Mengantar Anak Merantau





Mengantarkan anak merantau bukan berarti mengantarkan si anak ke tempat tujuan, nun jauh dari kampung halaman. Lebih tepatnya mengantarkan kesiapan anak untuk merantau. Ya, demi mencari ilmu, saya melepaskan si sulung untuk merantau.

Di awal memang terasa berat. Masih ada bayang-banyang anak di rumah. Di setiap sudut rumah. Di setiap momen yang biasa kita lalui. Tapi saya sadar, tidak ada yang abadi di dunia. Pun ketika saya selalu bersamanya. Cepat atau lambat anak-anak akan belajar untuk mandiri. Memulai petualangan barunya sebagai pelajar, anak kuliah atau pekerja.

Ada yang menyayangkan keputusan ini. “Buat apa sih sekolah jauh. Kasihan dia, nanti makannya gimana, nggak bisa ketemu orang tua, dsb!”

Saya mendengarkan saja semua kata-kata tersebut. Saya yakin dengan keputusan ini. Tidak ada yang ujug-ujug sekolah ke luar kota. Semua ada proses. Ada persiapan agar si anak maupun saya “ikhlas” ketika SMA diluar kota.

Yang perlu dilakukan orang tua menjelang anak merantau:
  1. Survey sekolah
  2. Persiapan psikologis
  3. Sesuai dengan dana pendidikan

Ketika kelas 3 SMP, saya mulai mengajak si anak untuk survey sekolah dan pondok. Memang kita berkunjung ke beberapa sekolah. Dari sana kita bisa melihat situasi dan kondisi sekolah. Bisa pula memantau lewat website sekolah. Ada sekolah yang welcome banget dengan calon wali murid dan siswa.

Sayang di sekolahnya ini tidak. Karena sekolah negeri jadi orang tua yang harus aktif mencari info. Tidak perlu baper jika rasa ingin tahu kita tidak terjawab dengan baik. Kita bisa bertanya kepada para alumni atau orang tua yang anaknya sekolah disana.

Sebenarnya ketika ada wacana untuk sekolah di luar kota, si anak memang sudah dipersiapkan. Sering-sering saja kita ajak diskusi tentang sekolah baru. Kalau mendekati hari pendaftaran baru kita ajak diskusi, khawatirnya anak kaget, belum siap mental, dsb.

Orang tua pastinya lebih mengetahui kesiapan si anak. Misal, anaknya sudah mandiri. Baik untuk mengurus diri sendiri, mengatur waktu, bersosialisasi maupun untuk mengejar cita-cita. Si anak sudah mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.



Mandiri itu tidak tergantung oleh usia. Ada anak yang lebih mandiri daripada si sulung. Tapi ada juga yang menjelang kuliah ke luar kota saja masih berat berpisah dengan orang tua.

Dalam tes, pihak sekolah pasti melihat aspek kemandirian ini. Jadi, ketika orang tua mulai melepas anak, tidak ada kekhawatiran yang berlebihan. Seperti ini, “Nanti anakku makan apa. Aduh kalau nyuci baju bagaimana.” Dan masih banyak persoalan lainnya.

Jika si anak katakanlah sudah mandiri, sudah mampu mencari solusi terhadap masalahnya. Bagaimana dia akan menyesuaikan diri di lingkungan baru. Bagaimana dia beraktivitas dan mengembangkan potensi diri.

Kemudian tentang dana. Ketika sudah niat sekolah, orang tua sebaiknya sudah siap dengan dana pendidikannya. Termasuk uang saku anak. Memang untuk makan sudah disediakan dari asrama. Namun apakah  anak tidak membutuhkan biaya lain-lain? Ini yang perlu disepakati oleh orang tua dan anak agar uang yang dimiliki cukup untuk menunjang hidupnya disana.

Di awal sekolah merupakan masa yang “berat”. Inilah masa adaptasi yang sebenarnya. Mungkin kelihatannya sepele, tapi perlahan ada sesuatu yang hilang. Orang tua yang merasa kehilangan anak dan anak yang merasa menjauh dari segala kenikmatan. Ops!

Kalau di rumah keinginan anak terpenuhi, walau tidak semua. Namun di asrama, makan sesuai dengan jadwal menu. Masih lapar? Nah, usaha sendiri, mencari snack dan minuman. Sedangkan di rumah, makanan dan minuman sudah tersedia.

Demikian juga masalah baju. Ada laundry dari pihak sekolah. Sayang, beberapa kasus membuat si anak harus mencuci sendiri bajunya, dan perlengkapan sekolahnya. Kalau hujan kehujanan, karena anaknya sekolah. Atau kadang tertukar, dipakai teman, rusak.

Untungnya anak saya cuek. Masalah kehilangan barang sepertinya sudah menjadi menu rutin. Kadang karena teledor, tapi kadang juga karena apes. Ya sudah, diikhlaskan saja.

Di awal sekolah, karena kita orang pantai sementara disana berhawa sejuk, tubuh butuh waktu untuk menyesuaikan. Selama enam bulan pertama, anak saya sering sakit dan tidak masuk sekolah. Kalau batuk pilek itu sudah sehari-hari. Namun kalau sampai demam, si anak harus istirahat. Alhamdulillah sampai hari ini dia bisa melewatinya.

Selanjutnya masalah pendidikan. Benarkah sekolah yang diinginkan itu sesuai dengan kemampuannya. Tak jarang saya mendengar kabar anak yang keluar setelah beberapa waktu sekolah. Ada yang merasa tidak betah, baik karena lingkungan maupun pendidikannya.

Sebisa mungkin kita mencari tahu seperti apa sistem pendidikannya. Apakah memang sesuai dengan keinginan dan kemampuan si anak. Kasihan kalau anak merasa terbebani dengan keinginan orang tua.


Well, sekolah adalah pilihan anak dan orang tua. Kalau melihat anak senang rasanya orang tuapun harus ikut senang.


Pertama kali saya mengunjungi si sulung, saya bertanya apakah dia sanggup menjalani sekolah disana. Anak saya santai saja (memang tipe anak seperti itu sih). Jika anak sudah siap maka insyaAllah dia akan sanggup menjalani beban dan tugas dalam belajarnya. Saya dan suami jadi lega.

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

8 Komentar untuk "Mengantar Anak Merantau"

  1. Tugas orang tua memang melepas anak pelan-pelan supaya mereka mandiri. Berat memang tapi saatnya pasti akan tiba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perlahan, anak - anak akan keluar dari rumah, mengejar cita-citanya.

      Hapus
  2. InsyaAllah anak mbak Rochma akan menjadi anak yg mandiri dan mampu bertanggungjawab

    BalasHapus
  3. Mungkin begini ya, perasaan mama dan papa saat melepas aku untuk mulai merantau mencari penghidupan di kota lain. Tapi, alhamdulillah semua baik baik saja.

    Terima kasih atas sharing-nya.

    BalasHapus
  4. Jd inget pas dulu pertama kali hrs pisah dr ortu, pas smu. Tapi jujurnya aku malah happy banget mba hahahahaha.. Berasa lepas dr sarang. Makanya kalo nanti anakku udh mulai smu, aku jg mau lepas. Kalo bisa malah smp. Biar mandiri lbh cepet terasah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku kuliah baru merantau. Kadang nggak sampai sebulan sudah pulang. Nggak jauh-jauh sih. Ada senangnya bisa bebas. Tapi ketika berada dalam posisi sebagai ibu, ternyata rasanya nano-nano.

      Hapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel