Rapor dan Target Belajar Anak
Selasa, 20 Desember 2016
10 Komentar
Hari
Sabtu dan Minggu lalu saya mengambil rapornya anak-anak. Bagaimana hasilnya? Memuaskan
atau justru sebaliknya?
Rapor
berisi laporan penilaian selama satu semester. Semua hasil belajar ada disitu. Masalah
memuaskan atau tidak itu sangat relatif. Bisa jadi orang tua merasa tidak
bahagia dengan nilai rapor, sedangkan anaknya nyantai saja. Tak pusing
memikirkan nilainya. Bagi saya rapor ini adalah hasil terbaik yang mampu dicapai anak.
Lalu
apa hubungannya dengan target belajar anak?
Setiap orang tua pastinya menginginkan bisa melihat nilai anaknya bagus. Orang tua akan
sedih jika sebaliknya. Ada pula yang tak terlalu peduli dengan semua nilai ini.
Tapi tetap mendukung semua kegiatan sekolah anaknya.
Beberapa
waktu lalu saya sempat ngobrol dengan seorang teman. Selama ini dia membuat
target untuk anaknya. Misalnya untuk rangking dia menetapkan batasannya. Minimal
harus rangking sekian agar tidak memalukan orang tua.
Jika
anaknya mampu, boleh saja kita menetapkan angka hingga rangking. Bisa jadi dia semakin
terlecut semangat belajarnya. Akan lebih giat lagi jika ada reward berupa
barang yang dibutuhkan/diinginkan anak. Tapi kalau tidak mampu, kasihan anaknya
juga kan.
Teman
saya ini mengatakan bahwa anaknya sempat meminta maaf sampai menangis karena
tidak mampu memenuhi target yang ditetapkan orang tuanya. Dia sudah berusaha,
dan inilah hasilnya. Orang tua jelas kecewa, tapi mau bagaimana lagi jika faktanya seperti ini. Entah usahanya seperti apa, orang tuanya berusaha
mengakuinya.
Jika
orang tua kecewa, anak akan terkena imbasnya. Perasaannya terluka. Wah, bicara
seperti kok saya tidak tega juga.
Selanjutnya
si anak teman saya ini berusaha lebih giat lagi. Sambil tetap mengingat pesan
orang tuanya. Dan ternyata ada peningkatan. Mungkin belum maksimal seperti yang
diinginkan orang tuanya. Tapi setidaknya sudah ada kerja keras untuk lebih baik
lagi.
Saya
ingat ketika saya mengeluhkan anak saya kepada guru kelasnya. Mau membuat target seperti apa kalau
anaknya belajar cuma sebentar. Ini keluhan yang umum buat anak laki-laki. Seperti
sesi dengar pendapat wali murid kelas 6, hampir semua orang tua setuju jika
anak-anak muslim lebih giat belajar. Bukan sekedar membaca 5-10 menit kemudian
ditinggal bermain berjam-jam.
Guru
anak saya hanya mengatakan, “Percayalah pada kemampuan anak.”
Apakah
semudah itu kita percaya? Bagaimana kalau untuk belajar saja, si anak
malas-malasan. Lalu mau dapat nilai bagus darimana? Pasrah. Sebaliknya, jika anak sudah mengerti pelajaran yang akan diujikan, mungkin tanpa belajarpun tak apa. Ada kan anak-anak yang seperti ini?
Masalah
belajarnya anak-anak ini sepertinya menjadi masalah saya. Karena selama ini
anak-anak lebih banyak bersama saya, sedangkan suami bekerja di luar kota. Otomatis
saya yang bertanggung jawab terhadap belajarnya anak-anak. Soal hasil, yang penting saya dan anak-anak sudah berusaha.
Bagi
saya, minimal belajar deh menjelang ujian. Sedikit atau banyak anak-anak akan
mengulang pelajaran. Mencoba mengingat ilmu dari sekolah. Berlatih mengerjakan
soal-soal agar terbiasa.
Tapi
ada kalanya kegiatan yang sudah dijadwal ini terlupa, ya bagaimana lagi. Itu
resiko. Lha anaknya ditanya ada ulangan atau tidak, jawabannya tidak. Eh begitu
malam, saya sudah mengantuk, dia bilang besok ulangan. Dia juga mengantuk berat. Ya sudah,
tidur saja. Kalau anaknya mau, besok pagi belajar. Minimal sempat baca-baca
buku pelajarannya.
Sekarang
ini di beberapa sekolah tidak menetapkan sistem rangking. Termasuk di sekolahnya anak-anak. Tapi anak-anak
yang berprestasi akan disebut namanya dalam pertemuan wali murid. Ada reward dari sekolah sebagai bentuk apresiasi terhadap prestasi mereka.
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang nilainya di bawah rata-rata kelas? Ada sekolah yang memberikan jam tambahan. Dan ada pula yang tidak. Ada sekolah yang membuat sistem remidi dan semester pendek. Tujuannya untuk mengangkat nilai tersebut. Meskipun dapat nilai 100, tapi nilai tersebut tetap tidak sempurna.
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang nilainya di bawah rata-rata kelas? Ada sekolah yang memberikan jam tambahan. Dan ada pula yang tidak. Ada sekolah yang membuat sistem remidi dan semester pendek. Tujuannya untuk mengangkat nilai tersebut. Meskipun dapat nilai 100, tapi nilai tersebut tetap tidak sempurna.
Apapun
target yang mesti dicapai anak, sebaiknya dibicarakan baik-baik. Jangan sampai terkesan
memaksa anak berjuang di luar batas kemampuannya. Yang sekolah kan si anak,
mengapa justru orang tua yang seolah ingin menjadi juaranya.
Kesimpulan:
- Selama anaknya mampu, orang tua boleh menetapkan target untuk anaknya.
- Memberi reward terhadap keberhasilan anak.
- Memberi semangat untuk pantang menyerah jika nilai anak jauh dari harapan.
Selamat
menikmati hasil belajar anak-anak!
^_^
aq lebih setuju g ada ranking, tapi ya itu tadi, orang tua harus bener2 tahu kemampuan dan kecerdasan anaknya
BalasHapusNah, kadang ortu bingung juga dengan kemampuan si anak jika tak ada rangking.
HapusSaya sepakat dengan gurunya mbak. Percaya dengan kemampuan anak. Memberikan kepercayaan membuat anak lebih percaya diri pada kemampuan mereka sembari para org tua ttp memberikan dukungan yg positif untuk terus belajar dan belajar. 😁
BalasHapusMakasih.
Hapussaya setuju bahwa kita harus percaya pada kemampuan anak. Memang jgn terlalu mem-push karena nanti anak jadi stress. Kita bantu dan dorong disaat anak2 semangatnya sedang down
BalasHapusSip. Karena setiap anak itu unik, maka keberhasilan anak bukan hanya diukur dari nilai akademis saja.
HapusBelum punya anak, tips ini terapin ke mana ya -__- simpen aja dulu ya hehe
BalasHapusIya, makasih.
HapusSaya termasuk tidak setuju sistem rangking... meski kadang sayang juga anak pinter ga ketahuan rangkingnya hahaha.....Di negara maju ga ada sistem rangking-rangking entah kenapa jiwa kompepetitif ini ditanamkan dalam sistem pendidikan kita... Toh kecerdasan intelektual hanya satu dari sekia multiple intelegence kenapa akademis dikompepetitifkan sedemikian rupa...:D
BalasHapusEntah mengapa nilai akademis lebih diharga daripada yang lain ya.
Hapus