Suara Kita




Assalamualaikum,

Adakah yang pernah merasa terganggu oleh suara orang lain? Atau ada yang komplain karena suara kita? Bisa jadi suara terlalu kencang ketika orang lain sedang tidur. Hahaha.. Ehm, tapi kedua-duanya tidak menyenangkan.

Mari kita lihat dua scene berikut. Semoga bisa dijadikan pelajaran, terutama buat saya.

Scene pertama

Cerita ini bermula ketika saya menghadiri pengajian ahad pagi di sebuah masjid di Tuban. Awalnya saya dan juga para jamaah lain mendengarkan dengan tenang. Tiba-tiba ketenangan itu terusik oleh suara seorang wanita.

Saya tidak berada di dalam masjid, namun di teras sebelah selatan. Saya yakin semua orang yang berada disini pasti mendengar suara ini. Bahkan beberapa yang berada di dalampun masih mendengar. Nah, orang-orang yang merasa terganggu ini saling pandang. Menelisik ke semua penjuru, demi mencari sumber suara.

Oh ternyata suara itu berasal dari toilet. “Mungkin orangnya sedang telpon. Makanya suaranya kenceng banget,” gerutu orang-orang. Tapi kita masih diam. Sambil berharap suara di toilet itu segera berakhir.

Dalam hati saya bertanya, "Mengapa kalau telpon mengapa di area toilet?" Sambil menebak keberadaan “orangnya”, kami berusaha tenang. Sesekali menengok lagi ke arah toilet yang dibatasi dinding.

Ini masjid. Tempat ibadah kita. Semua yang datang ke masjid pasti sadar dengan aturan yang tertulis maupun tidak. Apalagi saat ini jelas-jelas sedang ada pengajian. Pernah ada handphone yang berbunyi, langsung ditegur ustadz saat itu juga. Kalau sudah niat menghadiri pengajian, lebih baik handphone dimatikan atau tidak perlu dibawa saja. Cuma satu jam saja kok.

Entah apa yang dibicarakan disana. Suaranya bersaing dengan Kang Yoto (penceramah, bupati Bojonegoro). Kami masih saling pandang dan berusaha menangkap suara Kang Yoto. Meski kadang kalah juga dengan suara orang di toilet itu.

Sekitar sepuluh menit atau lebih, ada seorang ibu yang masuk ke area toilet. Beberapa pasang mata dengan sigap mengikuti langkahnya. Sambil menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Suara berisik itupun berakhir. Lega. Semua bisa mendengar suara Kang Yoto dengan jelas lagi.

Lalu siapakah yang berisik tadi? Dua orang wanita yang tidak tahu bahwa suara merdunya mengganggu orang-orang.

Case closed. Saya senang karena memang tidak ada yang menyalahkan kedua orang ini. Namun saya yakin dengan teguran dari ibu tadi, mereka merasa menyesal sekali.

Scene kedua

Suatu hari saya dikomplain oleh tetangga terdekat, “Mbak Nur, kok suaranya kedengaran sampai di rumahku.”

Melongo sejenak. Sedih juga dikatakan seperti itu. “Apa! Jadi selama ini dia mendengakan pembicaraanku dari rumahnya. Kok bisa?” tanya saya dalam hati. Sambil berpikir, mencari jawaban yang sekiranya tidak mempermalukan diri sendiri.

Saya berpikir, pada saat apa ya, kok sampai terdengar? Jangan-jangan selama bertahun-tahun dia menguping suara yang keluar dari rumah saya. Meski yang bisik-bisik sekalipun. Oh, Tidak! Jangan!

Tak ada seorangpun yang suka jika pembicaraannya didengarkan orang lain. Meski cuma masalah sepele dan tidak penting.

“Oh, mungkin pas saya lagi marah sama anak-anak. Teriak-teriak manggil mereka. Solae, manggil, minimal tiga kali baru datang. Atau nyuruh apa sama anak-anak.” Terserah mau dianggap ngeles atau apa. Tapi saya tak merasa ada orang yang mendengarkan suara saya, selain keluarga dan si mbak. Atau mungkin saya yang kurang bisa mengontrol emosi sehingga jadinya seperti ini. Oh, no!

Pertanyaan selanjutnya dari si tetangga, “Kalau aku, kedengaran nggak?”
Saya ingin berkata jujur tapi... “Nggak!” Hanya itu yang terucap. Saya berharap hatinya tenang mendengar jawaban saya.

Saya tidak tega untuk mengatakan “iya”. Demi menjaga perasaan tetangga, lebih baik saya bilang tidak saja. Meski saya sendiri sedih dikatakan seperti itu. Terus, saya mikir obrolan apa saja yang sempat didengarkan si tetangga itu. Semoga saja hanya hal-hal kecil seperti yang saya duga.

Pada beberapa kasus pastilah suara tetangga terdengar juga sampai di rumah saya. Pertama, jika kita berada berada di teras dan halaman belakang mudah masuk ke rumah tetangga. Atau kalau pintu rumah sedang terbuka. Terdengar dong! Kedua, setelah ini jangan ngomong kenceng-kenceng.

Dengan teori seperti ini saya paham kalau suara saya atau lainnya pasti dengan leluasa memasuki setiap lubang di rumahnya. Apalagi kalau pintu  rumahnya sedang terbuka. Was...wis...wus..

Kesimpulan:

  • Berpikir sebelum bersuara. Bolehlah dikatakan seperti itu agar tidak ada kata-kata yang bablas. Meskipun di dalam rumah dan berada di ruang yang private, tetap menjaga kesopanan. Eaa...di rumah sendiri mau ngomong apa sih masih harus mikir!

  • Sadar. Ya, meski di dalam rumah, tetap sadar apa yang kita bicarakan. Termasuk efeknya, buat keluarga maupun buat tetangga. Kira-kira nih kalau sedang marah sama anak-anak apakah sampai mengganggu tetangga?  

  • Tidak ada satupun suara kita yang luput dari pengawasanNya. Ya, dengan berpikir seperti itu kita akan berpikir berkali-kali sebelum bersuara. Wong sama tetangga saja terdengar!

  • Suara kita (baca: ibu) pastinya adalah contoh buat anak-anak. Semoga apa yang kita ucapkan bisa dijadikan teladan buat mereka. Misalnya nih, di rumah tidak pernah ngomong kotor, insyaAllah anak-anak bisa membedakan mana perkataan baik dan tidak. Pengaruh seperti itu bisa datang dari manapun. Dan keluarga memiliki andil besar dalam membentuk karakter anak.


Anak saya tiga laki-laki semua. Satu sedang belajar di luar kota. Sedangkan dua adiknya masih tinggal bersama saya. Saya rasa untuk anak-anak aktif seperti mereka saya butuh ektra tenaga. Termasuk dalam bersuara. Tapi kemudian saya katakan kepada mereka untuk lebih lembut. Apakah kemudian anak-anak tidak bikin rusuh? Oh tidak!

Kadang-kadang saya terlalu berharap kepada dua anak ini. Ya, berharap agar mudah diatur, lebih mandiri, dsb. Tapi yang namanya anak-anak tetap kan ada lebih banyak masa untuk menikmati saat-saat kanak-kanak. Masa yang penuh dengan permainan. Ada banyak cerita yang bikin kita berusaha memakluminya. Please deh!

So, setelah kejadian ini saya ingin lebih sadar diri. Apa yang saya ucapkan, apa yang saya lakukan, efeknya. Lebih sadar usia. Lebih sadar sekitar. Jangan bikin gara-gara lagi. Pasti nggak banget kalau ada yang komplain seperti itu.

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

24 Komentar untuk "Suara Kita"

  1. bener mba, akupun sejaka tinggal ama suami, krn rumah kita bukan komplek, dan deket dengan rumah tetangga, berusaha aja utk ga ngomong terlalu kenceng... kalo utkku yg jujurnya ga sabaran, kdg nyiksa banget sih ;p.. harus manggil anak2 dgn suara lembut ;p.. beberpa kali kelepasan marahin anak pasti pernah :D.. tp slma ini moga2 sih kalo berantem ama suami msh bisa kontrol diri supaya tetangga ga denger, dan anak2pun ga tau :).

    kalo tetangga yg suaranya sampe kemana2, itu mah kita malah udh maklum ;p.. namanya aja rumah ga kedap suara, awal2 mungkin terganggu, tapi lama2 ya biasa, dan jd ga perhatian lg ama suara apapun yg terdenger ;D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apalagi kalau si tetangga super sensitif, sedikit-sedikit diomongin.

      Hapus
  2. Hihi... makasih sdh diingatkan. Bener lho..kadang2 sy suka kelepasan.😀

    BalasHapus
  3. Waaah... Self reminder banget ini. Kalo lagi ngomelin anak-anak, saya sering gak sadar ngomong kenceng. Duh... Malu. :D

    BalasHapus
  4. Hmmm.. jadi mikir, suara aku kedengeran tetangga ngga ya.. hihihi. Kadang cape bikin tersulut emosi & teriak, suka sirik sama orang yg bisa lemah lembut ngomong sedangkan suara aku tinggi & sengau bikin aneh #eh kok curhat

    BalasHapus
  5. Aku pernah dengar pas di commuterline ada yang telepon suaranya gede sekali. Sampe satu gerbong liatin tapi kayaknya doi nggak ngerasa. Hihiii

    BalasHapus
  6. Sejak mempunyai anak saya juga menjaga apa yang diucapkan karena apa yang diucapkan anak cerminan orang tua :D

    BalasHapus
  7. Makasiih sudah diingatkan ya, Mbak. Iya nih. Saya termasuk orang yg punya suara kencang. Waktu pulang ke rumah ortu, meski belum keluar rumah, tetangga sudah tau saya datang. Katanya suaranya kedengeran. Hehehe...

    BalasHapus
  8. Pernah ngalami sebagai pelaku yg bersuara keras jg mba:) telp di lantai dua pas ada acara training eh temen yang dibawah pada komplain..hihi..efek bawaan bahasa sehari hari jg si

    BalasHapus
  9. pernah dengar *tapi lupa dengar dari mana* kalo suara perempuan itu adalah auratnya.

    terimakasih sudah diingatkan Mba :)

    BalasHapus
  10. Aku punya tetangga, volume suaranya mmng keras. Nggak ngerti gawan bayi kayaknya. Jadi ngomong biasa aja...kita tetep denger.
    Eh..aku klo manggil anak pulang maen, kenceng juga😀 klo nggak kenceng dikiranya nggak serius suruh pulang...masih dinego.."sebentar lagi"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bulikku ada yang suka ngomong keceng. Dulu pernah kerja dipabrik, sering berada di ruangan bising. jadinya kebawa ngomong kenceng.

      Hapus
  11. Menjaga lisan memang sudah sepatutnya hal yang selalu kita ingat dan lakukan ya mbak :)

    BalasHapus
  12. Aku loh mba suaranya mirip toa masjid. Jaman SMK sampe sering di culik anggota paskib buat jadi pemimpin upacara. Karena SMK biasanya jumlaj cowo sedikit terutama saat yang bertugas jurusan sekretaris. Klo pun ada cowo di kelas (satu dua orang) mereka kabut atau suaranya dan ketegasannya gak bisa di harapkan. Tapi emang keturunan sih dari ayah saya heehehe

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel