Karnaval Budaya, Selintas Angan di Masa Lalu
Sabtu, 19 Agustus 2017
18 Komentar
Kemarin
saya melihat karnaval budaya dengan peserta jenjang SMP dan SMA. Saya datang
ketika peserta karnaval sudah memasuki nomor urut 15. Sengaja sih. Kami menunggu
selesai sholat ashar dan mandi lalu berangkat agak terburu-buru.
Saya
ingat dulu pernah menjemput si sulung sore hari (bukan sebagai peserta
karnaval, namun sebagai petugas dari OSIS yang mengurus teman-temannya karnaval). Entah waktu itu sudah selesai atau
belum, yang pasti tidak sampai magrib, sudah banyak penonton yang bubar.
Dalam
keadaan tergesa-gesa, pikiranpun jadi kacau, karena tidak bisa merencanakan
tempat memarkir sepeda montor. Ramai. Di jalan raya hingga gang-gang ramai
manusia dan kendaraan.
Harus
mau mengalah. Mencari tempat parkir yang agak jauh. Karena yang dekat pasti sudah
penuh kendaraan.
Tiba
di jalan raya juga demikian. Aduh, membawa si bungsu berarti saya mesti
mencarikan tempat agar dia tetap bisa melihat pawai. Sedikit ndrusel di kerumunan ternyata tidak
nyaman juga.
Sambil
jalan kita mencari celah agar si bungsu bisa sekedar duduk. Kalau di trotoar
sudah penuh maka kita terpaksa duduk di jalan beraspal.
Begitu
peserta pawai mulai terlihat, banyak orang mendekat ke tengah jalan. Ya, kalau jalan
dipenuhi penonton, tentu peserta karnaval susah untuk jalan. Apalagi kalau ada
yang menari! Pasti kesulitan bergerak.
Sebenarnya
saya juga ikut maju. Cuma untuk melihat keberadaan peserta berikutnya. Lalu duduk. Namun
semakin lama, banyak yang pulang juga. Mungkin mereka sudah sejak tadi berada
di sini.
Tapi lama-lama saya banyak berdiri juga. Lebih puas melihat para peserta karnaval. Sambil mencari barangkali ada kerabat saya yang ikut pawai. Tapi karena pawai itu jalan ya, jadi konsentrasi terbagi antara melihat karnaval, menjaga si bungsu, dan meminta suami memotret yang sekiranya menarik.
Banyak juga penonton yang ikut foto bersama peserta karnaval. Padahal sudah diperingatkan bahwa boleh foto sambil jalan. Kalau kebanyakan berhenti perjalanan mereka jadi lama. Tapi, ya begitu deh. Mungkin sudah kenal ya, jadi cekrak-cekrek asyik!
Tapi lama-lama saya banyak berdiri juga. Lebih puas melihat para peserta karnaval. Sambil mencari barangkali ada kerabat saya yang ikut pawai. Tapi karena pawai itu jalan ya, jadi konsentrasi terbagi antara melihat karnaval, menjaga si bungsu, dan meminta suami memotret yang sekiranya menarik.
Banyak juga penonton yang ikut foto bersama peserta karnaval. Padahal sudah diperingatkan bahwa boleh foto sambil jalan. Kalau kebanyakan berhenti perjalanan mereka jadi lama. Tapi, ya begitu deh. Mungkin sudah kenal ya, jadi cekrak-cekrek asyik!
Hunting foto
Saat
ini, dengan semakin maraknya dunia digital, rasanya tidak aneh jika banyak
orang yang berani melangkah lalu cekrek! Semacam paparazi? Ah, kalau saya dan
suami memang senang saja dengan kegiatan memotret.
Karnaval
ini menjadi salah satu cara untuk mengumpulkan koleksi foto, belajar fotografi
dan juga mengasah keberanian. Bayangkan, ketika kita harus maju dan mendekati
obyek untuk difoto. Dilihat banyak orang bagi saya bukan perkara mudah. Atau sebaliknya,
menghalangi pandangan orang!
Mengenang
masa lalu
Ketika
melihat barisan peserta pawai budaya, tiba-tiba saya teringat zaman masih
sekolah. Mulai TK hingga SMA saya ikut karnaval. Tidak ada dokumentasi. Karena mendokumentasikan
kita sedang memakai baju adat bukan hal yang penting dalam keluarga saya.
Saya
sendiri tidak yakin orang tua saya ikut menonton dari kejauhan atau tidak? Lupa!
Atau mungkin ibu masih di rumah, sibuk beberes rumah.
Yang
masih saya ingat betapa capeknya jalan kaki. Pernah ikut karnaval dengan kostum
adat Bali. Lalu membawa mangkuk tembaga asli. Waktu itu pinjam dari tetangga. Tangan
ini capeknya bukan main.
Setelah selesai karnaval saya baru sadar kenapa tidak membawa tiruan mangkuknya saja. Seperti milik teman-teman. Huhu...
Setelah selesai karnaval saya baru sadar kenapa tidak membawa tiruan mangkuknya saja. Seperti milik teman-teman. Huhu...
Coba
kalau sekarang. Saya lihat mangkuknya buatan, yang penting dari jauh berwarna
kuning keemasan. Sebenarnya sih dilapisi dengan kertas. Lalu ditaruh bunga dari
kertas, entah apa lagi. Ada juga yang memakai sayur. Sampai si bungsu berteriak,
“Ibu, itu ada sayur asli!”
Saya
lihat ternyata kacang panjang. Kenapa tidak bilang kacang panjang saja, sih.
Melihat
mbak-mbak yang bermake up tebal, saya
juga semakin ingat dulu seperti itu juga. Alm. ibu adalah seorang perias. Saya selalu
dirias ibu, apapun acaranya. Bulan Agustus bisa dikatakan sebagai bulan paling
banyak job buat ibu.
Saya
sendiri tidak paham trend make up
hingga busana karnaval. Namun yang jelas-jelas berbeda adalah semakin
bervariasinya busana dan tata rias untuk karnaval. Kalau dulu tidak ada hiasan gedhe
sekali yang menempel di tubuh (yang tingginya juga melebihi tubuh). Pokoknya
memakai baju adat yang bagus.
Sekarang,
saya melihat model, pengantin, ikon, (entah apa namanya ya) menggunakan hiasan
dan pernak-pernik dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bahkan juga yang bajunya
sampai menyapu jalan karena panjangnya. Itupun masih dengan ornamen
macam-macam. Sungguh sangat kreatif. Saya acungi jempol untuk semuanya.
Nah,
dengan kostum yang aduhai indahnya itu, penonton memang terhibur. Gratis bukan!
Kalau si anak dengan kostum “wah” itu duduk di mobil sih tidak apa. Kaki tidak
terlalu capek. Namun yang jalan kaki dengan sepatu atau sandal high heel dan berpanas-panas itu rasanya
kok tidak tega. Lalu saya ingat anak-anak.
Beberapa sekolah menampilkan tarian. Sambil jalan mereka menari. Bahkan ada sekolah yang kompak. Mulai dari peserta pawai hingga guru-gurunya ikut menari. Yang menarik lagi, ada tarian yang menggunakan selendang biru putih itu digerak-gerakkan, meliuk-liuk seolah berada di atas panggung. Tapi ini di jalan. Salut!
Beberapa sekolah menampilkan tarian. Sambil jalan mereka menari. Bahkan ada sekolah yang kompak. Mulai dari peserta pawai hingga guru-gurunya ikut menari. Yang menarik lagi, ada tarian yang menggunakan selendang biru putih itu digerak-gerakkan, meliuk-liuk seolah berada di atas panggung. Tapi ini di jalan. Salut!
Di
sekolah anak kedua saya tidak ada karnaval. Mungkin sekolah mempunyai
kebijaksanaan sendiri, saya kurang paham. Tapi kemarin ikut gerak jalan. Lalu Si
sulung juga tidak pernah ikut. Memang semua anak saya laki-laki, pasti tidak
serepot anak perempuan.
Busana
perempuan memang lebih bervariasi, lebih kompleks dan banyak pernak-perniknya. Sedangkan
waktu yang dibutuhkan untuk mengikuti karnaval lumayan lama ya. Dari persiapannya
ke salon ngantre hingga selesai pawai.
Yang
menarik dari karnaval budaya
- Hiburan gratis
- Melihat keanekaragaman budaya Indonesia
- Kreativitas dalam menampilkan busana daerah
Dari
karnaval ini saya bisa menunjukkan kepada anak-anak tentang bhinneka tunggal
ika. Macam-macam adat, budaya, semakin membuat negara kita kaya.
Dalam
pawai ini beberapa sekolah mengenakan batik lokal yaitu batik gedhog untuk
menambah variasi busana. Semoga produk lokal semakin menjadi pilihan kita.
Nah,
jika teman-teman ada pengalaman seputar karnaval, sharing yuk!
^_^
keren-keren tampilan karnaval kemarin, saya tidak bisa melihat secara langsung kemarin hanya melalui siaran langsung dari ponsel. tapi bangga jadi warga tuban.. terus berkarya untuk bangsa
BalasHapusIya mas, keren2. Aku lihatnya nggak sampai selesai kok.
HapusSudah menjadi rutinitas saya, momong adik dan ponakan saat caranaval budaya Tuban....Merdeka...
BalasHapusKakak yang baik, hihi... Merdeka!
HapusYang menarik dr karnaval karena merupakan hiburan setahun setahun sekali dan juga kostum aneka ragam
BalasHapusBener mba Anis.
HapusAku dari dulu suka karnaval. 17 kemarin di Medan ada juga. Lagi keluad berdua sama papanya. Mau berhenti liat tapi ada janji sama anak-anak di rumah buat pergi. Jadinya gak liat deh
BalasHapusTunggu tahun depan, mba.
HapusAcarany sangat kreatif dan buat yg melihat pasti berdecak kagum, kunbal
BalasHapusSekarang ini semakin banyak yang kreatif.
HapusBagus banget karnavalnya, salam kenal mbak
BalasHapusSalam kenal mba. Semoga bermanfaat ya.
HapusAaah jadi inget dulu waktu SD juga selalu lihat karnaval kalo bulan Agustus begini
BalasHapusPasti seru ya!
HapusMbak ini lokasinya di mana?
BalasHapusTuban, mba.
Hapusbelum pernah saya liat langsung yang namanya karnaval.
BalasHapusbiasanya cuma liad di TV atau YT. karna jarang banget keluar dan ber explore.
Ini lokasinya tidak jauh dari rumah. Mumpung ada suami yang bersedia foto-foto.
Hapus