Demi Bunda




Alfi menguap. Kantuk ini terasa menyiksa sekali. Tapi dia harus bangun. Matanya mengerjap-ngerjap. “Bunda!”

Cerita sebelumnya...

Alfi menoleh ke kiri dan kanan. Tidak ada bunda disini. Alfi bangkit dan membuka pintu kamar. “Semalam ini bunda kemana? Huh..aku nggak tahan.” 

Lampu di ruang keluarga dimatikan. Suasana gelap dan sepi membuatnya semakin takut. Suara cicak berdecit. Nyamuk yang hilir mudik mencari mangsa. Dan jam dinding yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Alfi balik lagi ke tempat tidur.

 “Bunda!!!” Bunda pernah memarahinya gara-gara bangun tidur langsung teriak seperti ini. Khawatir mengganggu tetangga dekatnya yang masih tidur. Tapi ketakutan ini tak bisa mencegahnya untuk tidak berteriak.

Bunda datang, wajahnya basah. Apakah bunda habis cuci muka tengah malam begini. Dingin.

Mungkin gara-gara makan es campur Cak Man, Alfi jadi sering buang air kecil malam ini. Sebelum tidur saja sudah dua kali. Ditambah tengah malam begini. Bunda menunggunya di depan pintu kamar mandi. Alfi minta lampu di ruang keluarga dinyalakan. Nanti kalau Alfi sudah tidur dimatikan saja. Bunda mengangguk setuju.

Alfi memejamkan mata. Dia ingin segera terlelap saja. Sesekali dia menyipitkan mata, melihat bunda. Hatinya tenang ketika bunda masih disampingnya.

Alfi gelisah. Setelah bangun berkali-kali rasanya susah tidur lagi. Matanya dibuka sejenak. Tidak ada bunda disampingnya lagi. Jantungnya berdegup kencang. Dia bisa merasakan aroma ketakutan seperti tadi. Tapi dia berusaha menahan keinginannya untuk tidak menangis dan berteriak lagi.

Alfi perlahan bangun. Dia duduk begitu saja. Kantuknya seolah pergi ketika melihat bunda yang masih berbalut mukena. Bunda menangis sesenggukan. Alfi mulai tenang.

Sesaat dia diam. Menunggu bunda. Mungkin tidak lama. Mungkin seperti sholat-sholat lainnya. Isak bunda menyisakan banyak pertanyaan.

“Bunda,” kata lirih. Takut suaranya terdengar keras dan mengganggu bunda.

“Ini namanya sholat tahajud. Bukan sholat shubuh.” Bunda mengusap air matanya. Suara bunda serak. Tapi  bunda tetap meyakinkan Alfi, tidak perlu takut. Alfi kembali bersembunyi dibalik selimutnya. Kedua matanya masih mengikuti gerak-gerik bunda.

Sholat tahajud! Dia pernah mendengar dari ustadzah. Tapi dia belum pernah melakukannya. Ngantuk berat. Dulunya Alfi menyangka sholat shubuh. Tapi tidak terdengar adzan dari musholla. Lalu mengapa bunda sholat? Dia hanya bisa menebak-nebak saja. Mungkin bunda sholat shubuh duluan.

***

Ustadzah Fida masih sering main ke rumah mereka. Kak Amel dibawakan crayon baru yang isinya 24 warna. Ada biskuit buat kak Amel. Tapi dia tidak mau. Katanya tidak enak. Ha ha ha...yang enak itu yang biasa dibelikan nenek.

Alfi tertawa lebar. Artinya semua ini menjadi jatah makannya. Asyik.

Ustadzah nyengir saja. Dia tahu makanan yang disukai Amel. Tapi dia tidak bisa melarangnya. Dia bilang kalau makanan yang mengandung MSG tidak baik untuk kesehatan. Efeknya tidak langsung terasa. Tapi butuh waktu lama, hingga kandungan MSG menumpuk di dalam tubuh kita.

Amel suka snack seperti ini karena rasanya lebih gurih, lebih pas di lidah. Lalu terbiasa. Bunda tidak pernah membuat kue. Hanya pisang goreng atau ubi rebus. Itupun yang makan nenek. Kalau ingat makanan, Alfi masih tetap pengen jadi anaknya ustadzah saja. Biar setiap hari dibuatkan kue. Enak dan macam-macam.

Di sekolahnya Alfi, anak-anak diajari jajan yang sehat. Sekolah menjadi contoh yang baik buat-anak. Di kantin tidak ada jajanan yang mengandung MSG. Semuanya dengan bahan-bahan alami. Itu lebih aman dan sehat. Tapi kak Amel sudah terbiasa dengan snack-snack di warung, mana mungkin mau mengerti.

Jujur saja, kak Amel ingin ustadzah lebih sering main ke rumah. Tidak apa sebentar. Kak Amel tetap suka. Nyatanya semakin hari ustadzah semakin jarang datang. Kadang-kadang ketika melihat ustadzah jalan bersama suaminya, Kak Amel memanggilnya. Teriakannya kencang. Tapi dia hanya tersenyum sambil melambaikan tangan dan meneruskan jalan-jalan.

Kak Amel jengkel. Dia mengeluh pada bunda. Sekarang gantian bunda yang menemani kak Amel. Tapi bunda tidak bisa duduk tenang bersamanya. Sambil bersih-bersih piring kotor, bunda mendekat. Satu lingkaran diwarnai. Bunda pergi. Kali ini ganti lagi. Bunda menyiapkan makan malam dan beres-beres jemuran baju.

Lama-lama kak Amel marah juga. Tapi bunda bilang bahwa pekerjaan rumah harus dikerjakan agar tidak semakin menumpuk. Kalau nenek sudah bersih-bersih di dapur, bunda punya banyak waktu bersama kak Amel.

Hingga suatu hari bunda datang dengan sekotak besar cake dan kotak kecil kue. Ada lauk buat makan malam. Jadi bunda punya banyak waktu buat kak Amel.

Melihat makanan dalam kotak ukuran 12x24 cm, mata Alfi seperti sedang ditarik oleh magnet yang super kuat. Dia berlari mendekat. Alfi menyongsong kedatangan bunda. Tak sabar, dia menarik kedua kotak dalam satu kresek besar. “Ini buat Alfi dan kak Amel?”

Bunda melotot, pasrah kotaknya diambil Alfi. “Hati-hati Alfi. Nanti penyok kuenya.”

“Nggak apa, bun. Kita makan juga.”

Bunda menggeleng. “Hati-hati!” teriaknya lagi.

Ah, bunda cerewet. Cuma mau lihat saja tidak boleh. Alfi naksir cake yang ada di kotak besar. Seperti cake ulang tahun. Tidak juga. Tidak ada tulisan ulang tahun. Hanya cake biasa yang dikasih cream dan buah cerry merah utuh lengkap dengan tangkainya. Jarang-jarang dia makan ini. Sekalinya makan juga dikasih sama teman yang ulang tahun.

Kotak kecil juga dibuka. Isinya enam kue kecil-kecil. Ada cake, jajan pasar dan roti. Dia lebih tertarik dengan cake di kotak besar. Pasti harganya mahal. Makanya bunda marah-marah. Alfi disuruh hati-hati.  

Telunjuk Alfi baru saja menyentuh cream putih diatas cake. Tiba-tiba bunda bunda berteriak, “Itu buat ustadzah Fida! Jangan dipegang-pegang ya! Nanti bunda mau kesana.”

“Lho kenapa?” Alfi menghentikan jarinya. Ujung jarinya masih ada bekas cream. Diam-diam dia menjilatnya. Manis. Hanya itu yang bisa dirasakan. Kebahagiaannya hari itu berakhir sudah. Rasanya dia ingin menangis. Tapi nanti dibilang cengeng.  

“Ustadzah sakit,” kata bunda dari dapur.

Alfi tidak tahu kalau ustadzah sakit. Pantas saja beberapa hari ini tidak pernah berpapasan dengan ustadzah di sekolah. Biasanya bertemu ketika istirahat atau makan di kantin. Seminggu ini juga tidak pernah bertemu di sekitar rumahnya. Ustadzah sakit apa?

“Aku ikut ya bun.”

Kak Amel menyahut. “Uss...uss...ta..da..”

“Iya. Ustadzah sakit.” Alfi menutup kembali kotak kue besar.

Kak Amel juga mau ikut menjenguk ustadzah. Bunda bilang di rumah saja sama Alfi. Tapi Alfi menolak. Rencananya bunda akan menjenguk bersama tetangga samping rumah. Semakin cepat semakin baik. Tadi bunda mendengar dari tetangga kalau ustadzah baru pulang dari dari rumah sakit.

Kak Amel merengek. Bunda menolak. Kak Amel berlari ke bunda, menarik tangannya. Kata-katanya sepatah-patah. Tapi bunda mengerti. Dia janji akan patuh perintah bunda.

Bunda menatapnya iba. Bagaimana mungkin dia akan menolak rengekan anaknya? Sedangkan itu bisa membuatnya senang. Bunda mendesah. Khawatir saja kalau acara nanti jadi kacau. Bunda setuju. Dengan catatan Kalau rewel langsung pulang saja. Kasihan ustadzah kan kalau terganggu oleh ulah Amel.

Kak Amel mengangguk. Bunda berharap dia benar-benar mengerti. Ustadzah butuh suasana tenang dan rileks. Tanpa dikomando, anak-anak bersiap.

Suami ustadzah Fida yang menyambut kedatangan mereka. Bunda dan tante Irma sepakat untuk tidak berlama-lama. Alfi dan Amel bisa memaklumi.

Mereka diajak memasuki kamar ustadzah. Pikiran Alfi jadi macam-macam. Dia membayangkan ustadzah kalau sakit seperti apa. Tapi ketika melewati ruang keluarga, pikiran semacam itu hilang. Dia mencium aroma yang menggugah selera. Pasti dari dapur yang tak jauh dari situ. Perutnya seketika terasa sangat lapar.

Kamar ustadzah tampak nyaman. Ada rak buku mungil yang menghadap tempat tidur. Ustadzah bisa mengambilnya sewaktu-waktu  Ada dua kursi dan satu meja kecil di depan tempat tidur. Diatasnya ada dua pajangan di dinding berwarna hijau muda. Sama seperti di ruang tamu. Tulisan ustadzah memang keren.

Alfi tidak tahan berada di kamar bersama empat orang dewasa. Kamar ustadzah menjadi sempit. Dia seperti makhluk kecil yang tergusur. Ustadzah mengajak duduk di sampingnya. Malu-malu dia mendekat. Dia hanya duduk sebentar di ujung tempat tidur setelah berjabat tangan. Lalu, Alfi berdiri saja. Punggungnya bersandar pada pintu kamar.

Wajah ustadzah Fida tampak pucat dan tirus. Tidak secerah biasanya. Ustadzah tersenyum menyambut mereka. Alfi dan Amel senang melihatnya.

Bunda dan tante Irma duduk di kursi. Suasana terasa akrab tapi ali dan Amel terasa asing. Mereka diam di tempatnya masing-masing. Sesekali melihat seluruh ruangan.

Seperti dikomando, suami ustadzah mengambilkan beberapa toples kue, lalu menaruhnya di atas meja. Toples-toples kue dibuka. Segera saja kak Amel memasukkan tangannya. Mengambil satu kue yang berbentuk senyum dengan topping coklat dan memasukkan ke dalam mulutnya.

Belum habis makanan yang di mulut, kak Amel mengambil lainnya. Bunda menarik kak Amel. Dia berontak. Bunda mungkin tak bisa melarangnya. Ustadzah meminta untuk membiarkan saja. Kak Amel tertawa puas.

Kak Amel sudah tidak mau duduk. Alfi mengajaknya keluar saja. Pembicaraan orang tua sulit dimengerti. Aroma itu masih lekat di kepalanya. Alfi mengintip dapur. Bu Wid, ibunya ustadzah kelihatan sibuk di dapur. Memang sesekali ikut masuk ke kamar dan ngobrol bersama bunda dan tante. Tapi tetap menyelesaikan urusan dapur.

Ketika bu Wid kembali ke dapur, Alfi mengikutinya. Kak Amel ada di belakangnya. Katanya sebentar lagi sayurnya mendidih. Alfi senyum-senyum. Sudah lama nenek tidak memasak soto ayam. Kalau ini katanya soto ayam Lamongan. Apakah sama dengan soto ayam langganan bunda? Alfi tak sabar ingin segera mencicipi.

Keinginan Alfi terkabul juga. Tepat ketika air mendidih, bu Wid mematikan api. Asap mengepul, aroma sedap menyiksa hidungnya. Dia berdiri disamping bu Wid. Melihatnya mengaduk sayur. Dua piring dengan nasi sedikit sudah disiapkan.

Alfi dan kak Amel menunggu dengan tenang. Semuanya tak sabar ingin merasakan soto di depan matanya. Satu persatu nasi lengkap dengan bihun putih diguyuh kuah yang banyak. Ditaburi koya dan bawang goreng.

Dua anak yang merasa lapar itu menikmati sepiring soto yang asapnya masih mengepul. Dua-duanya sudah berpindah tempat. Mereka duduk dengan damai di depan meja makan. Minumnya? Ah, Alfi mau kok dengan segelas air mineral yang sudah ada di depannya.

Bunda masih ngobrol dengan ustadzah. Bertanya macam-macam. Suara ustadzah masih terdengar lemas. Tidak semangat. Kata bunda habis sakit itu masih perlu istirahat tidak boleh bekerja keras.

Alfi ikut sedih kalau ustadzah sakit. Bagaimanapun juga ustadzah orang yang baik. Sering memberinya kue-kue yang lezat. Tapi kalau sakit begini, pasti tidak bisa masak lagi. Tidak dikasih kue lagi. Jadi Alfi berdoa saja semoga ustadzah cepat sembuh.

Masakan bu Wid enak juga. Dia masih ingin menambah lagi. Kuahnya saja, yang banyak ayamnya. Alfi melirik dapur. Bu Wid tidak ada di dapur. Lalu pandangannya berakhir pada wajah bunda yang terkejut.

Alfi dan Amel tetap menampakkan wajah bahagia. Bunda dan tante Irma menolak ajakan makan soto. Biarlah  ustadzah yang sedang ngidam soto.

“Kita pulang, yuk!” bunda menghampiri mereka.

Alfi lega. Bunda tidak marah. Tapi kak Amel masih ingin disini. Dia menunjuk kue-kue mungil di dalam toples bening. Sepertinya orang dewasa tidak suka makan kue itu. Masih utuh seperti kak Amel meninggalkannya.

Ustadzah menangkap gelagat kak Amel. Dia bisa memaklumi. Tapi suaminya..entah dia sedang pergi kemana. Padahal dia menyuruh suaminya memberikan kue-kue itu.

Untungnya bu Wid sudah ada di dekatnya. Bu Wid menyiapkan plastik bening berukuran setengah kilo dan memasukkan beberapa kue mungil itu. Kak Amel meloncat-loncat dengan gembira. Alfi menggoda. Kak Amel tidak mau berbagi. Jadilah bu Wid membungkus satu lagi untuk Alfi.

Ustadzah menatap kepergian tamu-tamunya. Ada sesuatu yang mengganjal. Amel. Gadis berambut keriting yang suka menunggunya di ambang pintu rumahnya. Semoga dia tidak kesepian lagi.

Ustadzah Fida harus menyerah meskipun dia  tidak suka dengan keadaan ini. Bukan karena suaminya. Melainkan si jabang bayi yang tidak mau diajak kompromi. Mengapa harus dia? Teman-teman sesama guru di sekolahnya tidak ada yang harus terkapar ketika hamil. Dia melihat mereka bahagia dengan perut yang membuncit. Bahkan ada yang hingga menjelang kelahiran anaknya masih sempat mengajar.

Entahlah. Dia benci keadaan ini. Mungkinkah Tuhan memilihnya agar tidak lagi ada kebohongan tentang Amel. Dan sudah saatnya dia membuat prioritas. Tidak mudah menghapus rutinitas yang dijalani bersama Amel.

“Tak baik melamun saja.” Tiba-tiba suaminya sudah duduk disampingnya. Beberapa buku masih tergeletak diatas tempat tidur. “Ini buku yang kamu pesan. Untungnya masih ada si toko buku. Tinggal satu. Ini saja.”

“Terima kasih,” katanya lemah.

“Nanti kalau butuh lagi, tinggal ngomong saja.” Tangannya mengelus lembut perut ustadzah. Apapun keadaannya, dia sangat bahagia.

Ustadzah mengangguk. Akhir-akhir ini, buku-buku telah menjadi temannya. Semakin banyak yang dibaca semakin kacau saja pikirannya. Bukan salah bukunya. Tapi bayangan tokoh utama yang mengisi kepalanya.

Cerita roman itu hanya menjebaknya dalam kenyataan pahit yang dirasakan saat ini. Tentang pasangan hidup. Tak semua yang kita inginkan terjadi. Termasuk ketika dia menginginkan suami idaman. Nonsense!

Buku-buku ini hanya menjual mimpi. Dia bosan dengan cerita dengan ending bahagia. Dia merasa suaminya mungkin tak jujur. Laki-laki itu apa yang bisa dipercaya setelah beberapa waktu lalu dia sempat bertemu dengan mantan kekasihnya. Masa lalu, katanya. Kini semua telah berbeda. Bisakah dia mempercayai laki-laki itu untuk setia dengannya?

Dia meremas kertas. Menjauhkan novel-novel itu darinya.

Mengapa dia berada dalam posisi seperti ini. Tak ada pilihan. Apakah hidup hanya menyediakan satu pilihan. Ingat beberapa waktu lalu pernah menulis status di medsos. “Hidupmu sekarang adalah jalan yang kau pilih!”

Menjadi orang yang tak punya pilihan adalah jalan hidupnya. Itu juga pilihan. Pilihan untuk tak memilih apapun. Pilihan untuk pasrah. Mengapa harus begini? Dia tak pernah memilih untuk seperti ini!

Bed rest. Ini adalah keputusan final dokter kandungan yang terakhir dikunjunginya. Bed rest memaksanya untuk berjuang. Demi bayi yang dikandungnya. Demi keluarganya. Demi kebahagiaan semuanya dia akan patuh!

***

Malam itu Alfi terbangun lagi. Meski sudah diperingatkan untuk tidak minum es malam-malam, Alfi tak kuasa melihat cak Man melenggang begitu saja di depan rumahnya. Kak Amel membeli bakso. Dia juga ikutan membeli es campur. Sepiring bakso dimakan berdua. Tapi es campurnya setiap anak satu mangkok. Bunda dan nenek tak mampu mencegah dua anak yang merengek.

Alfi menggerutu setiap bunda dan nenek mulai marah. Salahkan saja Cak Man. Dia yang panggil-panggil Alfi dan Amel. Harusnya Cak Man dilarang lewat saja agar mereka tak membeli.

Tapi bunda punya alasan lain. Bunda tidak bisa melarangnya. Setiap penjual memiliki hak untuk menawarkan dagangannya. Anak-anak saja yang tergiur.

Alfi membantah, “Perumahan ini harusnya dikasih tulisan, pengamen, pengemis dan pedagang dilarang masuk. Biar aku tidak membeli es campur Cak Man.”

“Lalu, bagaimana jika ada orang di perumahan ini yang lapar. Tidak bisa keluar rumah. Sedangkan Cak Man lewat di depan rumahnya. Apakah tidak boleh membeli? Cak Man itu langganannya banyak. Bukan cuma Alfi dan Amel. Makanya dia senang berkeliling sini.”

“Nanti kalau dilarang lewat, kasihan sama yang lainnya,” tukas nenek.

Malam ini Alfi sudah dua kali ke kamar mandi. Bolak-balik membangunkan bunda. Terakhir, Alfi tidak mendapati bunda. Seperti beberapa waktu lalu. Dia mendapati bunda yang sedang menangis sendiri di malam-malam sepi.

Alfi selalu saja lupa mau menanyakannya. Setiap dia bangun lagi dia sudah mendapati wajah bunda yang cerah dan penuh semangat. Bunda berubah cepat sekali. Dan Alfi selalu lupa begitu saja.

Sudahlah, mungkin kapan-kapan kalau ingat saja. Alfi tak suka bunda bersedih. Dia tak mau melihat bunda menangis lagi. Tapi benarkah bunda menangis. Atau mungkin sholatnya harus sambil menangis. Bukankah menangis itu perbuatan yang memalukan kalau dilihat orang lain?

Pagi itu Alfi dikagetkan dengan suara nenek. Sepertinya sedang marah-marah. Kepada siapa? Yang penting bukan padanya.

Alfi mendekati ruang keluarga. Di tempat inilah mereka berkumpul untuk makan bersama. Bunda yang masak. Nenek ikut membantu menyiapkan sayur dan menata meja makan. Sebagian besar pekerjaan ini dilakukan bunda. Kadang-kadang Alfi juga ikut membantu.

Pagi hari biasanya nenek menyapu halaman hingga ke depan pagar. Menyiram tanaman yang tidak banyak. Lebih terlihat tak terurus sih. Tanamannya tidak ada yang menarik. Tidak berbunga, cuma daun-daun yang menyegaran mata.

Di rumah ustadzah Fida banyak tanamannya, bagus-bagus bunganya. Semuanya dirawat setiap hari. Lebih enak dipandang mata. Sementara tanaman nenek, kayaknya asal tanam saja. Biji-bijian disebar begitu saja. kalau tumbuh baru dipindah. Yang penting di rumahnya ada yang hijau-hijau. Termasuk tanaman cabe dan tomat. Itu favorit nenek.

Cabe rawit ini banyak hasilnya. Buat teman makan tempe dan buat memasak sayur. Alfi pernah mencoba. Cuma sekali saja gigit cabe hijau. Kata nenek tidak pedas. Alfi jadi ikut makan tempe dengan cabe yang baru dipetiknya. Dia mengambil yang kecil saja. Baru sekali gigit, pedasnya bukan main. Sampai-sampai Alfi harus minum air putih satu gelas. Itu tidak juga membuat rasa pedas hilang. Setelah itu kapok saja.

Pagi ini nenek tidak menyapu halaman. Pasti masih di dapur. Suara nenek masih terdengar. Dan bunda diam saja. Bunda bilang sakit.



Alfi bingung saja. Bagaimana dia berangkat sekolah. Nenek yang setua ini tidak pernah sekalipun tahu sekolahnya. Pernah sekali-sekalinya diajak melewati jalan depan sekolahnya. Tapi dia tak yakin nenek tahu jalannya. Orang tua biasanya suka lupa. Termasuk lupa jalan.

Alfi mendekati bunda. Menyandarkan punggungnya ke tubuh bunda. Bunda masih duduk di kursi. Secangkir teh hangat tidak dihabiskannya. Alfi menyentuh tangannya. Bunda melirik sejenak.

Alfi mendesah, “Andaikan sehari ini aku tak berangkat sekolah tak apa. Semoga saja besok bunda sudah sehat dan bisa mengantarkannya.”

Bunda tampak lemas sekali. Tubuhnya agak panas. Alfi bersedia membelikan obat buat bunda. Biar bunda sehat lagi. Tapi pagi-pagi begini  warung tetangga belum buka. Disana menjual abat-obatan. Nenek sering membeli obat sakit kepala. Tapi obat untuk bunda ada tidak ya?

Alfi tak mau beranjak dari bunda. Andaikan ada ustadzah, Alfi ikut saja. Boncengan naik motor. Melihat bunda seperti ini rasanya tak tega juga pergi sekolah.

Bunda tidak berangkat kerja. Meski demikian, bunda masih memaksakan diri mengantar jemput Alfi. Begitu keluar rumah, bunda memakai jaket tebal dan masker. Kedua tangannya ditutup dengan sarung tangan.

Sudah dua hari ini bunda tidak bekerja. Toko terpaksa ditutup. Kedua pelayannya diliburkan. Setiap melihat bunda yang hanya tiduran, Alfi sedih. Dia bingung. Dia ingin menemani bunda di samping tempat tidurnya.

“Bunda, sudah ke dokter?”

“Sudah. Terus...dikasih obat.”

Bunda mengangguk.

Pada hari ketiga, kondisi bunda makin parah. Bunda tidak sanggup mengantarkan Alfi ke sekolah. Obat dari dokter tidak berhasil membuat demamnya turun. Bunda semakin tidak nafsu makan. Hanya bubur. Itupun sedikit dan keluar lagi.

Setiap pagi nenek yang menyiapkan sarapan. Alfi ikut membantu. Kak Amel? Tidak perlu ditanya. Dia adalah masalah besar ketika tidak seorangpun mau bersamanya. Kak Amel tidak peduli. Tiga hari adalah waktu yang lama, yang harus dihabiskan tanpa bunda disampingnya.

Nenek kemudian mengatakan bahwa bunda harus opname. Tidak mungkin bunda di rumah terus. Nenek tidak bisa merawatnya. Lebih baik di rumah sakit. Disana ada dokter dan perawat yang siap mengobati penyakit bunda.

Alfi cemas. Sungguh dia tidak ingin kehilangan bunda. Bagaimana ini? Dia bersama siapa jika bunda di rumah sakit? Bagaimana sekolahnya? Bagaimana kak Amel?

Dia ingin dekat dengan bunda, apapun yang terjadi. Tidak sejengkalpun dia pergi bermain. Tidak pernah. Dia ingin menemani bunda seperti bunda menemaninya ketika sakit.  

Banyak pertanyaan memenuhi kepalanya, tapi Alfi tahu dia tak seharusnya bertanya apapun kepada bunda. Wajah pucat bunda selalu membayanginya. Kemanapun dia melangkah, ada gurat sedih yang mengikutinya. Demi bunda, Alfi rela melakukan apa saja. Demi bunda Alfi akan baik-baik.

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

Belum ada Komentar untuk "Demi Bunda"

Posting Komentar

Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel