Kuliner Khas Tuban: Becek Menthok
Minggu, 26 Februari 2017
18 Komentar
Setiap
daerah pastinya memiliki kuliner yang khas, unik dan ngangeni. Perasaan ngangeni
(kangen) ini biasanya terjadi ketika sedang jauh dari kampung halaman alias
merantau. Namanya juga makanan khas pastinya tidak ada di tempat lain. Kalaupun
ada dengan sedikit atau banyak variasi.
Seperti
kerabat saya yang sudah bertahun-tahun tak pulang kampung. Kenangan bersama
kuliner lokal terlalu kuat untuk diabaikan begitu saja. Masakan
kampung begitu saja terlintas dalam pikiran. Ketika rindu menyergap. Ketika lidah ingin mencecap.
Ingin mencicip tapi jauh, masih harus memikirkan ongkos perjalanan. Ingin memasak tapi bahannya tak sepenuhnya lengkap. Maka, begitu ada rejeki dan kesempatan untuk pulang kampung, langsung saja memanfaatkan waktu untuk wisata kuliner. Blusukan ke warung-warung yang ngangeni tadi. Tentunya setelah mengunjungi kerabat.
Ingin mencicip tapi jauh, masih harus memikirkan ongkos perjalanan. Ingin memasak tapi bahannya tak sepenuhnya lengkap. Maka, begitu ada rejeki dan kesempatan untuk pulang kampung, langsung saja memanfaatkan waktu untuk wisata kuliner. Blusukan ke warung-warung yang ngangeni tadi. Tentunya setelah mengunjungi kerabat.
Becek
Menthok
Nah,
saya ingin memperkenalkan becek menthok, kuliner Tuban yang layak dicicipi. Menggunakan menthok sebagai bahan utama, sejenis unggas yang
dipelihara untuk diambil daging dan telurnya. Istilah mentog berasal dari
bahasa Jawa. Sedangkan di daerah lain disebut entog, enthok, enthog, itik
manila, bebek manila. Dalam bahasa Inggris disebut Muscovy duck atau Barbary
duck.
Whatever
namanya, yang penting begitu masuk wilayah Tuban harap menyebut menthok saja. Khawatirnya
begitu menyebut nama lainnya, penduduk lokal tidak tahu. Gagal wisata kuliner,
dong!
Sebenarnya
untuk olahan menthok ini masih banyak macamnya. Ada rica-rica menthok, sate
menthok, dsb. Saya pilih becek menthok karena masakan ini tidak asing lagi bagi
warga Tuban dan lumayan banyak dijual di warung tradisional.
Patut
diperhatikan bahwa warung tradisional ini memang asli warung yang sepanjang
tahun tak berubah. Sepanjang yang saya ketahui keadaannya ya seperti itu-itu
saja, meski pengunjungnya ramai. Mungkin inilah yang membuat suasana natural, sederhana, santai dan begitu ndeso.
Jadi
bukan restoran ataupun rumah makan di pinggir jalan besar yang mudah ditemukan.
Melainkan harus rela blusukan ke kampung-kampung. Tapi jangan khawatir kalau
bertanya dimana tempatnya, pasti banyak yang tahu. Sebut saja Warung Sor Sawo
di desa Karang. Meskipun tidak berada di kotanya tapi ramai pengunjung. Bahkan pernah
diliput stasiun teve. Tuh, kan, lokasi kadang menjadi tidak penting. Soal rasa tak bisa
bohong! Atau warung Bagong dan Jangkar dan masih ada lagi yang jauh dari
riuhnya pemberitaan media.
Sebagai
penduduk asli Tuban, saya ingin ikut mempromosikan kuliner lokal. Setidaknya dengan
membuat tulisan seperti ini, akan semakin banyak orang yang
mengenalnya. Apalagi kalau warungnya tambah ramai, dan pendapatan makin meningkat. Semoga ya!
Dalam
foto ini saya membeli becek menthok di dua lokasi. Pertama di depan lapangan
Kebonsari. Ini tempat yang paling mudah dijangkau karena terletak di kotanya. Sebagai
pedoman, lapangan Kebonsari biasa dipakai sebagai tempat parkir wisata religi
Sunan Bonang. Ramai dan sopir-sopir bus pasti mengetahuinya.
Penjualnya
adalah suami istri yang sudah bertahun-tahun memakai gerobak di depan trotoar. Jika
ingin makan disini ada tikar sebagai alas duduk. Buka pagi hingga pukul 10.00.
Karena lokasi ini sebenarnya tidak diperbolehkan untuk berjualan. Ada papan
peringatan disana. Sampai detik ini bapak penjualnya tidak pernah ada masalah
dengan satpol PP karena selalu mematuhi perintah/perjanjian di waktu tersebut.
Seporsi
becek menthok harganya Rp 8.000. Sudah termasuk nasi jagung. Potongan
menthoknya kecil-kecil dan dibungkus daun pisang. Kalau makan di tempat langsung saja diguyur dengan kuah. Tapi kalau dibungkus, kuah dibungkus secara terpisah. Seporsi becek menthok ini lumayan murah buat
sarapan.
Yang
kedua, berdasarkan rekomendasi dari teman-teman, maka saya datang ke warung di
belakang kantor BRI cabang di Jalan Majapahit, Tuban. Warungnya berada di
belakang pasar baru Tuban, menghadap ke timur. Namanya warung Lek Mah.
Disediakan bangku panjang jika makan di tempat. Pengunjungnya mayoritas adalah
kaum laki-laki. Seporsi becek menthok tanpa nasi baik nasi putih maupun nasi
jagung harganya Rp 25.000. Daging bebeknya lumayan besar dengan kuah santan
yang kental.
Hanya
saja untuk parkir kendaraan agak susah. Namanya juga pasar, pasti ramai. Sementara
tempat parkir terbatas dan kendaraan parkir sembarangan.
Becek
menthok ini adalah masakan dengan banyak rempah dan kuah santan. Tekstur menthok yang berserat besar dimasak hingga empuk. Bumbu meresap hingga daging menthok. Rasanya cenderung
pedas dan gurih. Secara umum masakan di daerah Tuban seperti itu. Pedasnya luar
biasa! Kemringet (keluar keringat) begitu selesai makan. Tapi jangan khawatir kalau ingin mencicipi kuliner lokal dan tidak
terbiasa makan pedas sebaiknya dibungkus saja. Lalu koreksi rasa dengan
menambahkan air, dan gula. Atau dimakan daging menthok dengan kuah sedikit.
Olahan becek
menthok ini biasa disajikan bersama nasi jagung. Jadi nasi jagungnya dibungkus dalam
plastik kecil-kecil. Tapi begitu dibuka langsung ambyar (mekar) menjadi banyak. Ayo yang mau mencicipi, datang ke
Tuban!
Yang
ingin mencoba memasak becek menthok di rumah bisa menyimak resep berikut ini.
Makannya sambil membayangkan suasana kampung halaman ya! Untuk cabe bisa menyesuaikan selera kita. Dalam resep ini cabenya masih belum
ada apa-apanya dengan masakan Tuban. Silakan dicoba!
Becek Menthok
Bahan :
1 ekor methok, dipotong 12 bagian
1/2 sendok makan air jeruk nipis
1 sendok teh garam
4 lembar daun jeruk , dibuang tulangnya
2 lembar daun salam
2 batang serai, diambil putihnya, dimemarkan
1 sendok makan garam
1 sendok teh merica bubuk
1/2 sendok teh gula pasir
1.500 ml santan dari 1 butir kelapa
1 sendok makan minyak untuk menumis
2 sendok makan bawang merah goreng untuk taburan
1 ekor methok, dipotong 12 bagian
1/2 sendok makan air jeruk nipis
1 sendok teh garam
4 lembar daun jeruk , dibuang tulangnya
2 lembar daun salam
2 batang serai, diambil putihnya, dimemarkan
1 sendok makan garam
1 sendok teh merica bubuk
1/2 sendok teh gula pasir
1.500 ml santan dari 1 butir kelapa
1 sendok makan minyak untuk menumis
2 sendok makan bawang merah goreng untuk taburan
Bumbu Halus:
12 siung bawang merah
5 siung bawang putih
4 butir kemiri goreng
2 cm jahe
4 buah cabai merah keriting
2 buah cabai merah rawit
2 cm kunyit
1/4 sendok teh jinten
1/2 sendok teh ketumbar
12 siung bawang merah
5 siung bawang putih
4 butir kemiri goreng
2 cm jahe
4 buah cabai merah keriting
2 buah cabai merah rawit
2 cm kunyit
1/4 sendok teh jinten
1/2 sendok teh ketumbar
Cara membuat :
- Lumuri potongan menthok dengan air jeruk nipis dan garam.
- Panaskan minyak. Tumis bumbu halus, daun jeruk, daun salam, dan serai sampai harum. Masukkan menthok. Aduk rata.
- Tambahkan garam, merica bubuk, dan gula pasir. Aduk rata. Tuang santan sedikit-sedikit. Masak sampai matang dan kental.
- Sajikan dengan taburan bawang merah goreng.
Untuk 4 porsi
Mengapa
Asus?
Kuliner lokal itu sebaiknya diabadikan dengan baik. Sayangnya untuk urusan seperti ini saya sering melewatkan. Pengennya langsung makan saja. Apalagi kalau sedang lapar berat. Ugh, urusan jeprat sana-sini jadi mengganggu.
Sejujurnya untuk memotret makanan lebih enteng kalau memakai smartphone. Lha, tinggal jepret, beres! Mau makan di warungnya, sambil nunggu, sambil ngobrol, lalu jepret, jadi deh. Tidak menyolok alias tidak menjadi perhatian orang kalau mau motret. Nah, kalau membawa kamera, aduh ribetnya, belum lagi dilihat orang-orang sekitar. Lalu sayapun mendadak grogi....
Sejujurnya untuk memotret makanan lebih enteng kalau memakai smartphone. Lha, tinggal jepret, beres! Mau makan di warungnya, sambil nunggu, sambil ngobrol, lalu jepret, jadi deh. Tidak menyolok alias tidak menjadi perhatian orang kalau mau motret. Nah, kalau membawa kamera, aduh ribetnya, belum lagi dilihat orang-orang sekitar. Lalu sayapun mendadak grogi....
Akhirnya
saya meminjam Asus Zenfone Max milik bapak. Namanya pinjam ya sebentar, termasuk belajar motretnya. Iya,
memotret menggunakan Asus Zenfone ini mudah, bahkan bagi orang yang belum
pernah menyentuhnya sekalipun. Itu sih saya! Sebagai pemula, hasilnya
lumayanlah!
PixelMaster
Camera membuat hasil jepretan amatir seperti saya makin menawan. Asus memiliki
beberapa fitur yang membantu kita untuk menangkap momen yang bagus. Untuk mudahnya
pakai mode auto. Tanpa utak-atikpun hasilnya sudah bagus. Tapi kalau memang
ingin manual layaknya kamera DLSR, pixelmaster ini mampu menjaga stabilitas
gambar. Kita bisa mengatur ISO, shutter speed (S), eksposure (EV), White Balance (WB) dan fokus
manual. Asyiknya lagi ketika menggunakan Asus ini saya bisa bereksperimen dengan
mengutak-atik mode dan langsung bisa melihat hasilnya. Saya suka dengan
focusnya meskipun dalam keadaan gambar bergerak-gerak tapi tetap bisa
menyesuaikan. Itupun tak butuh waktu lama. Sementara, saya masih geser sana-sini, mesti mencari angle yang pas dulu.
Selanjutnya, saya
mencoba memotret di tempat dengan pencahayaan yang kurang. Tinggal geser-geser ISO, EV dan WB.
Kalau angkanya dinaikkan bakal seperti apa, diturunkan lagi bagaimana. Layar langsung
menampilkan hasilnya. Lalu fokus, dan jepret. Ternyata sesimple itu, ya!
Kalau teman-teman bagaimana? Sharing yuk!
Kalau teman-teman bagaimana? Sharing yuk!
^_^
Sumber:
Wikipedia
www.sajiansedap
www.asus.com
Artikel
ini diikutsertakan dalam Blogging Competition Jepret Kuliner Nusantara dengan
Smartphone yang diselenggarakan oleh Gandjel Rel.
Ihhhh kalo pedes banget ini kuliner berarti wajib dicobaaaa :D makin pedes, makin aku suka mba :D. Catet dulu ah, kalo nanti bisa ke Tuban ;)
BalasHapusJadi mba Fanny penggemar masakan pedes. Mari mba, disini banyak!
HapusMba, aku jadi pnasaran nyobain becek menthok..Aku suka bebek mba.
BalasHapusBlm pernah ke Tuban jugaa..mau
YUk, mampir!
HapusPas ke Banyumas, aku sempat makan menthok mba. RAsanay mirip ayam tapi lebih liat ya. Wah lihat makananya jadi ngiler nih mba
BalasHapusKarena tekstur dagingnya yang berserat besar, jadi liat. Tapi kalau dimasak lama, bisa empuk kok.
HapusAih..pengen makan si becek mentok pake nasi jagung..pengen nyicip yg 8rb itu..nasi jagungnya menggoda oi
BalasHapusMurah meriah, mba. Kalau kurang bisa nambah menthok yang dibungkus kecil-kecil itu.
HapusNasi jagung itu aku pernah makan & enyaaaak... cuman si becek menthok belum pernah, kl ada rejeki ke Tuban mau nyobain aah :D
BalasHapusNasi jagungnya enak, gurih.
HapusUnik mba, belum pernah nyoba saya..:)
BalasHapusYuk, dicoba saja biar nggak penasaran.
HapusWaow enak juga nih, pengen coba kalau ke Tuban
BalasHapusSilakan! Semoga bisa mencicipi kuliner khas Tuban.
HapusBumbunya mirip2 opor ya mba, cuma beda di jahe dan ada cabenya. Waaahh.. udah mbayangin betapa gurihnya nih becek menthok :)
BalasHapusKeren Mba Rochma lah pakenya mode manual, saya suka ga sabar pake mode yg satu itu hihiii... seringnya pake auto atau DOF ajah :))
Cocok buat penggemar masakan pedas. Beneran gurih dan seger becek menthok ini.
HapusMasih perlu banyak latihan motret nih.
Aku ngileeer, hehehe
BalasHapusMain yuk, ke Tuban.
Hapus