Objective Cerita
Kamis, 10 November 2016
1 Komentar
Sebagai
kelanjutan dari dua blogpost sebelumnya, tentang naskah novel “Alfi Sayang
Kakak”, disini akan dibahas objective cerita. Kira-kira akan seperti apa ya?
Objective
cerita meliputi objective, motif dan pesan yang ingin disampaikan melalui
tulisan. Setiap tulisan pastinya ada tujuannya. Sebagai garis besarnya tiga
karakter utama ini memiliki gambaran seperti berikut:
Alfi
Anak
yang ceria ini tiba-tiba murung. Tak ada bunda di rumah. Bunda terlalu sibuk
dengan pekerjaan barunya. Alfi tak tega meminta bunda bermain bersama, belajar
bersama, mengaji bersama dan piknik bersama. Sementara kak Amel, semakin
berulah saja. Alfi semakin tidak betah berada di rumah.
Sejak
ayah meninggal, semuanya berubah. Alfi benci sekali keadaan seperti ini. Semua
memiliki dunianya sendiri. Bunda, kak Amel. Sedangkan dia... kebahagiaan yang
terenggut paksa. Alfi ingin keakraban, kehangatan dan kebersamaan. Yup,
bersama-sama mengurus kak Amel.
Kak
Amel adalah saudara satu-satunya Alfi. Kalau bukan Alfi lalu siapa yang akan
mengurus kak Amel. Nenek ataukah kakek. Mereka sudah berusia lanjut. Sering mengeluhkan
penyakit yang menggerogoti tubuh. Lalu apakah tega membebankan semua ini kepada
mereka?
Sebagai
saudara kandung seharusnya Alfi menyayangi kak Amel. Tapi kejadiaan beberapa
waktu lalu sungguh tidak mudah dilupakan. Kak amel mengamuk ketika teman-teman
Alfi tidak ada yang mau bermain dengannya. Bahkan melempari mereka dengan
mainan yang berserakan.
Alfi
sangat malu. Tak seorangpun anak yang berani datang ke rumah Alfi. Kak Amel
tidak peduli. Dia tetap tidak bisa disalahkan.
Sejujurnya,
Alfi ingin menyayangi kak Amel tanpa syarat. Wajar karena mereka bersaudara. Namun
keadaan kak Amel yang membuat segala sesuatu menjadi tak wajar lagi. Andai bisa
Alfi ingin melarikan diri saja.
Alfi
masih ingat kata-kata ayah. Alfi tahu itu. Ayah selalu berpesan untuk
menyayangi kak Amel. Untuk terus melangitkan doa demi kebaikan kak Amel. Meski
hingga saat ini tidak ada perkembangan yang berarti.
Amel
Dengan
segala keterbatasannya Amel menyita perhatian keluarga. Tak ada benar dan
salah. Baginya hidup adalah tentang toleransi. Sebatas apa dia menjadi obyek
perhatian. Sebatas apa orang-orang disekitar mau meluangkan sedikit waktu
untuknya.
Bukan
karena dia suka diperhatikan, namun karena keterbatasan dalam berbicara dan
mengungkapkan perasaannya. Dia ingin orang lain bisa mengertinya. Bukan Amel
yang harus mengerti orang lain.
Dimanapun
berada, Amel ingin menjadi bagian keluarga yang bahagia. Amel tahu dirinya tak
bisa diandalkan. Amel juga tahu dirinya tak memiliki kepekaan terhadap perasaan
orang lain. Tapi dia memiliki cita-cita sederhana, agar bunda dan Alfi bahagia.
Hanya
saja Amel tak pernah tahu bagaimana cara mewujudkannya.
Ustadzah
Fida
Rasa
sayangnya terhadap anak-anak membuat rumahnya selalu terbuka untuk siapapun. Termasuk
Alfi. Merekapun menjadi akrab, seolah seperti keluarga sendiri. Namun, ustadzah
Fida selalu mengingatkan Alfi untuk pulang ke rumahnya. Apapun keadaannya,
keluarga adalah tempat melabuhkan rindu dan kasih sayang.
Perkenalannya dengan Alfi mengantarkannya kepada saudaranya, Amel. Kadang-kadang
ustadzah Fida gantian yang datang ke rumah Alfi. Dia melihat keadaan Amel,
tergerak hatinya untuk menolong. Meski tidak memiliki latar belakang pendidikan
untuk anak-anak berkebutuhan khusus, dia senang berteman dengan Amel.
Anak
adalah anugrah. Untuk apa menolak ataupun menjauh. Kecintaan terhadap anak-anak
bermula dari sifat lugu mereka. Semua tingkah polah mereka sesungguhnya adalah
pembelajaran yang baik. Semua adalah khas anak-anak. Jika ada orang dewasa yang
seperti itu bisa jadi dia tidak tuntas di masa kanak-kanaknya.
Beberapa
kali ustadzah Fida menjadi sasaran kemarahan Amel. Disaat marah, tenaga Amel
seolah berubah menjadi berlipat ganda. Tak ada bunda Amel. Hanya Alfi yang
berdiri dibelakang tubuhnya. Menggenggam ketakutan yang besar.
Ustadzah
Fida yakin, Amel suka dengannya. Perlahan ustadzah Fida mengulurkan tangan,
memeluknya. Sesuai dengan cita-cita, menjadi pengajar bukan soal tempat dan
gaji. Jika nurani yang bicara, akan semakin banyak variabel yang harus
diperhatikan. Seperti kasus Amel, tak ada yang tak mungkin. Apa yang bisa
diperbuat dari seorang guru seperti dia.
Sungguh
kekhawatiran itu ada. Tapi tatapan mata Amel yang tak beranjak darinya seolah
memanggil hati kecilnya untuk mengajar. Ya, mengajar bukan soal siapa muridnya.
Tapi disini, apa yang bisa diajarkan untuk Amel.
Dengan
kasih yang tulus, Alfi berharap hubungannya dengan kak Amel membaik. Alfi sadar,
saat ini bundalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Bunda pasti sibuk dan capek.
Kalau bukan Alfi lalu siapa yang akan membantu mengurus keperluan kak Amel.
Secara
keseluruhan cerita ini mengajak siapa saja untuk peduli dengan anak-anak
istimewa seperti Amel. Untuk tetap melangitkan doa dan berpantang menyerah. Demi anak,
demi keluarga tercinta.
#blogtobook
^_^
Sumber gambar: IG artis
Udah keliatan jalan ceritanya ya :)
BalasHapus