No One Is Perfect





Salah satu kenangan yang membekas dihati adalah ketika saya hamil sekitar empat tahun yang lalu. Kata orang, ibu hamil biasanya lebih sensitif, lebih manja, dsb. Tapi apa mau dikata, suami saya bekerja di luar kota. Pada hari Jum’at malam baru bisa bertemu kembali. Itupun biasanya kami sudah terlelap ketika dia datang. Selepas shubuh dia harus berangkat kerja lagi.

Seminggu itu lama. Lamaaa sekali ketika saya hanya bisa terbaring di atas tempat tidur dan terisolasi dari dunia luar. Seperti kehamilan sebelumnya setiap trisemester pertama saya ambruk. Badan lemas, mual, muntah menjadi hal yang biasa. Kadang untuk sekedar berdiri saja susah.

Tak tega melihat saya, suami memutuskan untuk pulang seminggu dua kali. Tak ada keluhan meski saya lihat gurat lelah di wajahnya. Saya tahu perjalanan itu tidak mudah. Saya tahu pasti ini akan menguras energinya. Tapi setiap dia datang selalu ada senyum yang membuat saya yakin semuanya akan baik-baik saja.

LDR (Long Distance Relationship) itu tidak mudah, meski kami sudah memperkirakan semua resikonya. Ini adalah pilihan, dan setiap pilihan menuntut kami untuk bertanggung jawab, apapun keadaannya dan betapapun beratnya.

Dalam keadaan lemah itu saya tetap harus mengurus tiga anak saya. Yang paling kecil belum genap dua tahun. Mestinya dia masih bisa bermanja dengan saya, tapi untuk saat ini tidak. Saya tidak lagi sanggup menyusuinya. Saya merasa bersalah, tapi keadaan saya memang seperti ini.

Di saat saya sedang galau, suami rajin menyemangati. Dia berusaha untuk “ada” meski tak disamping saya. Dia berusaha kuat meski saya yakin keadaan seperti ini benar-benar membuatnya lelah secara fisik dan mental.

Setiap dia tanya keadaan saya, maka saya sedih, kadang terisak sendiri hingga dia tak mampu berkata-kata lagi. Kepadanya saya sering mengeluh. Saya anggap itu wajar. Karena berhak tahu. Dialah yang bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga kami.

Keadaan saya selama trisemester pertama benar-benar tak berubah. Hingga suatu hari dia meminta maaf. Saya heran saja. Tidak ada masalah diantara kami. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tapi dia memaksa. Saya selalu mengingat kata-katanya. “Maafkan aku yang belum mampu membahagiakanmu.”

No one is perfect! Sayapun demikian.Tapi mengapa dia berkata seperti itu! Merasa bersalah kepada saya. Apakah saya seorang istri yang banyak menuntut? Apakah saya seorang istri yang tidak pandai bersyukur? Ataukah tak bisa menghargai hasil kerja kerasnya selama ini?  

Bagi kami hidup ini semampunya saja. Tak perlu gerah melihat rumput tetangga yang lebih hijau. Syukuri dan nikmati rumput di pekarangan sendiri.

Saya trenyuh mendengarnya. Saya merasa tak ada satu katapun yang sanggup mewakili perasaan saya waktu itu. Biarlah dia mereka-rekanya. Saya yakin dia tahu apa yang saya pikirkan. Karena tak semua yang saya inginkan harus disampaikan kepadanya.

Dia berusaha menguatkan saya, mengajak saya untuk semakin mendekat kepadaNya. Kami percaya kalau Allah memberikan amanah, pasti Allah yakin kami sanggup.  Kami ikhlas menerimanya.

Sayangnya kehamilan ini tak berlangsung lama. Pada hari Minggu, pukul dua dini hari, tiba-tiba saya mengalami pendarahan hebat. Dengan mengendarai sepeda motor, suami melarikan saya di rumah sakit terdekat. Saya masih bersyukur ketika kejadian ini ada suami di rumah. Ada yang menjaga dan menemani semua resah. 

***

“Tulisan ini diikutsertakan dalam mini giveaway pengalaman yang menyentuh dalam rumah tangga”
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

6 Komentar untuk "No One Is Perfect"

  1. manusia memang tidak ada yg sempurna
    tapi menyatukan yg tdk sempurna justru akan membuat kita merasa sempurna...
    bener nggak sih mbak hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali mbak Avy.
      Kalau saya sedih, suami merasa tidak mampu membahagiakan saya. Padahal namanya juga lagi hamil, jadinya super sensitif.

      Hapus
  2. Wah, saya kok masih penasaran dengan cerita lanjutannya. Pada bagian yang pendarahan hebat itu, mbak. Endingnya menggantung, apa masih ada lanjutannya? :)

    Salam kenal ya, mbak... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, mbak Isnaini, salam kenal juga,

      Berhubung jumlah katanya dibatasai hanya 500 kata, jadi saya potong ceritanya sampai disini.
      Mungkin lain kali bisa disambung ya...
      Btw, thanks dah mampir.

      Hapus
  3. Mba LDR-an dengan suami yah Mba? saya pun waktu hamil LDRan sama suami :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, mba. Padahal kalo hamil pengennya ada suami, biar ada yang menjaga... Suka ngiri sama bumil yang periksa ditemani suaminya. Sementara saya...aih sendirian.

      Hapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel