I Will Survive





Tidak pernah terpikir sebelumnya jika saya sampai detik ini masih menjalani long distance marriagge. Yang kami rencanakan menjelang pernikahan adalah tempat tinggal. Maklum waktu itu saya berada pada masa akhir kuliah. Saya tinggal di Semarang. Sementara suami sudah bekerja di Jakarta.


Keputusan saya sudah bulat bahwa setelah menikah akan mengikuti suami. Ada cita-cita yang harus saya korbankan. Tapi saya percaya bahwa dengan tinggal bersamanya jauh lebih baik. Setelah urusan kuliah beres saya masih ke Semarang untuk mengambil ijazah dan barang-barang di kost.

Saya ingin meniti jalan. Tak mudah. Tapi tak ada yang tak mungkin. Kami harus bisa melewati masa adaptasi ini di awal pernikahan. Sebelumnya menikah kami hanya tiga kali bertemu. Itupun membahas hal-hal yang penting. Diantara kegalauan saya sebagai pasangan yang baru menikah, suami selalu menjadi tempat bersandar yang menyejukkan hati.

Harapan saya sebagai seorang istri sederhana saja. Bisa membersamai suami dalam suka dan duka. Mengiringi langkahnya, mendukung kariernya.

Apa yang kami rencanakan mungkin hanya sebatas angan-angan. Setelah tinggal di Jakarta, suami mutasi ke daerah lain. Tiap tinggal di suatu daerah kami berusaha mencari tempat tinggal sendiri. Mendatangi pameran perumahan hingga mendatanginya satu per satu.

Mengenang masa-masa itu, perjuangan yang berat. Beberapa kali tinggal di rumah petak dan rumah dinas. Bertemu dengan banyak orang dari daerah lain. Seru! Kami menyusuri jalan yang tak sama. Setiap jejak adalah tempat untuk belajar mendewasakan diri. Setiap jejak membuat lembaran-lembaran hidup menjadi lebih berwarna. Meski kadang tak selamanya cerah.

Andai bisa menolak, pasti kami ingin tidak ada mutasi. Iya, kabar tentang mutasi pegawai itu sering terdengar lebih nyaring daripada suara Ariel Noah. Antara harapan dan ketakutan, bercampur menjadi desir-desir keraguan.

Saya lebih suka menyebutnya H2C, Harap-Harap Cemas. Satu kawan mengabarkan mutasi. Mengucapkan kata “selamat”, yang kami sendiri tak mengerti artinya. Pekerjaan suami masih sama. Jenjang karier dan lainnya, ah sudahlah. Sebagai istri saya hanya ingin mendukungnya. Menemani langkahnya agar tetap tegap menatap masa depan.

Jalan ini pilihan kami. Bahkan ketika kami tak memilih apapun. Itu adalah pilihan untuk tak memilih. Hidup ini kami yang merencanakan. Namun, sekali lagi, Tuhan lebih berkuasa. Saya percaya selalu ada kebaikan dibalik kata “mutasi”. Kami saling meyakinkan untuk bisa melewati masa ini. Selain terus memohon agar tempat kerja suami dekat dengan rumah.

Awalnya karena suami sering mutasi. Saya memilih untuk kembali ke kampung halaman. Memiliki membangun rumah sendiri seperti impian kami. Merancang masa depan bersama orang-orang tercinta, meski kenyataannya harus tinggal berjauhan dengan suami. Bagi kami, selalu ada waktu untuk bertemu, berkumpul bareng. Di saat libur panjang sekolah kami biasa ikut ke kota tempat suami bekerja.

Pernah baru setahun tinggal, sudah ada surat pindah. Mau bagaimana? tinggal sendirian di rumah dinas? Saya sudah merasakannya. Sambil menunggu hari libur dan suami pulang. Atau di rumah kontrakan saja? Lalu kapan memiliki rumah sendiri? Kapan kembali lagi? Tak ada yang pasti.

Banyak suka dukanya menjalani kehidupan seperti ini. Saya bersyukur bisa bertahan bertahun-tahun seperti ini. Kadang-kadang sulit untuk menggambarkan seperti apa bentuk LDM. Absurd. Tapi kami percaya. Ada banyak hal yang selalu kami genggam:


  1. Percaya. Iya, siapapun kita harus bisa saling mempercayai pasangan. Jadi kalau ada masalah, kami saling terbuka.
  2. Jangan pernah sedikitpun terlintas pikiran buruk.  Maka saya berusaha berpikir jernih terhadap pasangan. Saya yakin apapun yang dilakukannya pasti ada tujuannya. Dan tujuan itu mengarah kepada kebaikan juga.
  3. Mengenang kebaikan suami. Kalau sedang berjauhan apa sih yang terpikirkan tentang pasangan? Mengenang kebaikannya memupuk rasa cinta.
  4. Meluangkan waktu. Jika sedang bersama suami, saya berusaha mengurangi kegiatan di luar rumah. Kalaupun ada, sebelumnya saya sudah ngomong. Jadi waktu untuk bersama tetap berkualitas.
  5. Komunikasi lancar. Saat ini apa sih yang tidak mungkin untuk berkomunikasi. Semuanya mudah, semudah isi pulsa lalu tekan nomornya, dan ngobrol sepuasnya. Apalagi kalau saya atau anak-anak sedang sakit, dalam sehari suami bisa menelpon berkali-kali.
  6. Dekat dengan keluarga besar. Saya masih tinggal satu kota dengan keluarga besar saya dan suami. Itulah yang membuat kami merasa aman.
  7. Jangan sungkan untuk meminta bantuan. Selama suami tidak ada di rumah sayalah yang harus bertanggung jawab terhadap anak-anak dan rumah. Namun ada kalanya saya tak berdaya. Di saat seperti itulah bantuan dari keluarga dekat, tetangga, teman sangat saya butuhkan. Ketika anak saya sakit, ketika ada masalah dengan rumah, dsb.



Kalau dulu masih tinggal bersama suami, kemana-kemana saya sering diantarkan. Ada kekhawatiran jika saya tidak tahu jalan. Haha... Apalagi baru menikah. So sweet! Menjadi seorang pelaku LDM, saya dipaksa untuk mandiri. Saya yang awalnya tidak bisa naik motor, terpaksa harus bisa. Tidak ada orang yang akan mengantarkan saya kesana-kemari. Nekad, delapan tahun yang lalu akhirnya saya bisa naik motor.

Saya yang takut naik motor di malam hari karena pandangan tidak jelas, harus berani juga. Siapa yang akan membawa anak-anak ke dokter kalau malam-malam demam tinggi. Yang bisa dilakukan sendiri, pasti saya lakukan. Bismillah, I will survive.

Keadaan seperti ini membuat saya harus bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Kalau hari-hari kerja saya juga harus berkarya, sama seperti dia, bekerja secara maksimal. Melakukan rutinitas seperti biasanya dan mengikuti kegiatan sosial. Seperti beberapa waktu lalu ada pengobatan gratis yang dilakukan oleh BSMI cabang Tuban yang bekerjasama dengan sekolahnya anak-anak. Senang bisa menjadi bagian dari kegiatan seperti ini. Meskipun saya bukan tenaga medis, tapi senang bisa membantu. Melihat warga yang berduyun-duyun mengantre pemeriksaan kesehatan seolah menjadi cermin yang nyata. Bahwa siapapun kita, pasti memiliki kemampuan untuk berbagi. Tidak masalah dengan apapun profesi, kemampuan dan keahlian kita Ilmu, tenaga, waktu dan harta merupakan sarana untuk berbagi dengan saudara kita. Dengan berbagi, kita mampu menjadi manusia yang bermanfaat.



Sementara di hari libur saya ingin  mengurangi penggunaan gawai. Saya tidak ingin gawai ini merebut waktu kami. Family time sangat memegang peranan penting dalam mempererat hubungan antar anggota keluarga. Kami bisa berkumpul ya disaat seperti ini.

Waktu bersama sangatlah berharga. Kami tidak ingin merusaknya dengan urusan yang mengganggu hubungan kami. Kalaupun ada salah paham, pastinya pernah. Itu tidak bisa dihindari. Kami tak ingin berlarut-larut. Tinggal bagaimana menyikapi saja. Sayang bukan, kalau hanya dua hari di rumah lalu kami diam-diaman. Atau justru marah-marah! Lalu sakit hati yang berkepanjangan. Ugh! Sayang, rasanya seperti sedang menyia-nyiakan waktu.

Hargai waktu untuk menikmati kebersamaan. Karena waktu tak mungkin berulang. Setiap detiknya adalah anugrah terindah. Setiap waktu yang ada semoga menjadi jalan untuk berkumpul di jannahNya. 

Tulisan ini diikutsertakan dalam #ZiaGiveaway2017 "Perempuan Yang Menginspirasi".
 http://www.ruangbacadantulis.com/2017/03/zia-giveaway-2017.html


^_^

Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

18 Komentar untuk "I Will Survive"

  1. Hallo mba. Semoga kuat ya bisa menjalani LDR. InsyaAllah semuanya semoga dberikan jalan terbaik. Walau tak mudah karena aku pun kayaknya tak sanggup

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saya sih, akhirnya terbiasa juga. Makasih mba Al.

      Hapus
  2. Saya termasuk yang gak LDR-an. Ditinggal semalam aja bisa teleponan melulu. Ditinggal 3 hari, malah saya susulin hehehe. Tapi saya salut sih dengan pasangan yang menjalankan LDR dan mampu memanage hubungan dengan baik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kudu bisa memanage mba. Intinya saling menjaga kepercayaan.

      Hapus
  3. Semoga rumah tangganya langgeng selama-lamanya dan diberkahi Allah selalu :)

    BalasHapus
  4. Wah berat banget kalau itu. Apalagi statusnya udah merit. Tapi emang kadang kondisi nggak memungkinkan. Kayak mbak dan suami Yang kerjanya pindah pindah.
    Saya sendiri cukup bersyukur karena kerja di rumah, jadi bisa ketemu setiap hari sama keluarga.
    Tips-nya bagus. Semoga tetap kuat ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Apalagi kalau ada anak-anak. Pindah-pindah sekolah juga. Yang anak pertama mengalami ini. So far, anaknya baik2 aja. Punya banyak pengalaman berbeda dengan teman-teman barunya.

      Hapus
    2. A/lillaah, berarti ada untungnya juga ya hehehe

      Hapus
    3. Di semua kisah InsyaAllah ada suka dukanya. Termasuk bisa mengenal daerah baru.

      Hapus
  5. Semoga baik2 saja ya Mbak walaupun LDM. Teman saya, istri pelaut, LDMan ber-tahun2. Sekarang ya udh kumpul setelah pensiun. Salam kenal...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal mba Hani,

      Aamiin doanya. Saya juga memiliki teman-teman yang LDM dengan suaminya. Alasannya hampir sama, karena pekerjaan suami yang kerap berpindah atau jauh.

      Hapus
  6. Semoga langgeng terus ya mbak hingga dunia selanjutnya ^^ salut deh mbak, aku mah gak sanggup baperan orangnya 😂

    BalasHapus
  7. Mba hebat nih, bisa bertahan walau LDR. Semoga bahagia selalu dan pernikahannya langgeng sampai maut memisahkan ya Mba. Aamiin :)

    BalasHapus
  8. Wanita itu makhluk yang kuat, mereka bisa mengurus diri sendiri, menjaga anak dan membereskan rumah walaupun ditinggal-tinggal suami. Beberapa suami kadang pas ditinggal istri sebentar saja langsung kacau balau kondisi rumah. haha

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel