Belajar dari Dapur Kita






Dulu saya sering berpikir apa yang menarik dari dapur. Ruangan yang terlihat sempit, sumpek dan acak-acakan dengan aneka macam peralatan dapur lengkap dengan aroma khasnya. Iya itu dulu, ketika saya masih kecil.

Seingat saya dapur itu tidak keren. Tidak menyenangkan! Membayangkan saja, malas! Coret deh dari daftar kegiatan sehari-hari. Lalu mengapa bisa seperti itu? Jawaban sederhana, karena saya tidak suka memasak. Sepanjang ingatan saya di waktu kecil, memasak itu bikin area dapur kotor dan capek.

Mau menyalakan kompor saja butuh waktu. Maklumlah ibu saya pengguna setia kompor minyak. Lalu aromanya membuat bapak saya melarikan diri. Setelah kompor menyala, asapnya menjadi hiasan dinding. Cakep deh! Tidak itu saja, ada banyak peralatan memasak yang akhirnya berubah warna, menghitam. Membersihkannya seperi orang olah raga. Tapi ibu saya begitu senang memasak. Saya katakan senang memasak karena ibu selalu sibuk di dapur jika keluarga sedang berkumpul. Mempersiapkan menu-menu spesial yang membuat kami selalu rindu pulang.

Kenyataannya, saya tidak bisa menghindari dapur. Ini terjadi ketika saya mulai memiliki anak. Demi anak, demi menghemat pengeluaran keluarga, demi menyiapkan masakan yang sehat, mau tak mau saya mesti turun ke dapur. Dan saya tidak mau dapur saya hitam. Padahal saya masih sempat menggunakan kompor minyak beberapa tahun kemudian.

Setelah berada di dapur saya bingung. Saya yang tidak suka memasak otomatis tidak tahu cara memasak sesuatu, tidak hafal semua bumbu dapur, dan tidak tahu menu yang cocok untuk keluarga. Tapi kalau cuma bawang merah, bawang putih, merica dan garam pasti tahu betul. Aduh parah...parah banget kalau mengingat masa-masa itu! *tutup muka.

Suami saya mungkin bukan orang yang terlalu peduli dengan makanan. Dia tidak pernah meminta, tidak pernah pula mengeluh. Kalau cocok dimakan, sedangkan kalau parah ya diam saja. Bahkan dia sering mengajak makan di luar. Biar saya tidak capek. Padahal mungkin ada alasan lain ya...

Keadaan seperti ini justru tidak menyenangkan. Saya di rumah dan jarang memasak. Tetapi saya memiliki tetangga-tetangga yang baik. Saya akan selalu mengenang kebaikan mereka. Di awal-awal menikah, ketika saya harus beradaptasi dengan suami, dan lingkungan baru, justru dekat dengan para tetangga membuat hidup saya lebih cerah. Dari mereka saya mengenal masakan dari daerah-daerah lain.

Salah satu cara cepat untuk bisa memasak adalah dengan menelpon ibu untuk menanyakan resep masakan. Saya mencatat semua kata ibu di notes kecil. Lalu membawanya ke dapur. Waktu itu saya belum akrab dengan si mbah Google. Saya juga sering bertanya kepada tetangga. Tapi lain daerah lain pula bumbunya. Kadang-kadang ada yang mirip, tapi kadang saya kurang cocok.

Saya mulai membeli buku, majalah dan tabloid memasak. Lumayan buat bekal menu sehari-hari. Ini sangat membantu sekali. Mulai deh saya eksperimen macam-macam menu buat anak. Terutama memang buat anak.

Mengubah mindset

Dulu, ketika masih di kost, saya ikut teman-teman yang gemar memasak. Sekali-sekalinya saya memasak dan rasanya...aduhai...ingin sekali langsung dimasukkan ke tempat sampah. Tapi sudahlah, proses untuk memasak bagi saya cukup panjang.

Memasak itu menyenangkan. Dengan menanamkan pemikiran seperti itu saya mulai menyenangi kegiatan ini. Saya yakin pekerjaan/kegiatan apapun jika dilakukan sepenuh hati, insyaAllah hasilnya akan menyenangkan buat diri sendiri maupun orang-orang di sekitar. Contoh sederhananya ketika saya mengajak anak-anak ke dapur. Melakukan pekerjaan-pekerjaan ringan seperti memberi topping kue. Mereka justru bereskperimen. Kalau dikasih ini jadi bagaimana? Kalau bentuknya diubah seperti ini, bagus tidak?

Meskipun di rumah ada si mbak (ART) tapi anak-anak sering masak-masak juga. Bisa dikatakan memasak itu seperti sebuah permainan. Mengolah bahan-bahan makanan hingga menjadi hidangan. Sebuah proses yang bisa membuat mereka menghargai kegiatan memasak.

Tips memasak bersama anak:

  • Selalu mendampingi anak. Untuk anak-anak saya yang masih SD saya hanya memperbolehkan menyalakan kompor ketika ada saya di rumah. Sementara kakaknya, mulai SMP saya mulai memberi tanggung jawab untuk memasak. Minimal untuk mengurus sarapan sederhana di rumah seperti membuat tumisan, menggoreng, membuat minuman. Itu gampang sekali.
  • Memberi contoh dan arahan. Misalnya untuk mengiris itu caranya bagaimana. Mereka suka seenaknya saja. Padahal kalau diperhatikan dengan mengiris itu anak bisa belajar pembagian. Bagaimana caranya agar sayur itu tampak simetris, tidak perlu sama persis, tapi minimal enak dipandang. Yang sering terjadi mereka memotong besar sekali atau sebaliknya, kecil sekali. Tidak sebanding deh!
  • Jangan mencela. Namanya juga masih belajar. Padahal sudah berkali-kali, tetap saja begitu. Gosong. Seringkali kejadian seperti ini. Kalau masih bisa di make over artinya masih bisa diselamatkan. Tapi kalau sebaliknya...wasalam deh!
Anak kedua saya sering membuat roti bakar. Hasilnya untuk dinikmati sendiri, dibawa sebagai bekal ke sekolah. Kadang berhasil, kadang sebaliknya. Saya selalu mengingatkan agar tidak meninggalkan dapur.

Ketika tidak berhasil alias gosong, si anak ini senyum-senyum. Untungnya tidak parah. Jadi roti bakar yang dipanaskan diatas teflon itu bisa dibersihkan bekas gosongnya. Dikerik saja dengan pisau. Rontok juga bekas gosongnya. Kalau perlu diiris. Nah, roti bakarnya siap dibawa ke sekolah.

Untuk kasus seperti ini memang sangat biasa. Kadang menggoreng tempe, pisang sering kelamaan tidak diangkat. Akibatnya gosong. Kadang masih ragu-ragu sehingga tampak gorengannya masih pucat.

Saya tidak mencela ataupun memarahi. Dia tahu telah melakukan kesalahan. Itu sudah cukup. Atau ketika mencicipi masakan buatannya lalu terasa agak aneh. Hahaha...pasti ada yang kurang atau kelebihan!

Yang perlu diingat ketika anak sudah mau membantu di dapur adalah saya memberikan kesempatan untuk mencoba. Tidak perlu terlalu peduli soal rasa dan tampilan. Ini bukan untuk lomba. Jadi abaikan saja. Kalau suami saya tidak pernah sekalipun mengeluhkan masakan saya yang kacau, mengapa saya harus mengeluhkan masakan anak-anak. Biarkan saja. Perlahan, mereka tahu kok. Merekapun mulai menghargai bahwa memasak itu tak mudah. Butuh perjuangan.




Bagi saya memasak itu tidak melihat jenis kelamin. Mau laki-laki mau perempuan ayo saja. Karena anak-anak saya laki-kaki semua, jadi tidak masalah kalau mereka berada di dapur. Biasa saja. Kalau orang tua dulu, sering mengingatkan bahwa tidak layak menyuruh laki-laki (suami) ke dapur. Saya rasa anggapan seperti itu sudah berlalu. Jadi ketika suami berada di dapur untuk membantu pekerjaan kita, justru orang tua yang marah.  

Faktanya tidak selamanya di rumah ada yang mengurus. Kalau saya sakit lalu bagaimana? Kalau tidak ada ART di rumah?

Anak-anak terbiasa melihat kesibukan saya di dapur. Mereka akhirnya terbiasa saja dengan pekerjaan-pekerjaan kecil. Saya harap mereka tidak merasa keberatan jika suatu waktu memang harus di dapur. Sama seperti pekerjaan lainnya, di dapurpun nyaman. Sama seperti ruang lainnya, dapur perlu dirawat sehingga penghuninya betah.

Berada di dapur itu sejatinya adalah tempat untuk menikmati family time bersama keluarga. Tidak perlu keluar budget mahal, bukan? Lha cuma di rumah sendiri, ngubek-ubek isi dapur dan tara.... sebuah hadiah kecil dari anak-anak!
Seperti pagi itu, si anak bikin pisang bakar. Pokoknya yang mudah-mudah saja dan sesuai dengan seleranya. Lalu menyiapkan bekalnya sendiri. Kalau sudah begini rasanya ada diskon pekerjaan rumah.

Kalau teman-teman bagaimana? Sharing yuk!

^_^



Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

18 Komentar untuk "Belajar dari Dapur Kita"

  1. Aku dulu jg paling muales kalo airuh ke dapur mak enakan makannya ajah heheh tp setelah nikah ya mau ga mau lah ya. Meskipun sampe sekarang ga jago masak tp lumayan lah asal yg gampang2 aja. Kalo pas libur n ga kemana2 aku jg suka ngajakin nadia masak yg gampang2 n dia suka kaya spageti misalnya

    BalasHapus
  2. Anakku skrg yg mau 4 taun jg lagi suka ngajak ibunya oprek2 dapur mba.. Bikin puding pingin ikut ngaduk, bikin popcorn, oles2 roti, bikin buncis goreng tepung dia yg masukon ke tepungnya. Dapur pun sukses jd lebih berantakan hehe.. Padahal aku termasuk yg males masak :D

    BalasHapus
  3. Jujurnya aku ga terlalu suka masak mbak.. Mungkin yaaaa ini krn sejak kecil kita memang dilarang masuk dapur ama mama.. Katanya cm bikin berantakan dan rusuh :D. Ya namanya anak2 yaaa.. Tp gara2 dilarang trs, aku ama adek2ku juga jd males masuk dpur, dan ga pengen samasekali bljr masak jadinya..

    Nah udh jd ibu gini, sbnr nya pgn sih anak2 bisa pinter masak.. Makanya aku g prnh ngelarang tuh kalo babysitternya ato mba ART lg msk, si kaka biasanya suka pgn bantu2 walo sbnrnya msh lbh ngerusuh drpd ngebantuin :D. Tp gpp lah... Biar dia seneng dulu, jgn kyk emaknya yg jd ga suka masuk dapur :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak perlu dilarang deh anak-anak. Biar mereka senang dengan kegiatan sederhana sesuai dengan umur mereka. Yang penting ditungguin biar aman.

      Hapus
  4. Berekspolarasi di dapur bersama anak-anak emang menyenangkan Mbak. Sayapun meski sibuk tetap mengupayakan minimal sehari sekali masuk dapur.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Agar anak-anak terbiasa melihat aktivitas di dapur. dan akhirnya turun tangan membantu ya.

      Hapus
  5. iya ya mba. memasak itu ga memandang gender
    wong chef ternama kebanyakan juga laki2

    BalasHapus
  6. Saya belajar masak dari almarhumah nenek. Karena ngajarinnya sambil ngomel, saya pun beranggapan kalau memasak itu hal yang menyebalkan :D Tapi saya tetap jadi asisten masak beliau, ketimbang kena damprat, hahah... Sampai akhirnya mindset pun berubah, skill apapun yang saya miliki, mungkin akan jadi modal saya cari duit nantinya. Foto makanan di majalah yang cakep2 bikin saya jadi semangat untuk ngikutin, walau hasilnya pasti beda banget :D Dan ternyata benar, dua kali saya dapat uang dari resep masakan, haha... satu dari tabloid Saji dan satu menang lomba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Miss Nita keren. Apapun yang kita lakukan mesti seneng ya.

      Hapus
  7. Setuju bangeet mak... Masak itu perjuangan banget!! Dari mulai bahannya sampe d rmh, bersihin, ngupas bumbu dan seteruussnya, warbiyasa..buat aku perjalanan panjang juga x)

    BalasHapus
  8. Saya juga nggak suka masak, tapi apalah daya tuntutan rumah tangga. Sekarang kan udah banyak bumbu-bumbu instan penyelamat walaupun meracik sendiri akan lebih enak pastinya. Eh tau-tau, belanja peralatan dapurnya asik juga sih wuehehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bumbu praktis emang penyelamat perjalanan panjang memasak. hihihi...

      Hapus
  9. Sepertinya budaya mengajari anak-anak memasak makanan perlu dilakukan secara dini agar anak-anak mempunyai kepintaran lain.
    Terima kasih artikelnya yang menarik dan bermanfaat.
    Salam hangat dari Jombang, Jawa Timur.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih pak dhe Cholik.

      Saya biasa melihat saya memasak di dapur dan tertarik. Ayo saja main masak-masakan!

      Hapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel