Ruang Publik Terbatas, Kemana Anak-Anak Bermain?
Selasa, 05 September 2017
4 Komentar
Pagi
itu saya sedang di kios bapak yang terletak di tepi jalan. Tiga anak laki-laki
seusia SD bermain di jalan. Sambil
bercanda mereka asyik saja bermain lempar-lempar kerikil. Rindangnya pohon
membuat mereka betah merebahkan tubuh di atas jalan beraspal.
Setelah
selesai tiduran di aspal, mereka berpindah tempat, di trotoar. Satu anak
bercerita sedang dua anak lainnya mendengarkan. Sesekali menimpali dengan tawa
yang renyah sambil berguling-guling.
Biasanya
di jalan ini ramai sekali orang berziarah. Tukang becak yang hilir mudik
mengantarkan penumpang pulang pergi ke makam sunan bonang. Atau sepeda motor
yang mencari jalan diantara becak-becak ziarah.
Melihat
anak-anak yang innocent ini saya jadi
ingat sekelumit masa kecil. Saya masih bisa berlarian dengan damai. Main loncat
tali atau bahkan belajar bersepeda di sekolah depan rumah.
Tak
ada yang perlu dikhawatirkan. Tentang lahan kosong yang dibiarkan begitu saja.
Tentang anak-anak yang dengan damainya membuat keramaian.
Saya
masih bisa bermain pasar-pasaran. Memetik daun dan bunga milik tetangga. Bahkan
mengambil buah mereka. Kalau beruntung dapat buah yang matang. Tapi kadang buah
yang jatuhpun diambil. Dibawa pulang dan dimakan bersama teman.
Malu
juga mengingatnya. Kok, bisa ya saya mengambil tanpa izin. Dan bangga ketika
menyicipinya.
***
Saat
itu kebebasan bermain luar biasa. Tak ada yang marah ketika kita bermain di
halaman orang. Tak ada yang mengeluh ketika kita bikin keributan di siang hari.
Lalu
ketika melihat tiga anak lelaki itu, saya merasa anak-anakpun ingin selalu
merayakan masa kanak-kanak mereka dengan wajah cerianya. Tak peduli ketika tak
ada ruang publik yang memadai. Tak peduli ketika mereka akhirnya menggunakan
jalan itu. Yang penting mereka bisa bermain dan bermain!
Mungkin
saya tidak mendapatkan pemandangan seperti itu di daerah perumahanan.
Anak-anak yang berada dibalik pagar tinggi rumahnya. Anak-anak yang diberikan
berbagai fasilitas untuk bermain. Cukup dengan berada di rumah. Demi keamanan,
kenyamanan dan kebaikan bersama.
Anak-anak
saya masih bermain di luar rumah. Sore hari ketika sedang santai mereka senang
bersepeda dan bermain bersama anak-anak tetangga. Tidak perlu jauh-jauh. Cukup
di sekitar rumah agar saya mudah mencarinya.
Kadang
mereka mengajak teman-temannya bermain di teras dan halaman rumah yang sempit.
Begitu saja bergantian. Dari rumah saya bisa mendengar mereka berteriak,
tertawa bahkan berantem. Sampai menjelang maghrib, acara bermain itu selesai.
Masih
beruntung kalau di kompleks perumahan ada lapangan olah raga. Di tempat seperti
itu biasanya dipakai berkumpul anak-anak. Tempat bersantai sekedar ingin
melihat suasana di luar rumha. Selain itu, tempat ini digunakan orang tua yang sedang momong
anaknya. Atau acara tingkat RT setempat.
Sayang,
di tempat saya tidak ada. Kecuali kalau mau ke kompleks perumahan. Tapi kekurangan ruang publik itu tidak mengurangi
semangat anak-anak untuk bermain. Mereka masih bisa berlarian di tanah kosong
yang entah milik siapa. Bermain bola, atau lainnya.
Kemarin
seorang tetangga sempat membahas tentang lahan kosong di dekat rumah. “Mengapa
tidak dimanfaatkan buat bermain anak-anak?”
Tanah kosong ini dibiarkan begitu saja hingga tanaman liarnya rimbun dan makin tinggi.
Bahkan lebih tinggi dari manusia. Siapa yang mengurus? Sesekali saja pemilik
menengok tanahnya. Tapi ada yang sama sekali tidak! Selebihnya kita, tetangganya yang harus mengikhlaskan diri
untuk membersihkannya. Bukankah kita juga ikut merasakan lahan kosong itu!
Tetangga-tetangga
dan saya menggunakan tanah - entah siapa pemiliknya- itu untuk ditanami.
Menanamnya asal saja. Ada pohon pisang dan singkong yang tumbuh subur tanpa perlu
dirawat. Kalau pemiliknya datang dan mau membangun rumah, kita ikhlas saja.
Kita,
para tetangga jelas tidak ada yang mau ada ular dan teman-temannya masuk ke
dalam rumah. Horor! Padahal hampir setiap rumah pernah mengalaminya. Karena tanah kosong itu adalah tempat persembunyian binatang-binatang. Maka, mau tidak mau kitalah yang membersihkan lahan itu.
Sementara pemiliknya, entahlah!
Kalau
tanah kosong itu sudah bersih, anak-anak bisa bermain sepeda atau kejar-kejaran
di sana. Lumayan lega.
Tempat
bermain buat anak-anak:
- Halaman rumah
- Lapangan olah raga
- Tanah kosong
- Jalanan
- Tempat parkir
Ruang
publik seperti alun-alun, taman kota, GOR memang nyaman untuk bermain
anak-anak. Tapi apa ya tiap sore saya mengajak anak-anak kesana? Jelas tidak.
Hanya di hari libur, sesekali kesana.
Sementara
di kampung yang padat rumah itu sulit menemukan sedikit tempat untuk bebas
bergerak. Semisal ingin main bulu tangkis ya harus di jalanan. Di pagi hari
ketika suasana masih sepi.
Padahal
tidak semua anak bisa memanfaatkan waktu dan tempat tersebut. Maka, saya sering
melihat anak-anak yang berlarian di gang-gang sempit, diantara deretan sepeda
motor yang diparkir. Saya yakin mereka butuh ruang.
Mereka
juga ulet memanfaatkan situasi. Seperti ketika tempat parkir sedang kosong,
langsung saja dipakai untuk bermain. Ketika ada kendaraan hendak parkir, mereka
bubar.
Sedih
juga melihat kenyataan seperti ini. Tapi saya yakin, anak-anak dimanapun itu
harus menyesuaikan dengan lingkungannya. Ruang publik terbatas tak menghalangi
mereka untuk bergerak dan bermain.
^_^
Di kompleks rumahku masih ada lapangan2 buat bermain, selain ada juga taman, mbak. Anak2 aman lah, hehe.. Aku malah yg baper ngeliatin lapang2an itu. Entah apa jadinya dalam 10 tahu ke depan, hiks!
BalasHapusSemoga nantinya masih ada ya. Kasihan anak-anak.
HapusAkupun mikir begitu. Kalau tanah-tanah kosong sudah berubah menjadi rumah, kemana lagi anak-anak bermain...
Anak2ku jg nsh bermain di luar mba. Alhamdulillah msh ada taman kecil tempat mereka bisa main2.. Walopun beda bgt ama jamanku dulu di aceh, even ampe skr aceh msh punya banyak bgt lapangan utk bermain anak. Krn tanah di sana msh Banyak kali yaa.. Sedih aja anak2 skr ga bisa sebebas kita dulu yaa, trutama yg di kota minim taman
BalasHapusDi kampung-kampung itu sekarang sudah sesak dengan bangunan. Padahal di derah kabupaten ya. Sedih juga sih. Tapi kebutuhan akan rumah lebih mendominasi.
Hapus