Dilema Long Distance Marriage




Apakah harapan pasangan pengantin baru? Semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Termasuk ingin hidup bersama pasangannya hingga maut memisahkan.

Sayapun demikian. Diawal menikah, karena urusan kuliah belum beres saya masih harus bolak balik Tuban, Semarang dan Jakarta. Untungnya urusan wisuda sudah kelar tinggal mengambil ijasah yang tidak jelas waktunya.

Jadi inilah awal Long Distance Marriage saya (LDM). Sungguh tidak ada sedikitpun keinginan untuk seperti ini. Saya hanya berpisah sebentar. Selanjutnya saya akan menemani suami bekerja. Itu saja yang saya pikirkan.

Setelah itu saya sempat mengikuti suami yang berpindah-pindah tempat kerja, namun akhirnya saya memilih untuk kembali ke kampung halaman. Ini bukan keputusan final. Selalu ada harapan bagi kami untuk hidup bersama.

Dulu ketka anak-anak belum ada yang sekolah, mudah saja bagi kami untuk mengikuti suami. Tidak repot mencari sekolah baru. Paling cuma mencari rumah kontrakan. Tidak bisa segera dapat. Sementara suami hanya memiliki waktu satu bulan untuk persiapan ke kantor baru.

Dalam kurun waktu satu bulan jika tak segera mendapat rumah kontrakan maka saya dan anak tinggal di rumah orang tua dahulu. Pernah juga saya tetap tinggal di rumah dinas sambil menunggu tahun ajaran baru.

Selama ini kami menempati rumah kontrakan dan rumah dinas. Jujur ya, kalau tinggal di rumah dinas lebih menyenangkan karena tidak dibebani dengan biaya sewa. Meski untuk listrik dan air tetap bayar. Ada pula biaya sewa, tapi nominalnya sangat murah. Letaknya juga sangat strategis. Siapapun biasanya betah tinggal disini. Bahkan ada yang turun temurun. Kami khawatir dengan keasyikan berada di rumah tersebut dan lupa untuk membangun rumah pribadi. Oh, no!

Selama tiga tahun berturut-turut suami berpindah tugas. Keadaan seperti ini cukup menguras tabungan kami. Walaupun ada uang ganti dari kantor, tetap saja kami merasa seperti menghambur-hamburan uang.

Selanjutnya, kami ingin mewujudkan impian untuk memiliki rumah pribadi. Ini adalah keputusan bersama untuk tinggal di kampung halaman.

Perjalanan LDM dimulai lagi. Ada saat ketika LDM ini terasa begitu berat. Ada saat ketika kami sama-sama berusaha menikmatinya. Ada saat ketika kami harus bertahan. Mau bagaimana lagi. Ini sudah keputusan bersama, tidak ada yang perlu disalahkan. Kami saling membangun kepercayaan terhadap pasangan. Karena itulah kunci bertahannya suatu hubungan.

Dari mulai si sulung masih kecil, menangisi keberangkatan ayahnya hingga tinggal si bungsu yang seperti itu. Semakin bertambahnya usia semakin memaklumi pekerjaan ayahnya. Tidak ada yang instan. Semua butuh proses untuk mengerti. Tapi komunikasi tetap harus lancar. Biarpun harus boros pulsa.

Saya biasa mengajak anak-anak mengantar suami ke tempat pemberhentian bus. Pagi hari selepas sholat shubuh. Disana anak-anak ikut merasakan betapa untuk berangkat kerja saja butuh perjuangan. Jangan sampai terlambat meski bus yang ditunggu tak kunjung datang. Jangan pula bikin drama sehingga ayahnya tidak segera berangkat.



Beberapa kali kami terjebak dalam situasi yang tak nyaman. Seperti ketika suami yang sakit. Sementara disana dia harus mengurus dirinya sendiri. Lalu ijin cuti yang hampir habis. Kadang terpikir untuk menghabiskan saja sisa cuti. Tapi bagaimana kalau di kemudian hari sangat membutuhkan cuti. Alasan apa yang akan digunakan?

Hidup seperti ini memang berat kalau kita merasa terbebani. Sakit mesti berobat sendiri ke dokter atau rumah sakit. Mencari makan sendiri. Andai ada delivery order buat menu makan. Beruntunglah ibu kost berbaik hati menolongnya.

Sedangkan saya....saya ada di dinama? Saya masih di kampung. Saya merasa begitu bersalah. Sebagai istri saya tidak cukup baik dalam merawatnya. Jarak membentang. Dia tetap bertahan. Saya bimbang. Resah mendera.

Dalam keadaan seperti ini saya memperbanyak komunikasi dengannya. Jika kondisinya tak kunjung baik, saya mencari sopir langganan untuk menjemputnya. Lebih baik pulang. Urusan kerja, nanti dipikirkan lagi. Alhamdulillah semua teman kerja dan keluarga bapak ibu kost sangat baik kepada kami.

Sebaliknya jika anak-anak yang sakit, suami bisa berkali-kali menelpon untuk memastikan keadaannya membaik. Kerja menjadi tidak nyaman karena terbayang wajah anak yang sedang sakit. Ingin segera bisa pulang tapi tak mungkin.  

Saya sendiri yang mesti pontang panting mengurus si anak. Membawa ke dokter, merawatnya. Kalau belum sembuh, mencari dokter lainnya. Menghentikan semua kegiatan di hari itu dan konsentrasi pada kesembuhan si anak. Tetap berdoa semoga segera sembuh.  

Saat ini semakin banyak pertimbangan untuk mengikuti suami. Terutama sejak bapak saya sendirian. Sementara hanya saya yang tinggal satu kota dengannya. Adik saya sering pulang di akhir pekan. Namun, sehari-hari saya selalu ingin dekat dengan bapak. Kapan lagi kalau bukan saat ini.

Alhamdulillah bapak sehat dan rajin memanfaatkan waktunya. Perasaan saya sedikit lega ketika meninggalkan bapak ke luar kota. Tidak pernah lama. Satu atau dua hari ketika mengunjungi si sulung. Lalu, di saat liburan kami bisa menghabiskan waktu satu atau dua minggu demi menemani suami bekerja. Setiap minggunya pasti pulang. Selama itu saya usahakan untuk menelpon bapak, bertanya kabar dan aktivitasnya. Saya ingin selalu mendengar suaranya. Menyapanya dan memperhatikan kebutuhannya.

Saya berusaha membagi waktu semampu saya. Tidak ada pembagian yang sama untuk bapak maupun suami. Di satu sisi saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama suami, tapi di sisi lain saya memiliki tanggung jawab terhadap bapak. Saya hanyalah manusia yang biasa. Tak lepas dari kekurangan. Masih banyak keinginan yang belum bisa terwujud baik untuk bapak maupun suami. Harapan saya sederhana saja, semoga apa yang saya lakukan berkenan di hati bapak dan suami. 

^_^ 

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba blog "DILEMA".
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

3 Komentar untuk "Dilema Long Distance Marriage"

  1. Salut sama suami-istri yang bisa LDM setelah menikah! Pasti berat dan banyak lika-likunya, semangat terus ya mba :) semoga satu hari nanti bisa berkumpul tanpa harus LDM lagi.. Amiin

    BalasHapus
  2. Semangat Mba semuanya pasti ada hikmahnya :) kalau saya ga bisa LDM hahaha rasana berat aku suka mikir suami makan apa?uda tidur blm ?sapa yang urusin klo sakit bla..bla..dan akhirnya kami sepakat serumah saja.
    Semoga mba dan keluarga slalu dikuatkan dan selalu sehat aamiin

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel