Di Kampung, Tetangga Rasa Saudara



Assalamualaikum,

Pengalaman bertetangga saya sebenarnya masih minum. Tapi tak apalah jika saya berbagi cerita selama tinggal di kampung (bukan di perumahan). Total sudah 4 kali tinggal di kampung. Ini sih akibat suami yang sering berpindah-pindah dinas. Jadi bisa merasakan tinggal di kampung ketika masih di Jakarta, Sidoarjo dan Bojonegoro. Kalau kampung halaman tidak perlu dihitung, ya.

Di Jakarta itu sudah dua kali pindah rumah. Semuanya tinggal di rumah petak. Selama itu saya tidak pernah bermasalah dengan tetangga baik dengan  pendatang maupun penduduk asli. Semuanya baik. Kalaupun ada yang kurang, paling juga hal yang sepele. Contohnya ada tetangga yang memelihara burung. Terasa mengganggu itu ketika saya sedang menjemur baju dan kena kotoran burung. Lainnya apa ya? Rasanya tidak ada yang penting sih, jadi seingat saya yang baik-baik saja.

Pada awal menikah saya ikut suami. Kondisi saya sedang hamil. Saya butuh adaptasi dengan suami dan lingkungan baru. Sampai kemudian saya opname karena fisik saya semakin payah. Alhamdulillah ada teman-teman suami yang kos dekat kami, mengantar ke rumah sakit terdekat.

Karena tidak ingin menyusahkan tetangga, saya katakan kepada suami untuk tidak memberitahukan kepada para tetangga. Apa kata mereka? Justru mereka marah. Mengapa tetangga tidak dianggap keluarga? Harusnya dikasih tahu biar bisa membantu. Ya Allah, awal menikah saya mendapat pelajaran berharga dari tetangga.

Demikian juga ketika saya tinggal di Sidoarjo. Kalau sehari saja saya tidak keluar rumah, pasti ditanya para tetangga. Mereka mengkhawatirkan saya. Dikira sakit. Mereka tanpa disuruh datang menjenguk.

Dulu, tanpa media sosial tanpa woro-woro, tanpa basa-basi, tetangga-tetangga ini membuka pintunya lebar-lebar untuk membantu ketika ada yang kesusahan. Rumah-rumah tanpa pagar (dan tetap aman) yang membuat kami leluasa berkunjung. Sesama perantauan dan penduduk lokal bisa seakrab ini.

Dari bertetangga ini saya mengenal berbagai makanan nusantara. Gratis pula. Ketika memiliki tetangga orang Betawi, saya dikasih makanan Betawi, begitu juga ketika memiliki tetangga orang Padang, Aceh dan Sunda. Senang banget punya tetangga seperti ini.



Tips agar akrab bertetangga:

  • Silaturahmi

Sebagai pendatang, sebaiknya memulai untuk berkunjung ke rumah tetangga. Lapor RT itu penting. Walaupun saya tinggal berpindah-pindah kota, yang kadang tidak sampai setahun, saya selalu lapor RT setempat. Bahkan ketika tinggal di rumah dinas juga demikian.

  • Mematuhi aturan yang berlaku

Seperti pepatah, “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” maka setiap daerah memiliki adat dan aturan yang berbeda dengan daerah lain. Selama tidak bertentangan dengan agama yang kita anut, sebaiknya patuhi saja.

  • Memenuhi undangan

Kalau mendapat undangan dari tetangga, musholla dan masjid, datang jika tidak berhalangan. Kalau tidak bisa, sampaikan baik-baik bahwa kita memiliki agenda yang lebih mendesak dan penting. Kalau diminta sumbangan untuk RT, musholla atau masjid ikut saja. Walaupun seringkali ketika acara sedang berlangsung tidak ikut karena mudik, dsb. Demikian juga ketika ada kegiatan di RT setempat. Misalnya kerja bakti, meskipun jarang, tapi dengan adanya kegiatan tersebut, kita jadi mengenal para tetangga lebih akrab.  

  • Menyapa tetangga-tetangga

Kalau berpapasan ya menyapa. Kalau ada waktu lebih panjang, kita bisa bertanya kabar, ngobrol ringan (kalau saya sesama ibu-ibu). Jangan sampai tetangga menganggap kita orang sombong karena tidak pernah menyapa ketika berpapasan. Lha wong senyum saja tidak mau.

  • Memberi hadiah

Jika ada kelapangan rezeki, ada baiknya kita berkunjung ke rumah tetangga sambil membawa hadiah. Biasanya makanan, baik masakan sendiri atau beli, misalnya oleh-oleh. Yang penting tidak perlu memaksakan diri.

Satu hal yang membuat hubungan dengan tetangga tetap baik adalah karena kita bisa membuat batas yang jelas. Urusan pribadi jangan sampai diumbar meski sedang suntuk dengan pasangan.

Dulu ketika anak masih kecil itu sering banget ibu-ibu muda keluar rumah setiap pagi dan sore. Sambil mengajak main sambil memberi makan yang banyak dramanya. Saat seperti itulah saya memiliki kesempatan untuk ngobrol lalu mengenal tetangga.

Jadi bertetangga di kampung atau di perumahan itu sama saja. Bisa senang atau tidak tergantung bagaimana menyikapinya. Suka dan duka itu pasti ada. Masalah mengikuti. Solusi pasti bisa ditemukan.

Nah, pernah memiliki tetangga rasa saudara? Pernah banget. Tetangga rasa saudara itu kalau kita bisa akrab dan nyaman, saling pengertian. Terutama ketika sedang di perantauan, ketika jauh dari keluarga. Ada tetangga yang bisa mengerti keadaan kita dan dengan sukarela membantu.

Kalau di Jakarta itu ada tetangga yang saya anggap seperti ibu sendiri. Saya suka main ke rumahnya, nonton teve, ngobrol sampai dikasih makan. Ya, karena saya main ke rumahnya cukup lama. Sejujurnya saya butuh teman ketika suami pergi bekerja. Saya juga akrab dengan anak perempuannya, selain karena seumuran juga kami sama-sama ibu rumah tangga.

^_^



Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

1 Komentar untuk "Di Kampung, Tetangga Rasa Saudara"

  1. Waalaikumsalam mbak.

    Alhamdulillah dapat tetangga yang baik hati ya mbak, mana sering dikasih makanan gratis kalo mereka bikin. Disini juga kadang begitu, ada yang bikin opor ayam maka dikasih, karena tidak enak maka aku kasih balik, misalnya kue atau cemilan.😊

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel