Tetaplah Melangkah ke Masjid, Nak!
Selasa, 14 Maret 2017
8 Komentar
Bagaimana
galaunya saya ketika mendapati si bungsu pulang dari masjid dengan isak tangis.
Ada apa?
Tak
ada jawaban. Hatinya masih resah. Saya menduga dia sedang bertengkar dengan
kakaknya. Maka saya menghampiri si kakak dan menanyakan keadaan adiknya. “Bukan
aku!” teriaknya dengan sorot mata tajam.
Siapa
pula yang menuduhnya. Saya butuh penjelasan, mengapa adik menangis. Seperti
biasa mereka berangkat dan pulang dari masjid selalu bersama. Pastinya dia tahu
keadaan adiknya. Termasuk kalau habis bertengkar. Efek adik dan kakak yang
sering saling senggol, satu tidak mau menerima lalu membalas. Huff...
“Lalu
kenapa?” tanya saya.
“Tadi
dikeplak orang!” katanya masih dengan
nada tinggi.
Sontak
saja saya gelisah. Ibu mana yang terima kalau anaknya yang masih berumur 7
tahun tiba-tiba dikeplak 3 kali sama
orang tua (baca: kakek, karena memang sudah berusia lanjut)? Adakah ibu-ibu
menganggap ini adalah hal yang wajar? Adakah saya membiarkan masalah ini begitu
saja?
Memang
tingkat kenakalan seperti apa sih, sampai tangan yang harus bicara!
Anak-anak sudah bukan balita lagi, wajar kalau mereka sudah berani pergi ke masjid. Kalau ada ayahnya di rumah, bersama-sama ke masjid. Kalau ada temannya sedang bermain, saya memintanya untuk berangkat bersama. Asalkan lokasinya dekat, saya ijinkan saja. Sebelum berangkat sudah saya ingatkan untuk tidak bercanda apalagi bersuara keras sehingga mengganggu jamaah lain. Tapi yang namanya anak-anak, nasihat seperti ini kadang suka lewat saja. Mereka masih berproses, masih belajar adab ke masjid.
kembali ke masalah semula, dikeplak. Di
bagian mana yang dikeplak? Kepala.
Bagian bawah, sejajar dengan daun telinga. Meski katanya tidak sakit, tapi
pukulan tersebut meninggalkan luka yang dalam di hatinya.
Saya
sungguh shock. Jelas si anak trauma. Saya ingin bertanya. Tapi si anak masih
belum bisa mengendalikan emosi. Tangisnya menjadi-jadi. Semua jadi serba salah.
Saya tahu dia butuh waktu. Saya memeluknya dan mengatakan bahwa semua akan
baik-baik lagi.
Saya
jadi teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Anak kedua juga pernah
mengalami kejadian serupa. Di tempat lain. Gara-garanya, si anak berisik. Dan
itu sangat mengganggu orang tua. Ya, yang biasa melakukan pemukulan terhadap
anak (termasuk menjewer telinga) adalah bapak-bapak yang sudah berusia lanjut.
Setelah
segala upaya untuk menenangkan tersebut akhirnya berhasil, dia mulai menjawab
pertanyaan saya.
Awal
mulanya bagaimana?
Seperti
biasa anak kedua dan ketiga saya sudah biasa sholat di masjid. Mereka berangkat
bersama menuju masjid terdekat. Setelah sholat usai, mereka mencari tempat
dekat kipas angin. Nah, mungkin mereka bercanda, atau membuat berisik yang
mengakibatkan seorang jamaah terganggu.
“Orangnya
pakai baju biru,” kata si bungsu patah-patah.
Lha,
saya kan tidak tahu orangnya yang mana. Yang pakai baju biru itu siapa pula. Saya
tidak ikut ke masjid. Tapi dari pembicaraan dengan bapak (bapak saya termasuk
jamaah masjid itu), saya tahu orang itu.
Setelah
kejadian ini, dua anak saya tidak mau lagi pergi ke masjid tersebut. Saya cukup
sedih. Tidak apa. Si kakak memilih pergi ke masjid lainnya bersama adik. Agak jauh,
tapi niatnya tetap sama.
Sebenarnya
saya sudah merasa senang karena mereka sudah terbiasa pergi ke masjid.
Berangkat sholat ketika adzan berkumandang. Meski kadang ada huru-hara sebelum
berangkat tapi tetap mau berangkat. Untuk bisa seperti ini kan butuh proses. Butuh
waktu. Butuh kesabaran dan kerja keras untuk terus mengingatkan, memberi contoh
dan mendoakan.
Ketika
ada kejadian seperti ini, saya merasa apa yang saya dan guru-gurunya ajarkan
menjadi sesuatu yang berat. Trauma. Bahkan ketika melihat masjid itu, si bungsu
buru-buru pergi. “Aku nggak mau.”
Saya
tidak mau ini terjadi lagi. Saya datangi rumah imam masjidnya, namun justru
saya bertemu dengan istrinya. Saya butuh penengah untuk menetralisir suasana.
Kebetulan sekali. Kalau ngomong dengan istrinya bisa leluasa.
Ternyata
bukan anak saya saja yang menjadi korban tangan si bapak tersebut. Si ibu ini bercerita
bahwa anaknya pernah ditempeleng. Iya, ditempeleng. Luar biasa! Kok tega sih memperlakukan
anak-anak seperti itu.
Saya
tak habis berpikir mengapa si bapak ini begitu ringan tangannya. Keributan
kecil akibat ulah anak-anak sepertinya sudah sering terjadi baik di musholla
maupun masjid. Kalau ada orang tua yang menegur, biasanya mereka akan berhenti.
Tidak perlu main tangan!
Nah,
si ibu tadi tidak terima begitu saja. Suaminya bertindak. Suaminya
memperingatkan untuk tidak mengulangi lagi. Atau kalau masih saja seperti itu
si bapak yang ringan tangan ini tidak diperbolehkan sholat lagi di masjid ini.
Faktanya,
si bapak yang ringan tangan ini tetap sholat di masjid itu dengan damai. Seolah
apa yang dilakukan memang sudah benar. Anak-anak yang biasa sholat di masjid
rata-rata sudah pernah merasakan tangannya. Bahkan ada yang sampai bertengkar
gara-gara orang tuanya tidak terima anaknya dipukul.
Helo!
Siapapun kita, sebagai orang tua pasti tidak terima jika anak kita dipukul
tanpa alasan yang jelas. Mengapa tidak bicara baik-baik saja. InsyaAllah, anak
saya bisa mengerti, kok!
Nah,
ketika suami pulang, saya jelaskan masalah ini. Saya ingin ada komunikasi
dengan si bapak tadi. Agar tindakan bapak tersebut tidak berlanjut lagi. Dan agar
anak-anak saya juga anak-anak lainnya tidak takut lagi datang ke masjid.
Saya
cukup mengerti jadwal di bapak di masjid. Tidak 5 waktu sholat disana. Hanya di
waktu tertentu yaitu maghrib. Jadi, ketika sholat maghrib usai, suami
mendatangi si bapak. Bertanya perlahan, termasuk kenalan dulu. Dilanjutkan dengan
komplain terhadap perbuatan si bapak secara halus. Sayangnya si bapak ini tidak
ada respon sama sekali. Tidak ada permintaan maaf. Ataupun merasa bersalah atas
tindakannya.
Ada
yang mengatakan bahwa sudah menjadi watak si bapak seperti itu. Keras dan kaku.
Tidak peduli dengan orang lain. Tapi, ini kan berhubungan dengan anak orang. Please,
deh, jangan bertindak kasar.
“Lalu
orangnya bagaimana?” tanya saya kepada suami.
“Diam
saja. Orangnya sudah sepuh banget,” jelas suami.
Bukan
masalah usia yang lanjut lantas saya bisa memakluminya. Tapi pengertiannya
dong. Saya sempat berpikir, jangan-jangan orangnya tidak mengerti apa yang kami
harapkan. Atau mungkin pura-pura tidak bersalah alias merasa benar.
Saya
jadi ingat saran teman, “Atau dilaporkan ke RT.” Tapi suami buru-buru menolak. Dengan
alasan tidak perlu memperkeruh masalah. Oke, saya akan melihat perkembangan
selanjutnya. Saya tetap menyimpan harapan agar dilembutkan hati si bapak.
Saya
sangat menyayangkan tindakan kekerasan terhadap anak di masjid. Efeknya luar
biasa. Anak menjadi takut pergi ke masjid. Padahal sejak kecil anak-anak diajak
ke masjid atau musholla agar mereka terbiasa. Agar kaki-kaki mereka ringan
melangkah. Agar mereka terbiasa memakmurkan masjid. Agar hati mereka dekat
dengan kebaikan.
Perlahan
saya menyemangatinya. Saya selalu berdoa agar hati mereka selalu terikat dengan
masjid. “Percayalah, tidak ada yang bisa menghalangi adik pergi ke masjid
untuk menunaikan kewajiban sholat. Termasuk si bapak tadi.”
Adakah yang pernah mengalami ini? Sharing, yuk!
^_^
Iya ya.. Memperkenalkan itu mudah.. Tapi membuatnya terus melakukannya secara konsisten tanpa jemu atau ragu itu yg butuh usaha
BalasHapusSetuju mba. Makanya kejadian seperti ini menimbulkan luka yang dalam...
Hapusanak-anak udh punya motivasi jamaah d masjid, itu sudah bagus. smua kan berproses.etapi masih ada yaa yg saklek sperti itu. gampang banget ambil tindakan, tanpa mempertimbangkan perasaan orang.
BalasHapussmoga ananda ttp istiqomah yaa mba...
Makasih doanya, mba.
Hapusaduh sikakek emosian... emang harus diperjelas sih..kesalahan anak seperti apa...sampai bahasanya dikeplak..
BalasHapusHaha.. entahlah, mba. Saya juga baru tahu ternyata banyak anak yang telah merasakan tangannya.
HapusDuh si kakek... Turut prihatin mba. Menyayangkan sekali sikapnya, sakit pukulan mungkin segera sembuh, klo trauma kan susah:( org tua nya yg susah payah udah ngajarin
BalasHapusIya, mba. Kalau ayahnya tidak di rumah, si bungsu jadi malas ke masjid itu. Padahal yang paling dekat.
Hapus