Siapa yang Mengatur Keuangan Keluarga? Suami atau Istri?


keuangan keluarga


Assalamualaikum,

Suatu hari ada teman yang bertanya tips irit mengatur keuangan keluarga. Aduh, saya menyerah saja. Saya tidak ahli dalam bidang ini. Saya yakin tiap keluarga memiliki patokan sendiri agar bisa mempertahankan keuangan keluarga dalam keadaan normal. Bukan besar pasak daripada tiang.

Jadi, disini teman-teman tidak akan menemukan tips mengelola keuangan keluarga. Yang ada curhat teman-teman saya tentang keuangan keluarga. Kadang saya merasa ini jauh dari teori-teori perencanaan keuangan. Tapi....mereka baik-baik saja kok dengan gayanya masing-masing.

Siapa yang memegang kendali pada keuangan keluarga?

“Bu Nur, gimana caranya biar nggak boros?”

Boros menurut saya bisa saja tidak menurut si teman. Teman saya lainnya berkata bahwa dia benar-benar mengerem pengeluaran yang tidak penting. Akhirnya kami malah curhat tentang siapa yang berperan dalam mengendalikan keuangan keluarga.

Beda pasangan, beda pula cara mengatur keuangan keluarga. Ada pasangan yang menyerahkan sepenuhnya kepada istri. Ada juga istri yang tidak mau ribet dan memilih untuk menyerahkan kekuasaan terhadap keuangan keluarga kepada suaminya. Ada yang sama-sama mengatur keuangan keluarga.

Yang saya heran, ada teman yang mengatakan, “Yang penting, aku dikasih uang buat belanja gitu berapa. Aku nggak mau pegang uang suami.”

Teman saya ini tiap mau belanja minta jatah kepada suaminya. Urusan dia hanya belanja kebutuhan sehari-hari. Pengeluaran yang kecil. Dia tidak peduli dengan saldo rekening karena sudah menyerahkan semua urusan itu kepada suaminya.

Selain itu, ada pasangan yang menyerahkan keuangan keluarga kepada istrinya. Sebagian besar pengeluaran diatur oleh istri. Setiap pengeluaran harus sepengetahuan istrinya. Sementara suaminya disangoni seperlunya saja.

Pernah saya mendengar ada pasangan suami istri yang membuat pembagian pos dalam keuangan keluarga. Pendapatan suami digunakan untuk membayar uang sekolah dan uang saku anak, pajak, dll. Sedangkan pendapatan istri untuk makan saja dan keperluan pribadi istri. Suami istri masih bisa memegang uangnya masing-masing.

Ada yang pernah mendengar kata “uang laki”? Saya pernah. Saya jadi berpikir mengapa “uang” ada jenis kelaminnya ya! Jadi, pendapatan resmi suami diberikan kepada istrinya. Ini pendapatan yang sudah rutin tiap bulan, ya. Sedangkan jika suami mendapatkan pendapatan lagi dari beberapa pekerjaan misalnya dinas luar atau pekerjaan sampingan tidak diberikan kepada istrinya. Karena ada anggapan bahwa ketika uang sudah dikasihkan istrinya tidak bisa diminta suami lagi. Daripada suaminya ngenes tidak bisa otak-atik uang keluarga, sebagian uang tidak dilaporkan dan tidak diberikan kepada istrinya.

Kadang saya menganggap lucu saja. Isu “uang” menjadi pembicaraan sensitif dalam rumah tangga. Ada kalanya suami dan istri tidak mau terbuka masalah keuangan masing-masing. Akibatnya terjadi kecurigaan. Suami bisa belanja barang atau pergi-pergi dari uang mana?

keuangan keluarga


Saya yakin masih banyak lagi, gaya mengatur keuangan keluarga. Beberapa teman tertutup tentang keuangan keluarga. Kalau saya cerita seperti ini bukan masalah nominal, namun lebih kepada siapa yang memegang kendali. Itupun sesuai dengan kesepakatan dan keikhlasan bersama. Kalau teman-teman memiliki cerita boleh share di kolom komentar ya!

Senyamannya!

Saya baru mengetahui pendapatan suami ketika sudah menikah dan ikut suami merantau. Dulu, slip gaji tiap bulan dimasukkan ke dalam amplop coklat. Di amplop tersebut ada rincian gaji dan tunjangan pegawai lengkap dengan potongan-potongannya. Pertama kali menerimanya, saya baca berkali-kali. Sambil berpikir semoga uang ini cukup untuk sebulan. Maklum pengantin baru tidak memiliki modal!

Setelah menikah kami tidak membuat perjanjian tentang uang keluarga. Kami tidak berpikir macam-macam. Meski rasanya agak aneh ketika melihat pendapatan suami. Biasanya saya dapat uang dari orang tua dan pekerjaan (freelance), kemudian beralih dari suami.

“Itu uang kamu. Belanja pakai uang ini. Uang kamu disimpen aja.” kata suami. Untuk pertama kalinya saya agak canggung membuka amplop coklat dan mulai belanja.

Bagi kami, bukan salah satu yang mengatur keuangan keluarga, melainkan bersama-sama. Meski suami banyak di luar kota, namun masalah keuangan merupakan tanggung jawab bersama. Berapapun nominal yang keluar tentu sepengetahuan pasangan. Tentu saja dengan keikhlasan. Jangan sampai ketika saya sudah belanja kemudian suami tidak suka dan merasa boros! Saya sendiri memiliki batasan untuk belanja.

Karena tidak tinggal bersama, maka kami sama-sama pegang kendali dalam mengatur keuangan keluarga. Ketika suami menarik sejumlah uang dalam jumlah besar, saya tetap ingin dilibatkan. Bagaimanapun untuk sampai dalam kehidupan seperti ini adalah karena kerja keras kami berdua. Suami pernah berkata, “Kalau bukan karena menikah, mungkin aku nggak punya apa-apa.”

Pernikahan memang butuh modal. Kadang kami tidak menyangka bisa menyekolahkan anak (sulung sudah kuliah), memiliki rumah, dsb. Bagaimana kami up and down bersama, sampai di titik ini memang tak mudah. Ada kerja keras, ada air mata.  

Saya termasuk orang yang malas berhitung. Dalam arti saya tidak suka jika semua pengeluaran harus dihitung sampai datail. Pernah sih memakai aplikasi catatan keuangan, tapi tidak bertahan lama. Saya tidak sanggup selalu merasa bersalah karena banyak pengeluaran. Bukan berarti tiap hari boros, namun saya merasa tidak perlu saja. Selama pengeluaran itu memang benar adanya dan butuh, meski diluar batas, saya rasa masih aman.

Saya maupun suami tidak memilah-milah mana yang menjadi tanggung jawab kami. Misalnya anak sulung minta dikirimi uang. Kalau saya malas, saya tinggal bilang suami untuk transfer. Tidak perlu iri, kenapa tidak pakai atm saya. Tidak!

Bagi kami, keuangan keluarga menjadi tanggung jawab bersama. Bukan salah satu, meski dia adalah pencari nafkah. Senyaman mungkin mengaturnya. Karena kalau sama-sama merasa nyaman, tidak akan ada saling mencurigai.

Saya rasa setiap pasangan harus nyaman dengan caranya masing-masing. Kalau merasa boros memegang uang dan dikasihkan suami, ya monggo. Kalau merasa suami yang boros, ya istri yang memegang kendali. Atau keduanya saling terlibat. Yang penting tidak neko-neko sampai menghalalkan segala cara. Semoga tidak ya!

^_^


Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

3 Komentar untuk "Siapa yang Mengatur Keuangan Keluarga? Suami atau Istri?"

  1. Saya tidak bisa berkomentar, Mbak. Lha wong saya single. Yo duwitku taksimpen dewe taknggo dewe. 😁😁😁

    BalasHapus
  2. Baca ini jadi mikir besok keuangan gimana.. Tapi baca baca kebanyakan keuangan memang yang pegang istri. Apa kata besok deh ya masih sigle huhu 😂😂

    BalasHapus
  3. Bagi yang belum menikah, perlu sekali bicara dengan pacarnya tentang bagaimana nanti mau mengatur keuangan setelah menikah. Perlu ada kesepakatan tentang siapa yang mau pegang keuangan rumah tangga, mau ada uang laki atau tidak, mau ada uang perempuan atau tidak. Karena jika tidak ada kesepakatan sebelum menikah, maka potensi konflik rumah tangga akan besar.

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel