Mari Bertenggang Rasa di Jalan




Dahulu, jaman saya masih sekolah, jalanan di kota Tuban, masih lapang. Apa iya sih? Jalanan masih sepi kendaraan. Jalan kaki kesana kemari masih terasa sangat biasa dan aman. Saya saja sekolah TK hingga kuliah masih setia dengan berjalan kaki. Jarak sekitar 1 km mah enteng. Itu dulu!


Teknologi semakin berkembang, dan daya beli masyarakat semakin meningkat. Jarak rumah ke sekolah yang hanya 500 meter saja sudah bisa dipastikan diantarkan dengan sepeda motor.

Dengan meningkatnya kendaraan pribadi yang lalu lalang di jalanan, baik jalan besar hingga gang-gang sempit di tengah kota, jalanan semakin terasa sempit. Bukan jalannya yang menyempit, namun tumpahnya kendaraan-kendaraan di jalan. Okelah, semua demi memudahkan aktiviatas umat manusia. Siapa sih yang ingin berangkat ke sekolah dengan menghabiskan waktu 15 menit jalan kaki. No!

Saya rasa waktu 15 menit jalan kaki ke sekolah itu tidak terasa lama. Sembari ngobrol dengan teman seperjalanan. Biasanya sih selalu ada teman yang rumahnya berdekatan dan berangkat ke sekolah bareng.

Kalau sekarang minimal naik sepeda bareng. Seperti anak saya yang sudah kelas 6 SD.  Sudah tiga tahun yang lalu belajar bersepeda ke sekolah. Lumayanlah mengurangi antar jemput. Kecuali kalau sepedanya rusak dan baru sembuh dari sakit, saya yang mesti mengantar dan menjemputnya.

Pagi hari menjelang jam 07.00 adalah saat tersibuk jalanan. Waktu itu banyak orang yang mengantarkan anak ke sekolah, pelajar yang berangkat sendiri, ibu-ibu yang hendak belanja ke pasar, orang-orang yang hendak pergi bekerja dan orang-orang dengan segala urusannya di jam sibuk jalanan. Imbas dari banyaknya kendaraan bukan hanya di jalan besar, namun juga di jalan-jalan kecil. Seperti tadi pagi, di perempatan itu tidak ada lampu merah. Maklum ini bukan jalan raya. Tidak ada polisi pengatur lalu lintas. Entahlah, kadang ada tapi sering tidak ada.

Kendaraan dari depan, samping kanan dan kiri berebut hendak maju duluan. Dalam kasus seperti ini yang berlaku adalah siapa yang paling berani dialah yang cepat sampai. Eit pastinya tetap memakai segala pertimbangan sebelum melewati persimpangan jalan. Dan seperti biasa pengendara motor yang notabene adalah anak-anak bikin jantung makin deg-degan. Ngeri-ngeri sedap kalau melihat mereka meyalip dari kanan kiri.

Saya sendiri lebih memilih keadaan aman, kendaraan mulai sepi baru berani jalan dan menyalip. Sebagai orang tua yang membawa anak-anak saya lebih hati-hati. Meski anak-anak bete melihat tingkah saya. Terlalu slow.

Saya ( dari arah timur) berhenti di perempatan itu. Melihat semua arah penuh kendaraan di rush hour. Mau bagaimana lagi. dengan begini saya juga mengajari anak untuk bersabar. Memberikan kesempatan buat kendaraan lain untuk berjalan.

Tiba-tiba ada bapak-bapak (dari arah utara) yang berhenti tepat di perempatan. Saya merasa tidak mungkin untuk maju. Kendaraan dari sisi selatan sudah hampir di tengah jalan. Tapi rupanyanya bapak-bapak tadi memberikan perintah dengan tangannya agar saya segera jalan. Padahal saya yakin, si bapak pastilah bisa melajukan motornya dengan damai tanpa peduli kepada saya. Ternyata si bapak lebih memilih untuk bertenggang rasa. Memberikan jalan kepada saya yang sedang mengantar si kecil ke sekolah.

Saya melihat masih banyak kendaraan yang berhenti di belakangnya. Saya segera memutuskan untuk segera melarikan motor ini. Alhamdulillah baik-baik saja. Terima kasih ya, Pak!

Kadang-kadang kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ketika kita sedang membutuhkan pertolongan di jalan. Suami sering mengingatkan meskipun kita juga ingin segera tiba di tempat tujuan tapi tak ada salahnya untuk mendahukan kendaraan lain. Misalnya mobil yang hendak menyeberang atau menyalip.

Bisa jadi dengan memberikan kesempatan-kesempatan tersebut bisa membantu orang lain agar segera tiba di tempat tujuan.

Kemarin saya sempat jengkel dengan ibu-ibu yang memaksa saya untuk maju padahal di depan saya ada jalan yang berlubang. Scene nya seperti ini. Saya ( dari arah barat) lewat sebuah gang di kelurahan Kutorejo. Gangnya sempit! Di depan saya sudah ada sepeda motor yang berhenti. Saya sengaja memberi jarak dengan kendaraan di depan. Lalu ada mobil dari arah timur yang ingin keluar dari dari gang ini. Kadang kalau melihat pemandangan seperti ini mungkin lebih baik di kasih papan peringatan saja agar kendaraan roda empat tidak perlu keluar masuk gang! Mau satu arah atau dua arah sama saja, kendaraan lain pasti kesulitan kalau ada mobil.

Di belakang saya ada beberapa sepeda motor. Anehnya meski mereka melihat di depan ada mobil tapi tetap saja melajukan kendaraan. Ketika si mobil benar-benar kesulitan, sepeda motor di belakang saya berhenti. Berhentinya mangkrak gitu. Tidak berada di pinggir jalan. Sementara yang paling belakang bisa minggir karena masih ada jarak yang memungkinkan.

Entah si pengendara atau penumpangnya, saya melihatnya mengacungkan tangan dan berteriak-teriak memerintah saya supaya maju. Bete banget! Dengan bersusah payah saya juga harus memberikan kesempatan agar mobil bisa jalan.

Sepeda motor di depan saya masih diam tak berkutik. Mobil berhenti. Bagaimana bisa jalan, kalau sepeda motor berada di tengah jalan! Cuma bisa ngelus dada!

Mobil itu masih mencoba untuk berjalan untuk beberapa jengkal, lalu berhenti lagi. Saya melihat sepeda motor di depan sudah pergi. Waktunya saya pergi juga. Lihat kanan kiri semoga tidak menyerempet si mobil. Aduh, takutnya ada apa-apa.

Wusss! Lega rasanya seolah selesai dari himpitan!

Saya yakin banyak diantara kita yang sering menikmati bermacam-macam pemandangan di jalan. Yang bisa membuat hati jengkel ataupun tertawa. Seperti beberapa waktu lalu, ada pengendara motor di belakang saya yang tiba-tiba membunyikan klakson panjang. Posisinya benar-benar mepet motor saya. Saya menoleh. Pandangan saya berhenti padanya. Dia menatap saya dan bergumam. Disitu bising sekali sehingga saya tak mendengar suaranya. Saya mencoba menebak saja. Tidak mungkin bunyi klakson itu karena kepencet.

Sementara itu suara motornya menderu-deru. Si bapak ini dengan semena-mena mengingatkan saya supaya bersiap untuk jalan. Lha ini di perempatan lampu merah. Kondisi lampu masih menyala merah dengan terang benderang. Masih lama. Belum ada tanda-tanda menunjukkan angka 3 apalagi 1.
Parahnya lagi di depan saya ada becak. Di samping saya ada angkutan desa. Kalaupun mau buru-buru pasti sulit sekali melewati keduanya.

Kesimpulan

Meski jalan di desa tampak sepi, tetap berhati-hati dan jangan ngebut.

 Berkendara di jalan harus bisa tenggang rasa : mengendalikan ego masing-masing, waspada dan sabar. Dengan waspada, kita akan berhati-hati berkendaran. Bersabar jika ada ulah pengendara yang bikin bete. Asal masih dalam batas yang aman dan tidak membahayakan nyawa. Dalam kondisi tertentu kita usahakan untuk mengalah. Bukan untuk kalah ataupun dikalahkan, namun memberikan kesempatan kepada pengendara lain.

Benar sekali kalau ada yang mengatakan “Ingat keselamatan”. Tapi hendaknya ini ditafsirkan lebih luas. Keselamatan pribadi dan orang lain itu sama pentingnya.

Jangan lupa untuk berdoa. Percayalah dengan kekuatan doa yang kita panjatkan. Semoga perjalanan ini lancar tanpa ada masalah apapun.

Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

2 Komentar untuk "Mari Bertenggang Rasa di Jalan"

  1. Emang mba, saya saja yang uda betul lewat jalan yang benar malah di bilang monyet bodoh dan yang bilang itu masih sekulah, dy yang ugal2ugalan saya yang kena. Di Jalan emang harus sabar makanya saya suka jalan di sisi kiri dan santay :p

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel