Ruang Publik Terbatas, Kemana Anak-Anak Bermain?



Ruang publik


Pagi itu saya sedang di kios bapak yang terletak di tepi jalan. Tiga anak laki-laki seusia SD bermain di  jalan. Sambil bercanda mereka asyik saja bermain lempar-lempar kerikil. Rindangnya pohon membuat mereka betah merebahkan tubuh di atas jalan beraspal.

Setelah selesai tiduran di aspal, mereka berpindah tempat, di trotoar. Satu anak bercerita sedang dua anak lainnya mendengarkan. Sesekali menimpali dengan tawa yang renyah sambil berguling-guling.

Biasanya di jalan ini ramai sekali orang berziarah. Tukang becak yang hilir mudik mengantarkan penumpang pulang pergi ke makam sunan bonang. Atau sepeda motor yang mencari jalan diantara becak-becak ziarah.

Melihat anak-anak yang innocent ini saya jadi ingat sekelumit masa kecil. Saya masih bisa berlarian dengan damai. Main loncat tali atau bahkan belajar bersepeda di sekolah depan rumah.

Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tentang lahan kosong yang dibiarkan begitu saja. Tentang anak-anak yang dengan damainya membuat keramaian.

Saya masih bisa bermain pasar-pasaran. Memetik daun dan bunga milik tetangga. Bahkan mengambil buah mereka. Kalau beruntung dapat buah yang matang. Tapi kadang buah yang jatuhpun diambil. Dibawa pulang dan dimakan bersama teman.

Malu juga mengingatnya. Kok, bisa ya saya mengambil tanpa izin. Dan bangga ketika menyicipinya.

***

Saat itu kebebasan bermain luar biasa. Tak ada yang marah ketika kita bermain di halaman orang. Tak ada yang mengeluh ketika kita bikin keributan di siang hari.

Lalu ketika melihat tiga anak lelaki itu, saya merasa anak-anakpun ingin selalu merayakan masa kanak-kanak mereka dengan wajah cerianya. Tak peduli ketika tak ada ruang publik yang memadai. Tak peduli ketika mereka akhirnya menggunakan jalan itu. Yang penting mereka bisa bermain dan bermain!

Mungkin saya tidak mendapatkan pemandangan seperti itu di daerah perumahanan. Anak-anak yang berada dibalik pagar tinggi rumahnya. Anak-anak yang diberikan berbagai fasilitas untuk bermain. Cukup dengan berada di rumah. Demi keamanan, kenyamanan dan kebaikan bersama.

Anak-anak saya masih bermain di luar rumah. Sore hari ketika sedang santai mereka senang bersepeda dan bermain bersama anak-anak tetangga. Tidak perlu jauh-jauh. Cukup di sekitar rumah agar saya mudah mencarinya.

Kadang mereka mengajak teman-temannya bermain di teras dan halaman rumah yang sempit. Begitu saja bergantian. Dari rumah saya bisa mendengar mereka berteriak, tertawa bahkan berantem. Sampai menjelang maghrib, acara bermain itu selesai.

Masih beruntung kalau di kompleks perumahan ada lapangan olah raga. Di tempat seperti itu biasanya dipakai berkumpul anak-anak. Tempat bersantai sekedar ingin melihat suasana di luar rumha. Selain itu, tempat ini digunakan orang tua yang sedang momong anaknya. Atau acara tingkat RT setempat.

Sayang, di tempat saya tidak ada. Kecuali kalau mau ke kompleks perumahan. Tapi kekurangan ruang publik itu tidak mengurangi semangat anak-anak untuk bermain. Mereka masih bisa berlarian di tanah kosong yang entah milik siapa. Bermain bola, atau lainnya.

Kemarin seorang tetangga sempat membahas tentang lahan kosong di dekat rumah. “Mengapa tidak dimanfaatkan buat bermain anak-anak?”

Tanah kosong ini dibiarkan begitu saja hingga tanaman liarnya rimbun dan makin tinggi. Bahkan lebih tinggi dari manusia. Siapa yang mengurus? Sesekali saja pemilik menengok tanahnya. Tapi ada yang sama sekali tidak! Selebihnya kita, tetangganya yang harus mengikhlaskan diri untuk membersihkannya. Bukankah kita juga ikut merasakan lahan kosong itu!

Tetangga-tetangga dan saya menggunakan tanah - entah siapa pemiliknya- itu untuk ditanami. Menanamnya asal saja. Ada pohon pisang dan singkong yang tumbuh subur tanpa perlu dirawat. Kalau pemiliknya datang dan mau membangun rumah, kita ikhlas saja.

Kita, para tetangga jelas tidak ada yang mau ada ular dan teman-temannya masuk ke dalam rumah. Horor! Padahal hampir setiap rumah pernah mengalaminya. Karena tanah kosong itu adalah tempat persembunyian binatang-binatang. Maka, mau tidak mau kitalah yang membersihkan lahan itu. Sementara pemiliknya, entahlah!

Kalau tanah kosong itu sudah bersih, anak-anak bisa bermain sepeda atau kejar-kejaran di sana. Lumayan lega.



Tempat bermain buat anak-anak:

  1. Halaman rumah
  2. Lapangan olah raga
  3. Tanah kosong
  4. Jalanan
  5. Tempat parkir


Ruang publik seperti alun-alun, taman kota, GOR memang nyaman untuk bermain anak-anak. Tapi apa ya tiap sore saya mengajak anak-anak kesana? Jelas tidak. Hanya di hari libur, sesekali kesana.

Sementara di kampung yang padat rumah itu sulit menemukan sedikit tempat untuk bebas bergerak. Semisal ingin main bulu tangkis ya harus di jalanan. Di pagi hari ketika suasana masih sepi.

Padahal tidak semua anak bisa memanfaatkan waktu dan tempat tersebut. Maka, saya sering melihat anak-anak yang berlarian di gang-gang sempit, diantara deretan sepeda motor yang diparkir. Saya yakin mereka butuh ruang.

Mereka juga ulet memanfaatkan situasi. Seperti ketika tempat parkir sedang kosong, langsung saja dipakai untuk bermain. Ketika ada kendaraan hendak parkir, mereka bubar.

Sedih juga melihat kenyataan seperti ini. Tapi saya yakin, anak-anak dimanapun itu harus menyesuaikan dengan lingkungannya. Ruang publik terbatas tak menghalangi mereka untuk bergerak dan bermain.

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

4 Komentar untuk "Ruang Publik Terbatas, Kemana Anak-Anak Bermain?"

  1. Di kompleks rumahku masih ada lapangan2 buat bermain, selain ada juga taman, mbak. Anak2 aman lah, hehe.. Aku malah yg baper ngeliatin lapang2an itu. Entah apa jadinya dalam 10 tahu ke depan, hiks!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga nantinya masih ada ya. Kasihan anak-anak.
      Akupun mikir begitu. Kalau tanah-tanah kosong sudah berubah menjadi rumah, kemana lagi anak-anak bermain...

      Hapus
  2. Anak2ku jg nsh bermain di luar mba. Alhamdulillah msh ada taman kecil tempat mereka bisa main2.. Walopun beda bgt ama jamanku dulu di aceh, even ampe skr aceh msh punya banyak bgt lapangan utk bermain anak. Krn tanah di sana msh Banyak kali yaa.. Sedih aja anak2 skr ga bisa sebebas kita dulu yaa, trutama yg di kota minim taman

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di kampung-kampung itu sekarang sudah sesak dengan bangunan. Padahal di derah kabupaten ya. Sedih juga sih. Tapi kebutuhan akan rumah lebih mendominasi.

      Hapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel