Weekend Tanpa Ayah





Untuk ke sekian kalinya, saya melewatkan hari-hari libur bersama anak-anak. Suami sedang ada kegiatan di luar pulau. Meski hanya sementara, tapi rasanya memang aneh. Biasanya di hari Sabtu dan Minggu, mereka menghabiskan waktu bermain bersama ayahnya.   

Seperti yang saya duga, anak-anak rupanya gampang bosan. Di rumah sepanjang hari bukan pilihan yang tepat buat anak-anak yang sedang aktif.  Padahal anak-anak ada tugas dari sekolahnya. Mengerjakannya dicicil, sambil mainan tentunya. Akibatnya tidak kunjung selesai, tapi sudah bosan!

Saya ajak keluar rumah, keliling kota, sambil mencari foto. Ah, lebay banget. Padahal selama ini saya hunting foto juga sama suami. Jadi aneh saja ketika saya menenteng kamera bersama anak-anak. Di satu sisi saya ingin anak-anak menikmati suasana yang berbeda. Tapi kemudian mereka berlarian kesana kemari. Ya, mereka butuh untuk menyalurkan energi, bukan!

Lama-lama saya merasa seperti sedang main kejar-kejaran. Ya, capek juga, akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja. Rasanya tidak menikmati suasana seperti ini. Selanjutnya anak-anak bebas bermain di rumah mbahnya. Tapi kemudian membuat huru-hara di dalam rumah. Kacau banget. Kalau di rumah sendiri mungkin saya bebaskan saja. Asalkan semua bentuk kekacauan dibereskan.

Dua anak sepertinya memiliki segudang alasan untuk bertengkar. Artinya mereka memiliki kelebihan tenaga. Jadi saya ajak mereka melakukan aktivitas lainnya. Saya tahu mereka pasti bosan. Suami sampai berkali-kali menelpon untuk memastikan bahwa kami baik-baik saja. Sayangnya hanya saya yang menjawab. Sementara anak-anak menghilang begitu saja. Sekalinya ngomong mereka marah-marah dan telepon dimatikan. Huff!

Memang hari libur adalah hari keluarga. Semua anggota keluarga kecuali si sulung harusnya berkumpul. Faktanya tidak! Meski sudah berkali-kali saya katakan kepada anak-anak, minggu depan ayahnya pulang, tetap saja gelayut kecewa menggumpal di pelupuk matanya.

Beberapa tahun yang lalu, saya kerap melewatkan hari libur tanpa suami. Semua rutinitas berjalan seperti biasa. Saya mungkin sudah lupa rasanya seperti apa. Yang ada hanya harapan agar hari segera berganti dan bisa berkumpul bersama.

Kami telah melewati masa-masa seperti itu. Seperti biasa saya tetap melakukan aktivitas sehari-hari. Saya masih bisa meninggalkan anak-anak untuk melakukan kegiatan di luar rumah dan bertemu teman-teman.

Tapi kali ini saya sengaja meluangkan waktu untuk anak-anak. Saya ingin ada bersama mereka. Ketika kecewa, marah dan resah menjadi sesuatu yang tak terhindarkan, saya ada di dekatnya.

Beberapa rencana yang saya siapkan memang berhasil mengisi waktu libur. Anak-anak memiliki kesibukan disela-sela pertengkaran. Satu acara bermain beres, ganti lainnya. Sampai saya sendiri menjauh dari laptop dan gadget.

Seperti waktu mereka bermain air. Awalnya di kamar mandi. Tapi kemudian menjalar hingga depan pintu kamar mandi, lalu dapur dan ruangan lainnya. Di daerah lain kesulitan air tapi ini malah main air. Aduh!

Sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut, mereka harus membersihkan lantai. Dua anak harus bekerja sama. Bukan saling menyalahkan. Dengan berat hati keduanya bergerak. Tahu bukan kalau lantai licin itu justru membahayakan diri sendiri. Yang sering jalan dan terpeleset siapa? Ya, mereka sendiri, karena ulah mereka pula.

Saya tidak sendirian. Ada teman-teman lain yang juga melakukan LDM (Long Distance Marriage). Biasanya kami saling support. Memang tak mudah. Tapi kita selalu percaya bisa melewati saat-saat seperti ini.

Kesimpulan:


  1. Buat para pejuang LDM (Long Distance Marriage) percayalah selalu ada cara untuk membahagiakan anak-anak. Contoh sederhananya ketika saya memasak bareng anak-anak dengan menu kesukaan mereka. Lalu makan bareng.
  2. Buat rencana. Tidak perlu berorientasi pada hasil. Anak-anak harus memiliki kesibukan agar bisa melewatkan hari liburnya dengan damai. Lupakan urusan rumah yang berantakan karena ulah mereka.
  3. Selalu memotivasi mereka untuk melakukan kegiatan positif. Misalnya yang suka menggambar, maka saya ikutan menggambar dan mewarnai.
  4. Luangkan waktu untuk menemani mereka. Siap mendengarkan semua cerita dan keluh kesah mereka.


^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

6 Komentar untuk "Weekend Tanpa Ayah"

  1. walaupun tanpa suami, masih ada yang bisa membuat suasana senang libur sama anak-anak, memang ada rasa sedikit kekurangan karena tanpa suami

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi...bikin seseruan bareng anak-anak biar senang.

      Hapus
  2. Aku ga bisa bayangin gimana menjalin LDM. Ayway saut deh buat yang ngejalaninnya, karena feelnya sama nano-nanonya (ketauaan anak 90's hahhaha) dengan yang ketemu setiap hari. Yag jelas kangennya lebih berasa ya, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beneran deh. Makanya quality time sangat penting.

      Hapus
  3. Dulu suami pernah mendapat tawaran yang lebih baik, konsekuensinya ya LDM. Dan saya menolak huhuhu.. Salut deh sama yang LDM, kalian hebat!

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel