Demi Bunda
Jumat, 09 Desember 2016
Tulis Komentar
Alfi
menguap. Kantuk ini terasa menyiksa sekali. Tapi dia harus bangun. Matanya
mengerjap-ngerjap. “Bunda!”
Cerita sebelumnya...
Alfi menoleh ke kiri dan kanan. Tidak ada bunda disini. Alfi bangkit dan membuka pintu kamar. “Semalam ini bunda kemana? Huh..aku nggak tahan.”
Alfi menoleh ke kiri dan kanan. Tidak ada bunda disini. Alfi bangkit dan membuka pintu kamar. “Semalam ini bunda kemana? Huh..aku nggak tahan.”
Lampu di ruang
keluarga dimatikan. Suasana gelap dan sepi membuatnya semakin takut. Suara
cicak berdecit. Nyamuk yang hilir mudik mencari mangsa. Dan jam dinding yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Alfi balik lagi ke
tempat tidur.
“Bunda!!!” Bunda pernah memarahinya gara-gara
bangun tidur langsung teriak seperti ini. Khawatir mengganggu tetangga dekatnya
yang masih tidur. Tapi ketakutan ini tak bisa mencegahnya untuk tidak
berteriak.
Bunda
datang, wajahnya basah. Apakah bunda habis cuci muka tengah malam begini.
Dingin.
Mungkin
gara-gara makan es campur Cak Man, Alfi jadi sering buang air kecil malam ini. Sebelum
tidur saja sudah dua kali. Ditambah tengah malam begini. Bunda menunggunya di
depan pintu kamar mandi. Alfi minta lampu di ruang keluarga dinyalakan. Nanti
kalau Alfi sudah tidur dimatikan saja. Bunda mengangguk setuju.
Alfi
memejamkan mata. Dia ingin segera terlelap saja. Sesekali dia menyipitkan mata,
melihat bunda. Hatinya tenang ketika bunda masih disampingnya.
Alfi
gelisah. Setelah bangun berkali-kali rasanya susah tidur lagi. Matanya dibuka sejenak.
Tidak ada bunda disampingnya lagi. Jantungnya berdegup kencang. Dia bisa
merasakan aroma ketakutan seperti tadi. Tapi dia berusaha menahan keinginannya
untuk tidak menangis dan berteriak lagi.
Alfi
perlahan bangun. Dia duduk begitu saja. Kantuknya seolah pergi ketika melihat
bunda yang masih berbalut mukena. Bunda menangis sesenggukan. Alfi mulai
tenang.
Sesaat
dia diam. Menunggu bunda. Mungkin tidak lama. Mungkin seperti sholat-sholat
lainnya. Isak bunda menyisakan banyak pertanyaan.
“Bunda,”
kata lirih. Takut suaranya terdengar keras dan mengganggu bunda.
“Ini
namanya sholat tahajud. Bukan sholat shubuh.” Bunda mengusap air matanya. Suara
bunda serak. Tapi bunda tetap meyakinkan
Alfi, tidak perlu takut. Alfi kembali bersembunyi dibalik selimutnya. Kedua
matanya masih mengikuti gerak-gerik bunda.
Sholat
tahajud! Dia pernah mendengar dari ustadzah. Tapi dia belum pernah
melakukannya. Ngantuk berat. Dulunya Alfi menyangka sholat shubuh. Tapi tidak
terdengar adzan dari musholla. Lalu mengapa bunda sholat? Dia hanya bisa
menebak-nebak saja. Mungkin bunda sholat shubuh duluan.
***
Ustadzah
Fida masih sering main ke rumah mereka. Kak Amel dibawakan crayon baru yang
isinya 24 warna. Ada biskuit buat kak Amel. Tapi dia tidak mau. Katanya tidak
enak. Ha ha ha...yang enak itu yang biasa dibelikan nenek.
Alfi
tertawa lebar. Artinya semua ini menjadi jatah makannya. Asyik.
Ustadzah
nyengir saja. Dia tahu makanan yang disukai Amel. Tapi dia tidak bisa
melarangnya. Dia bilang kalau makanan yang mengandung MSG tidak baik untuk
kesehatan. Efeknya tidak langsung terasa. Tapi butuh waktu lama, hingga
kandungan MSG menumpuk di dalam tubuh kita.
Amel
suka snack seperti ini karena rasanya lebih gurih, lebih pas di lidah. Lalu
terbiasa. Bunda tidak pernah membuat kue. Hanya pisang goreng atau ubi rebus.
Itupun yang makan nenek. Kalau ingat makanan, Alfi masih tetap pengen jadi
anaknya ustadzah saja. Biar setiap hari dibuatkan kue. Enak dan macam-macam.
Di
sekolahnya Alfi, anak-anak diajari jajan yang sehat. Sekolah menjadi contoh
yang baik buat-anak. Di kantin tidak ada jajanan yang mengandung MSG. Semuanya
dengan bahan-bahan alami. Itu lebih aman dan sehat. Tapi kak Amel sudah
terbiasa dengan snack-snack di warung, mana mungkin mau mengerti.
Jujur
saja, kak Amel ingin ustadzah lebih sering main ke rumah. Tidak apa sebentar. Kak
Amel tetap suka. Nyatanya semakin hari ustadzah semakin jarang datang.
Kadang-kadang ketika melihat ustadzah jalan bersama suaminya, Kak Amel
memanggilnya. Teriakannya kencang. Tapi dia hanya tersenyum sambil melambaikan
tangan dan meneruskan jalan-jalan.
Kak
Amel jengkel. Dia mengeluh pada bunda. Sekarang gantian bunda yang menemani kak
Amel. Tapi bunda tidak bisa duduk tenang bersamanya. Sambil bersih-bersih
piring kotor, bunda mendekat. Satu lingkaran diwarnai. Bunda pergi. Kali ini
ganti lagi. Bunda menyiapkan makan malam dan beres-beres jemuran baju.
Lama-lama
kak Amel marah juga. Tapi bunda bilang bahwa pekerjaan rumah harus dikerjakan
agar tidak semakin menumpuk. Kalau nenek sudah bersih-bersih di dapur, bunda
punya banyak waktu bersama kak Amel.
Hingga
suatu hari bunda datang dengan sekotak besar cake dan kotak kecil kue. Ada lauk
buat makan malam. Jadi bunda punya banyak waktu buat kak Amel.
Melihat
makanan dalam kotak ukuran 12x24 cm, mata Alfi seperti sedang ditarik oleh
magnet yang super kuat. Dia berlari mendekat. Alfi menyongsong kedatangan bunda. Tak
sabar, dia menarik kedua kotak dalam satu kresek besar. “Ini buat Alfi dan kak
Amel?”
Bunda melotot,
pasrah kotaknya diambil Alfi. “Hati-hati Alfi. Nanti penyok kuenya.”
“Nggak
apa, bun. Kita makan juga.”
Bunda
menggeleng. “Hati-hati!” teriaknya lagi.
Ah,
bunda cerewet. Cuma mau lihat saja tidak boleh. Alfi naksir cake yang ada di
kotak besar. Seperti cake ulang tahun. Tidak juga. Tidak ada tulisan ulang
tahun. Hanya cake biasa yang dikasih cream dan buah cerry merah utuh lengkap
dengan tangkainya. Jarang-jarang dia makan ini. Sekalinya makan juga dikasih
sama teman yang ulang tahun.
Kotak
kecil juga dibuka. Isinya enam kue kecil-kecil. Ada cake, jajan pasar dan roti.
Dia lebih tertarik dengan cake di kotak besar. Pasti harganya mahal. Makanya
bunda marah-marah. Alfi disuruh hati-hati.
Telunjuk
Alfi baru saja menyentuh cream putih diatas cake. Tiba-tiba bunda bunda
berteriak, “Itu buat ustadzah Fida! Jangan dipegang-pegang ya! Nanti bunda mau
kesana.”
“Lho
kenapa?” Alfi menghentikan jarinya. Ujung jarinya masih ada bekas cream.
Diam-diam dia menjilatnya. Manis. Hanya itu yang bisa dirasakan. Kebahagiaannya
hari itu berakhir sudah. Rasanya dia ingin menangis. Tapi nanti dibilang
cengeng.
“Ustadzah
sakit,” kata bunda dari dapur.
Alfi
tidak tahu kalau ustadzah sakit. Pantas saja beberapa hari ini tidak pernah
berpapasan dengan ustadzah di sekolah. Biasanya bertemu ketika istirahat atau
makan di kantin. Seminggu ini juga tidak pernah bertemu di sekitar rumahnya.
Ustadzah sakit apa?
“Aku
ikut ya bun.”
Kak
Amel menyahut. “Uss...uss...ta..da..”
“Iya.
Ustadzah sakit.” Alfi menutup kembali kotak kue besar.
Kak
Amel juga mau ikut menjenguk ustadzah. Bunda bilang di rumah saja sama Alfi.
Tapi Alfi menolak. Rencananya bunda akan menjenguk bersama tetangga samping
rumah. Semakin cepat semakin baik. Tadi bunda mendengar dari tetangga kalau
ustadzah baru pulang dari dari rumah sakit.
Kak
Amel merengek. Bunda menolak. Kak Amel berlari ke bunda, menarik tangannya. Kata-katanya
sepatah-patah. Tapi bunda mengerti. Dia janji akan patuh perintah bunda.
Bunda
menatapnya iba. Bagaimana mungkin dia akan menolak rengekan anaknya? Sedangkan itu
bisa membuatnya senang. Bunda mendesah. Khawatir saja kalau acara nanti jadi
kacau. Bunda setuju. Dengan catatan Kalau rewel langsung pulang saja. Kasihan
ustadzah kan kalau terganggu oleh ulah Amel.
Kak
Amel mengangguk. Bunda berharap dia benar-benar mengerti. Ustadzah butuh
suasana tenang dan rileks. Tanpa dikomando, anak-anak bersiap.
Suami
ustadzah Fida yang menyambut kedatangan mereka. Bunda dan tante Irma sepakat
untuk tidak berlama-lama. Alfi dan Amel bisa memaklumi.
Mereka
diajak memasuki kamar ustadzah. Pikiran Alfi jadi macam-macam. Dia membayangkan
ustadzah kalau sakit seperti apa. Tapi ketika melewati ruang keluarga, pikiran semacam itu hilang. Dia
mencium aroma yang menggugah selera. Pasti dari dapur yang tak jauh dari situ. Perutnya
seketika terasa sangat lapar.
Kamar
ustadzah tampak nyaman. Ada rak buku mungil yang menghadap tempat tidur. Ustadzah
bisa mengambilnya sewaktu-waktu Ada dua
kursi dan satu meja kecil di depan tempat tidur. Diatasnya ada dua pajangan di
dinding berwarna hijau muda. Sama seperti di ruang tamu. Tulisan ustadzah
memang keren.
Alfi
tidak tahan berada di kamar bersama empat orang dewasa. Kamar ustadzah menjadi
sempit. Dia seperti makhluk kecil yang tergusur. Ustadzah mengajak duduk di
sampingnya. Malu-malu dia mendekat. Dia hanya duduk sebentar di ujung tempat
tidur setelah berjabat tangan. Lalu, Alfi berdiri saja. Punggungnya bersandar
pada pintu kamar.
Wajah
ustadzah Fida tampak pucat dan tirus. Tidak secerah biasanya. Ustadzah tersenyum
menyambut mereka. Alfi dan Amel senang melihatnya.
Bunda
dan tante Irma duduk di kursi. Suasana terasa akrab tapi ali dan Amel terasa
asing. Mereka diam di tempatnya masing-masing. Sesekali melihat seluruh
ruangan.
Seperti
dikomando, suami ustadzah mengambilkan beberapa toples kue, lalu menaruhnya di
atas meja. Toples-toples kue dibuka. Segera saja kak Amel memasukkan tangannya.
Mengambil satu kue yang berbentuk senyum dengan topping coklat dan memasukkan
ke dalam mulutnya.
Belum
habis makanan yang di mulut, kak Amel mengambil lainnya. Bunda menarik kak
Amel. Dia berontak. Bunda mungkin tak bisa melarangnya. Ustadzah meminta untuk
membiarkan saja. Kak Amel tertawa puas.
Kak
Amel sudah tidak mau duduk. Alfi mengajaknya keluar saja. Pembicaraan orang tua
sulit dimengerti. Aroma itu masih lekat di kepalanya. Alfi mengintip dapur. Bu
Wid, ibunya ustadzah kelihatan sibuk di dapur. Memang sesekali ikut masuk ke
kamar dan ngobrol bersama bunda dan tante. Tapi tetap menyelesaikan urusan
dapur.
Ketika
bu Wid kembali ke dapur, Alfi mengikutinya. Kak Amel ada di belakangnya. Katanya
sebentar lagi sayurnya mendidih. Alfi senyum-senyum. Sudah lama nenek tidak
memasak soto ayam. Kalau ini katanya soto ayam Lamongan. Apakah sama dengan
soto ayam langganan bunda? Alfi tak sabar ingin segera mencicipi.
Keinginan
Alfi terkabul juga. Tepat ketika air mendidih, bu Wid mematikan api. Asap mengepul,
aroma sedap menyiksa hidungnya. Dia berdiri disamping bu Wid. Melihatnya mengaduk
sayur. Dua piring dengan nasi sedikit sudah disiapkan.
Alfi
dan kak Amel menunggu dengan tenang. Semuanya tak sabar ingin merasakan soto di
depan matanya. Satu persatu nasi lengkap dengan bihun putih diguyuh kuah yang
banyak. Ditaburi koya dan bawang goreng.
Dua
anak yang merasa lapar itu menikmati sepiring soto yang asapnya masih mengepul.
Dua-duanya sudah berpindah tempat. Mereka duduk dengan damai di depan meja
makan. Minumnya? Ah, Alfi mau kok dengan segelas air mineral yang sudah ada di
depannya.
Bunda
masih ngobrol dengan ustadzah. Bertanya macam-macam. Suara ustadzah masih terdengar
lemas. Tidak semangat. Kata bunda habis sakit itu masih perlu istirahat tidak
boleh bekerja keras.
Alfi
ikut sedih kalau ustadzah sakit. Bagaimanapun juga ustadzah orang yang baik. Sering
memberinya kue-kue yang lezat. Tapi kalau sakit begini, pasti tidak bisa masak
lagi. Tidak dikasih kue lagi. Jadi Alfi berdoa saja semoga ustadzah cepat
sembuh.
Masakan
bu Wid enak juga. Dia masih ingin menambah lagi. Kuahnya saja, yang banyak
ayamnya. Alfi melirik dapur. Bu Wid tidak ada di dapur. Lalu pandangannya
berakhir pada wajah bunda yang terkejut.
Alfi
dan Amel tetap menampakkan wajah bahagia. Bunda dan tante Irma menolak ajakan
makan soto. Biarlah ustadzah yang sedang
ngidam soto.
“Kita
pulang, yuk!” bunda menghampiri mereka.
Alfi
lega. Bunda tidak marah. Tapi kak Amel masih ingin disini. Dia menunjuk kue-kue
mungil di dalam toples bening. Sepertinya orang dewasa tidak suka makan kue
itu. Masih utuh seperti kak Amel meninggalkannya.
Ustadzah
menangkap gelagat kak Amel. Dia bisa memaklumi. Tapi suaminya..entah dia sedang
pergi kemana. Padahal dia menyuruh suaminya memberikan kue-kue itu.
Untungnya
bu Wid sudah ada di dekatnya. Bu Wid menyiapkan plastik bening berukuran
setengah kilo dan memasukkan beberapa kue mungil itu. Kak Amel meloncat-loncat
dengan gembira. Alfi menggoda. Kak Amel tidak mau berbagi. Jadilah bu Wid
membungkus satu lagi untuk Alfi.
Ustadzah
menatap kepergian tamu-tamunya. Ada sesuatu yang mengganjal. Amel. Gadis
berambut keriting yang suka menunggunya di ambang pintu rumahnya. Semoga dia
tidak kesepian lagi.
Ustadzah
Fida harus menyerah meskipun dia tidak
suka dengan keadaan ini. Bukan karena suaminya. Melainkan si jabang bayi yang
tidak mau diajak kompromi. Mengapa harus dia? Teman-teman sesama guru di
sekolahnya tidak ada yang harus terkapar ketika hamil. Dia melihat mereka
bahagia dengan perut yang membuncit. Bahkan ada yang hingga menjelang kelahiran
anaknya masih sempat mengajar.
Entahlah.
Dia benci keadaan ini. Mungkinkah Tuhan memilihnya agar tidak lagi ada
kebohongan tentang Amel. Dan sudah saatnya dia membuat prioritas. Tidak mudah
menghapus rutinitas yang dijalani bersama Amel.
“Tak
baik melamun saja.” Tiba-tiba suaminya sudah duduk disampingnya. Beberapa buku
masih tergeletak diatas tempat tidur. “Ini buku yang kamu pesan. Untungnya
masih ada si toko buku. Tinggal satu. Ini saja.”
“Terima
kasih,” katanya lemah.
“Nanti
kalau butuh lagi, tinggal ngomong saja.” Tangannya mengelus lembut perut
ustadzah. Apapun keadaannya, dia sangat bahagia.
Ustadzah
mengangguk. Akhir-akhir ini, buku-buku telah menjadi temannya. Semakin banyak
yang dibaca semakin kacau saja pikirannya. Bukan salah bukunya. Tapi bayangan
tokoh utama yang mengisi kepalanya.
Cerita
roman itu hanya menjebaknya dalam kenyataan pahit yang dirasakan saat ini. Tentang
pasangan hidup. Tak semua yang kita inginkan terjadi. Termasuk ketika dia
menginginkan suami idaman. Nonsense!
Buku-buku
ini hanya menjual mimpi. Dia bosan dengan cerita dengan ending bahagia. Dia merasa
suaminya mungkin tak jujur. Laki-laki itu apa yang bisa dipercaya setelah beberapa
waktu lalu dia sempat bertemu dengan mantan kekasihnya. Masa lalu, katanya. Kini
semua telah berbeda. Bisakah dia mempercayai laki-laki itu untuk setia dengannya?
Dia
meremas kertas. Menjauhkan novel-novel itu darinya.
Mengapa
dia berada dalam posisi seperti ini. Tak ada pilihan. Apakah hidup hanya
menyediakan satu pilihan. Ingat beberapa waktu lalu pernah menulis status di
medsos. “Hidupmu sekarang adalah jalan yang kau pilih!”
Menjadi
orang yang tak punya pilihan adalah jalan hidupnya. Itu juga pilihan. Pilihan
untuk tak memilih apapun. Pilihan untuk pasrah. Mengapa harus begini? Dia tak
pernah memilih untuk seperti ini!
Bed
rest. Ini adalah keputusan final dokter kandungan yang terakhir dikunjunginya. Bed
rest memaksanya untuk berjuang. Demi bayi yang dikandungnya. Demi keluarganya. Demi
kebahagiaan semuanya dia akan patuh!
***
Malam
itu Alfi terbangun lagi. Meski sudah diperingatkan untuk tidak minum es
malam-malam, Alfi tak kuasa melihat cak Man melenggang begitu saja di depan
rumahnya. Kak Amel membeli bakso. Dia juga ikutan membeli es campur. Sepiring bakso
dimakan berdua. Tapi es campurnya setiap anak satu mangkok. Bunda dan nenek tak
mampu mencegah dua anak yang merengek.
Alfi
menggerutu setiap bunda dan nenek mulai marah. Salahkan saja Cak Man. Dia yang
panggil-panggil Alfi dan Amel. Harusnya Cak Man dilarang lewat saja agar mereka
tak membeli.
Tapi
bunda punya alasan lain. Bunda tidak bisa melarangnya. Setiap penjual memiliki
hak untuk menawarkan dagangannya. Anak-anak saja yang tergiur.
Alfi
membantah, “Perumahan ini harusnya dikasih tulisan, pengamen, pengemis dan
pedagang dilarang masuk. Biar aku tidak membeli es campur Cak Man.”
“Lalu,
bagaimana jika ada orang di perumahan ini yang lapar. Tidak bisa keluar rumah. Sedangkan
Cak Man lewat di depan rumahnya. Apakah tidak boleh membeli? Cak Man itu
langganannya banyak. Bukan cuma Alfi dan Amel. Makanya dia senang berkeliling
sini.”
“Nanti
kalau dilarang lewat, kasihan sama yang lainnya,” tukas nenek.
Malam
ini Alfi sudah dua kali ke kamar mandi. Bolak-balik membangunkan bunda. Terakhir,
Alfi tidak mendapati bunda. Seperti beberapa waktu lalu. Dia mendapati bunda
yang sedang menangis sendiri di malam-malam sepi.
Alfi
selalu saja lupa mau menanyakannya. Setiap dia bangun lagi dia sudah mendapati
wajah bunda yang cerah dan penuh semangat. Bunda berubah cepat sekali. Dan Alfi
selalu lupa begitu saja.
Sudahlah,
mungkin kapan-kapan kalau ingat saja. Alfi tak suka bunda bersedih. Dia tak mau
melihat bunda menangis lagi. Tapi benarkah bunda menangis. Atau mungkin
sholatnya harus sambil menangis. Bukankah menangis itu perbuatan yang memalukan
kalau dilihat orang lain?
Pagi
itu Alfi dikagetkan dengan suara nenek. Sepertinya sedang marah-marah. Kepada
siapa? Yang penting bukan padanya.
Alfi
mendekati ruang keluarga. Di tempat inilah mereka berkumpul untuk makan
bersama. Bunda yang masak. Nenek ikut membantu menyiapkan sayur dan menata meja
makan. Sebagian besar pekerjaan ini dilakukan bunda. Kadang-kadang Alfi juga
ikut membantu.
Pagi
hari biasanya nenek menyapu halaman hingga ke depan pagar. Menyiram tanaman
yang tidak banyak. Lebih terlihat tak terurus sih. Tanamannya tidak ada yang
menarik. Tidak berbunga, cuma daun-daun yang menyegaran mata.
Di
rumah ustadzah Fida banyak tanamannya, bagus-bagus bunganya. Semuanya dirawat
setiap hari. Lebih enak dipandang mata. Sementara tanaman nenek, kayaknya asal
tanam saja. Biji-bijian disebar begitu saja. kalau tumbuh baru dipindah. Yang
penting di rumahnya ada yang hijau-hijau. Termasuk tanaman cabe dan tomat. Itu
favorit nenek.
Cabe
rawit ini banyak hasilnya. Buat teman makan tempe dan buat memasak sayur. Alfi
pernah mencoba. Cuma sekali saja gigit cabe hijau. Kata nenek tidak pedas. Alfi
jadi ikut makan tempe dengan cabe yang baru dipetiknya. Dia mengambil yang
kecil saja. Baru sekali gigit, pedasnya bukan main. Sampai-sampai Alfi harus
minum air putih satu gelas. Itu tidak juga membuat rasa pedas hilang. Setelah
itu kapok saja.
Pagi
ini nenek tidak menyapu halaman. Pasti masih di dapur. Suara nenek masih
terdengar. Dan bunda diam saja. Bunda bilang sakit.
Alfi
bingung saja. Bagaimana dia berangkat sekolah. Nenek yang setua ini tidak
pernah sekalipun tahu sekolahnya. Pernah sekali-sekalinya diajak melewati jalan
depan sekolahnya. Tapi dia tak yakin nenek tahu jalannya. Orang tua biasanya
suka lupa. Termasuk lupa jalan.
Alfi
mendekati bunda. Menyandarkan punggungnya ke tubuh bunda. Bunda masih duduk di
kursi. Secangkir teh hangat tidak dihabiskannya. Alfi menyentuh tangannya.
Bunda melirik sejenak.
Alfi
mendesah, “Andaikan sehari ini aku tak berangkat sekolah tak apa. Semoga saja
besok bunda sudah sehat dan bisa mengantarkannya.”
Bunda
tampak lemas sekali. Tubuhnya agak panas. Alfi bersedia membelikan obat buat
bunda. Biar bunda sehat lagi. Tapi pagi-pagi begini warung tetangga belum buka. Disana menjual
abat-obatan. Nenek sering membeli obat sakit kepala. Tapi obat untuk bunda ada
tidak ya?
Alfi
tak mau beranjak dari bunda. Andaikan ada ustadzah, Alfi ikut saja. Boncengan
naik motor. Melihat bunda seperti ini rasanya tak tega juga pergi sekolah.
Bunda
tidak berangkat kerja. Meski demikian, bunda masih memaksakan diri mengantar
jemput Alfi. Begitu keluar rumah, bunda memakai jaket tebal dan masker. Kedua
tangannya ditutup dengan sarung tangan.
Sudah
dua hari ini bunda tidak bekerja. Toko terpaksa ditutup. Kedua pelayannya
diliburkan. Setiap melihat bunda yang hanya tiduran, Alfi sedih. Dia bingung.
Dia ingin menemani bunda di samping tempat tidurnya.
“Bunda,
sudah ke dokter?”
“Sudah.
Terus...dikasih obat.”
Bunda
mengangguk.
Pada
hari ketiga, kondisi bunda makin parah. Bunda tidak sanggup mengantarkan Alfi ke sekolah. Obat dari dokter tidak berhasil membuat
demamnya turun. Bunda semakin tidak nafsu makan. Hanya bubur. Itupun sedikit
dan keluar lagi.
Setiap
pagi nenek yang menyiapkan sarapan. Alfi ikut membantu. Kak Amel? Tidak perlu
ditanya. Dia adalah masalah besar ketika tidak seorangpun mau bersamanya. Kak Amel
tidak peduli. Tiga hari adalah waktu yang lama, yang harus dihabiskan tanpa
bunda disampingnya.
Nenek
kemudian mengatakan bahwa bunda harus opname. Tidak mungkin bunda di rumah
terus. Nenek tidak bisa merawatnya. Lebih baik di rumah sakit. Disana ada
dokter dan perawat yang siap mengobati penyakit bunda.
Alfi
cemas. Sungguh dia tidak ingin kehilangan bunda. Bagaimana ini? Dia bersama
siapa jika bunda di rumah sakit? Bagaimana sekolahnya? Bagaimana kak Amel?
Dia
ingin dekat dengan bunda, apapun yang terjadi. Tidak sejengkalpun dia pergi
bermain. Tidak pernah. Dia ingin menemani bunda seperti bunda menemaninya
ketika sakit.
Banyak
pertanyaan memenuhi kepalanya, tapi Alfi tahu dia tak seharusnya bertanya apapun kepada bunda. Wajah
pucat bunda selalu membayanginya. Kemanapun dia melangkah, ada gurat sedih yang
mengikutinya. Demi bunda, Alfi rela melakukan apa saja. Demi bunda Alfi akan
baik-baik.
#BlogtoBook
Cerita sebelumnya bisa dibaca disini juga:
Bab 1 : Pindah
Bab 2 : Rumah Kedua
Bab 3 : Hadiah dari Ustadzah Fida
Bab 4 : Kisah Liburan
Bab 5 : Panggilan Hati
Bab 6 : Dia!
Cerita sebelumnya bisa dibaca disini juga:
Bab 1 : Pindah
Bab 2 : Rumah Kedua
Bab 3 : Hadiah dari Ustadzah Fida
Bab 4 : Kisah Liburan
Bab 5 : Panggilan Hati
Bab 6 : Dia!
^_^
Belum ada Komentar untuk "Demi Bunda"
Posting Komentar
Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!