Jalan Angker, Mitos atau Fakta?
Minggu, 18 Desember 2016
8 Komentar
Saya
masih tak percaya apa yang terjadi semalam. Kejadian demi kejadian masih
meninggalkan trauma. Tangisan si bungsu dan ketakutan saya...
Sekitar
pukul 13.00, saya, suami dan dua anak pulang dari Malang. Kali ini tidak
mengajak anak nomor dua karena dia sedang sedang mengikuti try out. Jadi acara
saya di Malang hanya untuk mengambil rapor dan menjemput si sulung di
pondoknya. Liburan semester.
Tidak
ada acara jalan-jalan seperti kemarin-kemarin. Fokus saja untuk acara si sulung
lalu segera pulang. Ada perasaan aneh ketika meninggalkan anak meski sebelumnya
juga pernah.
Acara
di sekolah anak cukup lama. Mulai dari jam 08.00 hingga sekitar pukul 12.00. Terdiri
dari dua sesi: pengambilan rapor Ma’had dan rapor sekolah sekaligus mendengarkan
program sekolah dan pengumuman dari kepala sekolah, tampilan anak-anak. Waktu
yang tidak mencukupi akhirnya memotong sesi tanya jawab dari wali murid. Semua pertanyaan
boleh disampaikan kepada wali kelas masing-masing.
Setelah
urusan tersebut selesai, saya menunaikan sholat. Packing sudah dilakukan suami
selama saya menghadiri acara. Tinggal beres dan pulang. Saya rasa kami tidak
dalam keadaan capek. Suami dan anak-anak bahkan sempat tidur sebelum dhuhur.
Setelah
berkali-kali ke Malang, saya selalu membuat jadwal untuk pulang setelah dhuhur
hingga menjelang jam 14.00. Itu adalah patokan waktu maksimal. Tujuannya agar
ketika terjebak macet kami tidak sampai larut malam.
Perjalanan
dari Tuban-Malang sekitar 4 jam bisa sampai 7 jam lebih ketika macet. Capek. Kalau
sudah larut malam, cahaya jelas sangat berpengaruh disamping ngantuk. Itu bahaya
banget ketika menyetir kendaraan. Apalagi kalau hari berikutnya suami harus
bergegas berangkat pagi-pagi buat kerja (di luar kota).
Perjalanan
selalu diwarnai dengan kemacetan. Kalau tidak macet disini pasti di titik lain.
Begitulah sampai kita paham titik-titik kemacetan. Tapi tetap saja ada titik
kemacetan diluar perkiraan saya.
Alhamdulillah
perjalanan kami termasuk lancar. Hingga masuk wilayah Tuban sudah maghrib. Kami
sempat berhenti untuk makan dan sholat. Saya dan anak-anak sempat tertidur
juga.
Di
saat musim hujan seperti ini banyak jalan berlubang. Kondisi ini memaksa suami
untuk mencari jalan yang halus. Dipilih jalur sebelah kiri. Tiba-tiba mobil turun
dari jalan beraspal. Saat itu kecepatan mobil sekitar 80 km/jam. Masih dalam
batas yang wajar. Saya dalam keadaan terjaga. Jadi saya bisa merasakan ketika mobil
tidak bisa dikendalikan lagi. Mobil masih sempat direm dan berhenti setelah
menabrak pagar pabrik rokok yang berada di kanan jalan.
Entah
mengapa rongga suara saya tercekat. Blank! Saya tidak bisa berteriak. Shock hingga
seluruh tubuh lemas dan gemetar.
Alhamdulillah,
saya bersyukur tidak ada yang terluka. Saya bersyukur masih diberikan
kesempatan untuk menghirup udara di dunia. Perlahan saya berusaha keluar dari
mobil. Masalah kerusakan mobil biarlah, nanti masih bisa diperbaiki, yang
penting Allah masih memberikan kesempatan saya untuk bertemu dengan keluarga.
Beberapa
orang mendekat dan bertanya macam-macam. Suami yang masih shock juga tak
percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Mengapa mobil sampai oleng ke kanan?
Mengapa menabrak pagar hingga masuk seperti ini?
Kemudian
dua petugas sekuriti pabrik menghampiri.
Bicara sebentar dan meminta kami datang ke posnya. Dalam keadaan seperti ini
kami pasrah saja. Kami memang harus bertanggung jawab terhadap kerusakan ini.
Di
dalam pos sekuriti itu bapak-bapak itu bercerita bahwa di sekitar jalan ini
sering terjadi kecelakaan. Mereka kerap menjadi saksi mata ketika ada mobil
yang tiba-tiba nylonong ke pabriknya. Padahal di depannya tidak ada apa-apa. Tidak
sedang menghindari kendaraan lain ataupun sedang menyalip. Mungkin kasusnya
sama seperti kami.
Percaya
atau tidak di sekitar jalan ini termasuk angker. Mereka juga bercerita tentang “penampakan”.
Begitulah penuturan bapak-bapak penjaga ini. Saya juga pernah mendengar cerita
seram dari orang tua dan teman-teman. Tubuh saya yang masih gemetar dan masih
sulit mencerna kejadian demi kejadian ini.
Saya
ingat beberapa tahun lalu pernah belajar mengemudi dan guru saya ini bercerita
tentang jalan yang angker. “Kalau memang jalan itu angker dan pernah terjadi
kecelakaan disitu, apakah kamu tidak akan lewat selamanya? ”
Tidak!
Siapapun kita tak bisa menghindari jalan yang katanya “angker”. Takut atau
tidak kita pasti tetap melewatinya karena kenyataannya jalan itulah yang biasa
kita lewati untuk memudahkan perjalanan.
Jadi masih percaya bahawa jalan itu angker?
Dengan kejadian seperti ini saya ingin bisa lebih berhati-hati. Saya tidak ingin menyalahkan jalan yang angker. Lebih baik intropeksi diri. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti, besok dan yang akan datang. Lewat ataupun tidak di jalan itu, percayalah hanya kepadaNya.
Dalam
keadaan seperti ini, maut terasa sangat dekat. Tak ada yang tahu kapan datang. Tak ada kabar sehingga kita sempat bersiap. Tak ada. Tapi dunia serasa melenakan. Lalu Allah menegur kami. Adakah perintahNya yang
kami lupakan? Mungkin kami lebih banyak khilaf. Lebih banyak dosa yang
tertimbun sehingga kami perlu dijewer.
^_^
Duh ..
BalasHapusSyukurlah tak ada masalah ya mba
Iya, alhamdulillah.
HapusKalau aku sama suami melewati jalan yang terkesan angker cuma bisa pasrah dan berzikir deh
BalasHapusSepakat.
HapusBetul mba, kadang kita yg harus berhati-hati. Aku sering banget ngelewati cipularang malam-malam ke Bandung sendirian, dan katanya disitu seram. Alhamdulillah sih ngga pernah kejadian apa2 karena ngga terlalu mikirin hal2 aneh & fokus nyetir karena jalan sepanjang cipularang jelek banget, salah2 dikit mobil bisa oleng karena lobang2.. :)
BalasHapusSaya mikirnya human error saja. Terperosok ke dalam jalan berlubang dan oleng. Begitu saja agar pikiran tetap positif.
Hapusmelewati jalan angker serem
BalasHapusBismillah. Berdoa dan pasrah saja.
Hapus