Tetaplah Melangkah ke Masjid, Nak!





Bagaimana galaunya saya ketika mendapati si bungsu pulang dari masjid dengan isak tangis. Ada apa?



Tak ada jawaban. Hatinya masih resah. Saya menduga dia sedang bertengkar dengan kakaknya. Maka saya menghampiri si kakak dan menanyakan keadaan adiknya. “Bukan aku!” teriaknya dengan sorot mata tajam.

Siapa pula yang menuduhnya. Saya butuh penjelasan, mengapa adik menangis. Seperti biasa mereka berangkat dan pulang dari masjid selalu bersama. Pastinya dia tahu keadaan adiknya. Termasuk kalau habis bertengkar. Efek adik dan kakak yang sering saling senggol, satu tidak mau menerima lalu membalas. Huff...

“Lalu kenapa?” tanya saya.

“Tadi dikeplak orang!” katanya masih dengan nada tinggi.

Sontak saja saya gelisah. Ibu mana yang terima kalau anaknya yang masih berumur 7 tahun tiba-tiba dikeplak 3 kali sama orang tua (baca: kakek, karena memang sudah berusia lanjut)? Adakah ibu-ibu menganggap ini adalah hal yang wajar? Adakah saya membiarkan masalah ini begitu saja?

Memang tingkat kenakalan seperti apa sih, sampai tangan yang harus bicara! 

Anak-anak sudah bukan balita lagi, wajar kalau mereka sudah berani pergi ke masjid. Kalau ada ayahnya di rumah, bersama-sama ke masjid. Kalau ada temannya sedang bermain, saya memintanya untuk berangkat bersama. Asalkan lokasinya dekat, saya ijinkan saja. Sebelum berangkat sudah saya ingatkan untuk tidak bercanda apalagi bersuara keras sehingga mengganggu jamaah lain. Tapi yang namanya anak-anak, nasihat seperti ini kadang suka lewat saja. Mereka masih berproses, masih belajar adab ke masjid.
kembali ke masalah semula, dikeplak. Di bagian mana yang dikeplak? Kepala. Bagian bawah, sejajar dengan daun telinga. Meski katanya tidak sakit, tapi pukulan tersebut meninggalkan luka yang dalam di hatinya.

Saya sungguh shock. Jelas si anak trauma. Saya ingin bertanya. Tapi si anak masih belum bisa mengendalikan emosi. Tangisnya menjadi-jadi. Semua jadi serba salah. Saya tahu dia butuh waktu. Saya memeluknya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik lagi.

Saya jadi teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Anak kedua juga pernah mengalami kejadian serupa. Di tempat lain. Gara-garanya, si anak berisik. Dan itu sangat mengganggu orang tua. Ya, yang biasa melakukan pemukulan terhadap anak (termasuk menjewer telinga) adalah bapak-bapak yang sudah berusia lanjut.

Setelah segala upaya untuk menenangkan tersebut akhirnya berhasil, dia mulai menjawab pertanyaan saya.

Awal mulanya bagaimana?

Seperti biasa anak kedua dan ketiga saya sudah biasa sholat di masjid. Mereka berangkat bersama menuju masjid terdekat. Setelah sholat usai, mereka mencari tempat dekat kipas angin. Nah, mungkin mereka bercanda, atau membuat berisik yang mengakibatkan seorang jamaah terganggu.

“Orangnya pakai baju biru,” kata si bungsu patah-patah.

Lha, saya kan tidak tahu orangnya yang mana. Yang pakai baju biru itu siapa pula. Saya tidak ikut ke masjid. Tapi dari pembicaraan dengan bapak (bapak saya termasuk jamaah masjid itu), saya tahu orang itu.

Setelah kejadian ini, dua anak saya tidak mau lagi pergi ke masjid tersebut. Saya cukup sedih. Tidak apa. Si kakak memilih pergi ke masjid lainnya bersama adik. Agak jauh, tapi niatnya tetap sama.

Sebenarnya saya sudah merasa senang karena mereka sudah terbiasa pergi ke masjid. Berangkat sholat ketika adzan berkumandang. Meski kadang ada huru-hara sebelum berangkat tapi tetap mau berangkat. Untuk bisa seperti ini kan butuh proses. Butuh waktu. Butuh kesabaran dan kerja keras untuk terus mengingatkan, memberi contoh dan mendoakan.

Ketika ada kejadian seperti ini, saya merasa apa yang saya dan guru-gurunya ajarkan menjadi sesuatu yang berat. Trauma. Bahkan ketika melihat masjid itu, si bungsu buru-buru pergi. “Aku nggak mau.”

Saya tidak mau ini terjadi lagi. Saya datangi rumah imam masjidnya, namun justru saya bertemu dengan istrinya. Saya butuh penengah untuk menetralisir suasana. Kebetulan sekali. Kalau ngomong dengan istrinya bisa leluasa.

Ternyata bukan anak saya saja yang menjadi korban tangan si bapak tersebut. Si ibu ini bercerita bahwa anaknya pernah ditempeleng. Iya, ditempeleng. Luar biasa! Kok tega sih memperlakukan anak-anak seperti itu.

Saya tak habis berpikir mengapa si bapak ini begitu ringan tangannya. Keributan kecil akibat ulah anak-anak sepertinya sudah sering terjadi baik di musholla maupun masjid. Kalau ada orang tua yang menegur, biasanya mereka akan berhenti. Tidak perlu main tangan!

Nah, si ibu tadi tidak terima begitu saja. Suaminya bertindak. Suaminya memperingatkan untuk tidak mengulangi lagi. Atau kalau masih saja seperti itu si bapak yang ringan tangan ini tidak diperbolehkan sholat lagi di masjid ini.

Faktanya, si bapak yang ringan tangan ini tetap sholat di masjid itu dengan damai. Seolah apa yang dilakukan memang sudah benar. Anak-anak yang biasa sholat di masjid rata-rata sudah pernah merasakan tangannya. Bahkan ada yang sampai bertengkar gara-gara orang tuanya tidak terima anaknya dipukul.

Helo! Siapapun kita, sebagai orang tua pasti tidak terima jika anak kita dipukul tanpa alasan yang jelas. Mengapa tidak bicara baik-baik saja. InsyaAllah, anak saya bisa mengerti, kok!

Nah, ketika suami pulang, saya jelaskan masalah ini. Saya ingin ada komunikasi dengan si bapak tadi. Agar tindakan bapak tersebut tidak berlanjut lagi. Dan agar anak-anak saya juga anak-anak lainnya tidak takut lagi datang ke masjid.

Saya cukup mengerti jadwal di bapak di masjid. Tidak 5 waktu sholat disana. Hanya di waktu tertentu yaitu maghrib. Jadi, ketika sholat maghrib usai, suami mendatangi si bapak. Bertanya perlahan, termasuk kenalan dulu. Dilanjutkan dengan komplain terhadap perbuatan si bapak secara halus. Sayangnya si bapak ini tidak ada respon sama sekali. Tidak ada permintaan maaf. Ataupun merasa bersalah atas tindakannya.

Ada yang mengatakan bahwa sudah menjadi watak si bapak seperti itu. Keras dan kaku. Tidak peduli dengan orang lain. Tapi, ini kan berhubungan dengan anak orang. Please, deh, jangan bertindak kasar.

“Lalu orangnya bagaimana?” tanya saya kepada suami.

“Diam saja. Orangnya sudah sepuh banget,” jelas suami.

Bukan masalah usia yang lanjut lantas saya bisa memakluminya. Tapi pengertiannya dong. Saya sempat berpikir, jangan-jangan orangnya tidak mengerti apa yang kami harapkan. Atau mungkin pura-pura tidak bersalah alias merasa benar.

Saya jadi ingat saran teman, “Atau dilaporkan ke RT.” Tapi suami buru-buru menolak. Dengan alasan tidak perlu memperkeruh masalah. Oke, saya akan melihat perkembangan selanjutnya. Saya tetap menyimpan harapan agar dilembutkan hati si bapak.

Saya sangat menyayangkan tindakan kekerasan terhadap anak di masjid. Efeknya luar biasa. Anak menjadi takut pergi ke masjid. Padahal sejak kecil anak-anak diajak ke masjid atau musholla agar mereka terbiasa. Agar kaki-kaki mereka ringan melangkah. Agar mereka terbiasa memakmurkan masjid. Agar hati mereka dekat dengan kebaikan.

Perlahan saya menyemangatinya. Saya selalu berdoa agar hati mereka selalu terikat dengan masjid. “Percayalah, tidak ada yang bisa menghalangi adik pergi ke masjid untuk menunaikan kewajiban sholat. Termasuk si bapak tadi.”

Adakah yang pernah mengalami ini? Sharing, yuk!

­
^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

8 Komentar untuk "Tetaplah Melangkah ke Masjid, Nak!"

  1. Iya ya.. Memperkenalkan itu mudah.. Tapi membuatnya terus melakukannya secara konsisten tanpa jemu atau ragu itu yg butuh usaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju mba. Makanya kejadian seperti ini menimbulkan luka yang dalam...

      Hapus
  2. anak-anak udh punya motivasi jamaah d masjid, itu sudah bagus. smua kan berproses.etapi masih ada yaa yg saklek sperti itu. gampang banget ambil tindakan, tanpa mempertimbangkan perasaan orang.
    smoga ananda ttp istiqomah yaa mba...

    BalasHapus
  3. aduh sikakek emosian... emang harus diperjelas sih..kesalahan anak seperti apa...sampai bahasanya dikeplak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha.. entahlah, mba. Saya juga baru tahu ternyata banyak anak yang telah merasakan tangannya.

      Hapus
  4. Duh si kakek... Turut prihatin mba. Menyayangkan sekali sikapnya, sakit pukulan mungkin segera sembuh, klo trauma kan susah:( org tua nya yg susah payah udah ngajarin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mba. Kalau ayahnya tidak di rumah, si bungsu jadi malas ke masjid itu. Padahal yang paling dekat.

      Hapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel