Cita-Cita Ibu




Beberapa kali saya mendapat pertanyaan dari anak-anak, “Apa cita-cita ibu?”

Ketika mereka masih kecil, membayangkan sebuah cita-cita itu sesuatu yang absurd. Bagaimana mungkin mereka menginginkan menjadi seorang dokter, sedangkan yang mereka ketahui tentang dokter sebatas memeriksa pasien, memberi resep, menyuntik, memberi nasihat terkait penyakit. Tapi kata “menjadi dokter” itu sesuatu yang lumrah alias sering sekali dikatakan anak-anak.

Bagi anak-anak, cita-cita adalah pekerjaan yang diinginkan ketika dewasa nanti. Katakanlah menjadi dokter, pilot, guru, tentara, polisi, astronot, arsitek dan presiden. Atau ada yang ingin menambahkan?

Dulu, ketika si tengah masih belum sekolah, dia bercita-cita menjadi seorang sopir truk. Lucu ya. Alasannya sederhana. Waktu itu si anak sering melihat truk yang mengangkut pasir. Lalu baknya bisa terbuka perlahan. Dia senang sekali. Baginya itu sesuatu yang luar biasa.

Seiring dengan berjalannya waktu, cita-cita anak berubah. Ketika dia melihat sesuatu itu menarik, saat itulah cita-citanya berubah. Ada yang lebih keren lagi. Begitulah seterusnya. Bahkan ada yang berubah karena terpengaruh teman.

Si bungsu beda lagi. Dia suka menggambar dan bercita-cita menjadi seorang arsitek. Ya, cita-cita berkaitan erat dengan suatu kegemaran!

Lalu  bagaimana dengan cita-cita ibu? Apakah ibu yang sudah tidak muda ini masih boleh memendam cita-cita? Apakah ibu yang sehari-hari di rumah ini masih pantas untuk bercita-cita seperti anak-anak? Apakah ibu yang sudah tidak bersekolah formal ini masih bisa bercita-cita?

Ah, saya ragu. Entah bagaimana menjelaskan kepada mereka. Tentang pekerjaan saya, anak-anak pasti tahu. Namun tentang cita-cita...

Saya mulai bercerita saja. Ketika kecil saya juga memiliki cita-cita. Sama seperti anak-anak lainnya. Cita-cita saya berubah. Total!

Hanya saja cita-cita orang tua tidak sama seperti cita-cita anak-anak pada umumnya. Cita-cita saya berubah, seiring dengan berubahnya waktu, seiring dengan bertambahnya pengalaman hidup dan harapan.

Hidup itu dinamis. Segala yang berhubungan dengan cita-cita juga demikian. Saya tidak mau pasrah, menerima begitu saja, apapun kehidupan ini.  Menjadi ibu rumah tangga, di rumah saja atau bermasyarakat, saya tetap bercita-cita.

Anak-anak harus tahu. Ibu tidak diam di rumah. Ibu bergerak, berusaha menggapai cita-cita. Ibu bisa belajar dari mana saja. Tidak terbatas dengan sesuatu yang formal.

Jadi, apa cita-cita ibu?

Cita-cita ibu sederhana. Ingin menjadi manusia yang bermanfaat. Menjadi istri sholihah, ibu yang baik dan apapun itu adalah untuk kebaikan.  Usia bertambah, segala yang menyertainya berubah. Untuk poin-poin yang ingin saya raih dalam sisa usia ini biarlah saya simpan.

Mungkin kita biasa menyebutnya sebagai target. Ada target harian hingga tahunan. Tapi sudahlah, kadang pencapaian terget itupun menguap. Kemudian saya galau...



Berapapun usia kita, bercita-citalah. Berusahalah menggapainya.

Di mata anak-anak, cita-cita saya masih absurd. Sulit dicerna pemikiran mereka. Sesuatu yang tidak ada dalam kamus cita-cita mereka.

Mereka akhirnya membantah, “Harusnya cita-cita ibu jadi dokter. Atau jadi....”
Kemudian saya jawab, “Ibu sudah pernah sekolah. Sudah pernah kuliah, tapi ibu tidak kuliah kedokteran. Jadi ibu tidak bisa jadi dokter. Ibu jadi dokternya adik aja, ya. Kalau adik sakit, ibu yang memberi obat, memijit, mengoles minyak.”

Tapi si anak menggeleng.

“Ya, sudah jadi perawat aja.”

Menggeleng juga.

Kadang saya merasa lucu. Ketika si anak tetap memaksa saya untuk menyatakan cita-cita seperti kemauan mereka. Ada yang aneh? Tidak. Saya orang tua, sedangkan dia anak-anak.

Menjadi orang tua membuat cita-cita saya semakin luas. Cita-cita tentang anak, kehidupan berumah tangga, dan kehidupan selanjutnya. Banyak yang saya diskusikan dengan anak-anak.

Intinya saya ingin anak-anak bisa menerima saya seperti ini. Saya adalah ibu rumah tangga yang bercita-cita memiliki anak-anak yang sholih, yang ilmunya bisa bermanfaat buat agama, dan masyarakat.

Diskusi tentang cita-cita dengan anak-anak itu seru. Semangat dan harapan mereka meluap. Orang tua seakan diajak berlari menemani mereka, mencari cita-cita dan menggapainya. Doa ibu selalu menyertai langkah-langkah kalian!

Untuk apa sih kita memiliki usia yang panjang, harta melimpah, tenaga yang kuat dan ilmu yang tinggi. Untuk diri sendiri? Ataukan untuk menunjukkan betapa kita adalah manusia yang tangguh diterpa ujian.

Harapan semua orang pasti untuk memudahkan menggapai cita-cita.

Semoga!

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

12 Komentar untuk "Cita-Cita Ibu"

  1. Setelah menjadi ibu punya cita-cita jadi "ibu&istri yang baik" utk anak-anak&suami, ini udah jadi impian beaar setiap pr ya mba, cukup rasanya :)

    BalasHapus
  2. Cita-cita yang sederhana tetapi butuh perjuangan.
    Itulah cita2 seorang ibu. Sebuah cita-cita yang sangat mulia untuk keluarga.
    TOP....👍👍👍👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perjuangan tanpa lelah, perjuangan yang ikhlas...

      Hapus
  3. walaupun kalau kita sudah mencapai cita2 kalau tidak ada cita2 yang lebih lagi.. rasanya hampa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cita-cita itu dinamis, berubah sepanjang pengalaman hidup dan harapan hidup seseorang.

      Hapus
  4. iya.. kenapa ya orang tua kalo ditanyain cita cita suka bingung
    dija aja gak bingung jawabnya
    langsung aja bilang, cita citaku dokter
    tapi trus ganti ... sekarang pingin jadi pembuat roti dan kue
    hahahhaa

    BalasHapus
  5. amin. semoga terwujud y mbk. walaupun sederhana, tp merealosasikannya g mudah. semangat mbk! :)

    cita citaku jg sring berubah ubah hehe

    BalasHapus
  6. Betul cita-cita bisa berubah seiring berjalannya waktu dan tak kenal usia berapapun kita tetap harus punya cita-cita

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel