Tetap Asyik di Sekolah Negeri
Selasa, 02 Januari 2018
3 Komentar
Memilih
sekolah untuk anak-anak kadang membuat orang tua bimbang. Saya yakin setiap
orang tua pasti ingin memberikan pendidikan terbaik. Salah satu cara dengan
memilih sekolah favorit. Tapi di sisi lain, biaya sekolah menjadi kendala.
Note:
Tulisan
ini tidak bermaksud membuat perbandingan sekolah negeri dan swasta, namun sharing pengalaman saja.
Sebagai
contoh biaya sekolah swasta bisa berkali-kali lipat dari sekolah negeri.
Sedangkan di sekolah negeri bisa saja meminta keringanan untuk membayar uang
gedung dan SPP. Ini yang saya ketahui di daerah saya. Keringanan tersebut
dikarenakan siswa tidak mampu. Masalah tidak mampu ini bisa berbeda kriteria
dan saya tidak mau membahas disini.
Tapi
bukan berarti di sekolah negeri tidak ada iuran. Ada, kok. Tiap kegiatan ada
saja iurannya. Besar kecilnya tidak sama. Karena memang sekolah tidak
menanggung biaya-biaya tersebut.
Sejujurnya
memilih sekolah negeri tidak melulu masalah biaya. Ada hal-hal lain yang
membuat orang tua dan anak menjatuhkan pilihan mereka untuk sekolah negeri.
Contohnya saja ketika si sulung lulus sekolah dasar dan melanjutkan ke sekolah
negeri. Si anak ingin merasakan seperti apa sekolah negeri.
Kalau
dulu si sulung sekolah swasta (baca: sekolah agama) kemudian sekolah negeri
memang ada beberapa perbedaan. Masalah perbedaan ini memaksa anak agar mampu
beradaptasi di segala sisi.
Yang perlu diperhatikan ketika memilih sekolah negeri:
- Teman yang beragam
- Belajar toleransi
- Orang tua harus pro aktif
Anak
saya termasuk mudah bergaul meski anaknya tidak ramai. Teman-temannya sering
bermain ke rumah kalau ada tugas. Selebihnya tidak. Ya karena anak saya
termasuk tipe anak rumahan. Merasa lebih nyaman saja di rumah daripada bermain
di luar tanpa alasan yang jelas.
Kalau
kata si anak sih, mau sekolah dimana saja tidak masalah. Semua itu tergantung
anaknya. Kalau dia gampang bergaul bakal mudah menyesuaikan diri. Bakal mudah
memiliki teman. Juga mudah menyelesaikan masalahnya. Termasuk jika sekolah
memiliki peraturan tanpa sosialisasi terlebih dahulu.
Kalau
memilih sekolah negeri, si anak mesti siap mental juga. Karena temannya tidak
sama seperti sekolah agama. Teman-temannya dari berbagai latar belakang. Yang
dari keluarga tak mampu juga banyak.
Pasti
ada hal-hal yang bertabrakan. Misalnya kalau sekolah agama, diajarkan sholat
tepat waktu. Namun di sekolah negeri, tidak bisa. Jam sekolah sudah pasti,
jadwal sholat yang menyesuaikan. Tidak bisa begitu mendengar suara adzan
langsung bergegas menuju musholla.
Bukan
berarti sholatnya ditunda, namun ketika sudah selesai jadwal pelajaran segera
menunaikan kewajiban. Masalah seperti ini memang harus diperhatikan. Belajar
beradaptasi bukan hanya dengan teman-teman sekolah namun juga dengan waktu.
Dengan
memilih sekolah negeri artinya si anak belajar toleransi dengan teman yang
berbeda keyakinan. Sejauh ini semuanya baik-baik saja. Jadi semacam pengalaman
juga. Bahwa dia mesti bisa berteman dengan siapa saja.
Ada
pengalaman berkesan ketika anak saya kelas 1 SMP. Waktu itu dia ikut ke kampung
Inggris di Pare. Daerah ini terkenal buat belajar bahasa Inggris. Karena saya
agak khawatir bakal ditinggal selama 2 minggu, saya dan seorang ibu mendekati
guru pengampu bahasa Inggris. Saya bertanya macam-macam tentang situasi disana.
Saya juga berencana untuk mengunjungi anak selama di Pare.
Eh,
bukannya kami diajak ngomong baik-baik dengan gurunya. Sebaliknya, kami
dianggap memanjakan anak. Karena anak SMP itu sudah dewasa, orang tua tidak
perlu khawatir.
Padahal
intinya saya pengen tahu alamat tempatnya menginap di Pare! Dengan penuh
kesabaran dan perjuangan akhirnya saya dan teman berhasil mendapatkan info
kegiatannya di Pare. Jadi, memang guru itu menganggap anak-anak dari sekolah
swasta terlalu dimanja. Sebentar-sebentar bertanya kabar adalah hal yang tak
penting. Bisa membuat anak tak mandiri.
Agak
kaget juga ketika mendengarnya. Tapi ya sudahlah, apa yang saya pikirkan dan
yang dipikirkan guru jelas berbeda. Saya sih lebih suka mendengar kabar apapun
dari anak. Tidak masalah jika guru tersebut menganggap saya memanjakan anak.
Kenyataannya anak saya baik-baik disana.
Di
sekolah negeri saya merasa blank
terhadap info sekolah. Seringkali ada info yang mendadak. Atau si anak yang
lupa tidak mengabarkan info kepada saya. Hal-hal seperti ini membuat orang tua
menjadi bingung. Contohnya ketika si
anak pulang hingga lepas maghrib. Nah, pulang sekolah kok lama banget. Saya
sampai datang ke sekolah.
Setelah
ikut barisan ibu-ibu yang menunggu anak di depan pagar sekolah, saya baru tahu
bahwa hari itu ada penilaian adiwiyata. Giliran sekolah anak saya terakhir.
Sementara si anak lupa tidak mengabarkan jadwal kepulangannya yang sangat
terlambat.
Ada
baiknya kalau orang tua berteman dengan wali kelas. Meskipun kalau bertanya
kabar tidak segera dijawab. Atau jawaban tidak memuaskan. Sabar saja. Tapi
jangan pasrah.
Saya
mendapat info macam-macam setelah menghadiri rapat paguyuban wali murid. Bahkan
saya jadi mengerti pergaulan anak-anak karena kekhawatiran ibu-ibu ini. Dan apa
jawaban guru dan kepala sekolah?
“Nggak
apa-apa, bu. Anaknya sudah besar.”
Jawaban
tersebut tentu melegakan hati orang tua. Namun tidak menyelesaikan masalah
apapun. Karena berani memilih sekolah negeri berarti berani mandiri. Tidak semua
masalah bisa dikomunikasikan dengan wali murid dan kepala sekolah. Yang penting
sudah berusaha saja dan tetap menjalin komunikasi yang baik.
^_^
Hihi.. saya dulu dari TK-Kuliah,negeri semua mba.... mungkin pendekatan masing-masing sekolah berbeda.. jadi bagaimana baiknya kita sebagai orang tua menyesuaikan sesuai dengan tujuan yang diharapkan pada anaknya... kalau akhirnya anak memilih berbeda, minimal kita sudah memberikan bekal yang menurut kita terbaik...
BalasHapusSekolah yang penting dapat pelajaran dan norma yang bagus, untuk nantinya bekal ke depan. Kunjungi blog ku ya..
BalasHapusSaya dari SD sampai kuliah di negeri terus mbak. Pengalaman saya, kalau saya bandingin dengan cerita temen yang sekolah di swasta, di sekolah negeri kalau siswanya mau pintar ya silahkan belajar sendiri atau ikut kelas tambahan. Positifnya proses yang seperti itu kita anggap pelatihan kemandirian siswa.
BalasHapus