzah saja ya.”

Bunda menolak. Takut merepotkan. Tapi ustadzah meyakinkan bahwa dia tidak akan merasa repot. Sebaliknya pasti senang bisa mengajak Alfi berangkat bersama.

Mata Alfi berusaha mengeja nama ustadzah di kerudungnya. Sayangnya, tertutup lipatan kerudung. Nanti di sekolah Alfi akan mencari tahu namanya.

Dengan bantuan teman-temannya, Alfi langsung tahu nama ustadzah tetangga itu. Namanya ustadzah Fida, mengajar bahasa Inggris dan bahasa Arab kakaknya Dio. Tapi pulangnya sore. Jadi ustadzah Fida cuma menawarkan tumpangan untuk berangkat ke sekolah saja. Pulangnya tetap sama bunda.

“Alfi boleh kok main ke rumah ustadzah. Alfi tahu kan rumah ustadzah?”

Alfi mengangguk.

Teman-teman Alfi ingin bermain ke rumahnya. Tapi bagaimana dengan kak Amel Kalau tak suka? Marah? Bagaimana? 

Kak amel tidak suka teman baru. Tidak suka. Apalagi yang tidak mau bermain dengannya. Tidak ramah. Tidak mau berbagi kue. Tidak mau melakukan perintahnya.

Tidak! Kalau kak Amel ngamuk pasti menakutkan buat anak-anak kecil. Ingat, teman-temannya sering menolak bermain ke rumahnya. Mereka semua tidak mau menjadi korban sia-sia.

Bel berbunyi, waktunya masuk ke kelas. Pelajaran selanjutnya adalah bahasa Inggris. Alfi masih bingung dengan pelajaran yang satu ini. bayangkan saja, tulisannya kenapa tidak sama dengan pengucapannya. Bukannya lebih enak membaca tulisan itu berdasarkan hurufnya.

Ulangan harian kemarin nilainya paling jelek diantara mata pelajaran lainnya. Kata mama tidak apa. masih ada waktu buat belajar. Alfi ingin seperti dulu. Ada mama yang selalu siap menemani belajar. Siap membantu mengerjakan tugas.

Meskipun sudah berada di semester dua, tapi Alfi masih susah belajar bahasa Inggris. Mau ikut les seperti teman-temannya, oh tidak! Kasihan bunda yang harus bekerja mencari uang les.

Sore itu, langit memang agak mendung. Tak apa, niat Alfi sudah bulat. Daripada di rumah tidak ada yang bisa membantunya mengerjakan tugas bahasa Inggris lebih baik ke rumah ustadzah Fida. Semoga saja orangnya baik.



Rumah ustadzah Fida ternyata dekat. Hanya selisih enam rumah. Persis di tikungan jalan. Sore itu Alfi melihat ustadzah sedang menyiram bunga anggrek. Ada macam-macam anggreknya. Bunganya cantik, warna-warni. Alfi ingin memetik, tapi bukankah itu bukan miliknya. Jadi dipandangi saja pot-pot bunga yang menempel di dinding.

"Masuklah, rumah ini selalu terbuka untukmu!" Ustadzah Fida mempersilakan Alfi masuk. Sementara dia masih ingin menyiram beberapa tanaman lagi. Halaman rumah yang segar dengan tanaman hias berderet rapi. Ada juga pohon belimbing yang ranting-rantingnya menjulur keluar pagar. Buahnya masih hijau. Alfi berdiri di bawahnya. Barangkali saja ada yang masak di pohon atau jatuh. Tidak ada.  

“Kamu suka belimbing, Alfi?”

Alfi tersenyum, “Iya.”

“Tunggu kalau ada yang matang ya.”

Setelah ustadzah siap, barulah Alfi bertanya tentang tugas bahasa Inggris. Ustadzah Fida menerangkan dengan jelas. Memberikan contoh soal dan mengajak Alfi berlatih cara pengucapannya. Karena disekolah diajarkan dengan cara bernyanyi maka Alfi juga harus belajar menyanyikannya. Tak butuh waktu lama, Alfi sudah hafal semua materinya.

Begitulah awal kedatangan Alfi ke rumah ustadzah Fida. Selanjutnya boleh dikatakan hampir setiap hari dia bermain kesana. Alfi senang berada di dekat ustadzah Fida. Disinilah dia menemukan tempat yang nyaman untuk bercerita banyak hal. 

Kepada bunda, Alfi meminta ijin untuk menginap saja di rumah ustadzah Fida. Namun, bunda tidak mau. Bunda ingin Alfi di rumah saja menemani kak Amel, bermain dan belajar bersama. Alfi sadar kalau bukan dengannya lalu kak Amel dengan siapa?

#blogtobook

^_^

Sumber gambar: internet


Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

8 Komentar untuk "Pindah"

  1. oke... catatannya simple saja, hati-hati dengan mengenalkan banyak karakter di bab 1

    BalasHapus
  2. sekolah yang di post itu di tuban kah mbak? rasanya aku pernah lihat hehe

    BalasHapus
  3. Ngebayangin sosok Amel. Dan saya terharu banget pas baca bagian yang dia ngebagi makanan kotak ke adiknya.

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel