Menunggu Tamu
Kamis, 11 Agustus 2016
4 Komentar
Lebaran
baru saja berlalu, namun kisah-kisahnya masih menjejak di hati ini. Beberapa
kisahnya memuat pelajaran berharga yang patut saya renungkan. Yeah, lebaran
selalu dinanti dan tak ingin berlalu begitu saja.
Beberapa
tahun terakhir ini, lebaran di kampung halaman tercinta tidaklah terlalu ramai.
Kebanyakan kerabat masih tinggal di sini. Terutama para sesepuhnya. Sedangkan
yang merantau tidak banyak. Seperti saudara-saudara almarhumah ibu yang sudah
berpuluh tahun lalu merantau hingga ke luar pulau. Mereka jarang mudik. Kami
bisa memaklumi. Karena untuk datang saja diperlukan biaya yang tak sedikit.
Menjelang
lebaran, bapak sudah meminta anak-anaknya untuk mempersiapkan kue-kue lebaran.
Tiga meja sudah siap dengan toples-toples cantik menyambut kedatangan tamu.
Minuman terdiri dari dua macam, air putih dan teh. Semuanya dalam bentuk
kemasan. Bagi yang suka manis bisa memilih teh, sedangkan yang tidak bisa
mengambil air putih.
Setelah
shalat Idul Fitri satu per satu kerabat berkirim pesan dan menelpon bapak.
Alhamdulillah silaturahim masih terjalin dengan baik. Biar makin lancar pakai
smartfren #4GinAja. Perkembangan teknologi sudah tidak bisa dibendung lagi. jaman
selalu berubah. Nah, dengan #SmartfrenCommunity, saya bisa bercerita banyak tentang
ini. Internet lancar, siapa sih yang tak mau! Dengan cara seperti ini kami masih bisa berkirim
kabar dan saling mendoakan keluarga di rantau.
Kami
berkumpul di rumah bapak dan seperti biasa melakukan tradisi bermaaf-maafan
yang dilanjutkan dengan makan bersama. Lebaran hari pertama tergolong ramai.
Banyak tamu dari tetangga-tetangga dan kerabat dekat.
Menginjak
hari kedua, tamu berkurang drastis. Ada yang datang, cuma satu-satu. Tidak ada
rombongan seperti kemarin. Namun bapak tetap senang menyambutnya.
Hari-hari
selanjutnya, sepi. “Lebaran sekarang sudah tidak seperti jaman dahulu,” keluh
bapak.
Saya
menyetujui pernyataan tersebut. Entah karena alasan apa, mereka yang rajin
berkumpul menjadi tidak datang lagi.
Sebagaimana
orang tua lainnya, lebaran seperti ini sangat dinanti. Karena saat seperti
inilah keluarga besar mengunjungi sesepuh mereka. Mendengar celoteh anak-anak
kecil, mulai dari cucu hingga keponakan. Tentu saja di setiap pertemuan seperti
ini aura bahagia memacar jelas.
Sementara
bagi anak-anak, lebaran selalu seru. Terutama angpao. Setiap diajak pergi,
mereka selalu semangat. Apalagi yang dicari: angpao. Uang-uang pemberian itu
nantinya dihitung dan biasanya ada kasak kusuk diantara anak-anak. Siapa yang
paling banyak mendapat angpao?
Sayangnya
bapak saya lebih suka menunggu tamu. Saya sebenarnya senang saja mengajak bapak
mengunjungi rumah-rumah kerabatnya. Lalu bercerita panjang lebar seperti lama
tak jumpa. Meskipun masih sekota dan sering bertemu. Tak apa bukan?
Saya
masih berharap ada sanak keluarga berkunjung ke rumah. Setidaknya mereka masih
mengingat keberadaan bapak. Menyambung tali silaturahim dengan cara mengunjungi
rumah mereka satu per satu memang butuh waktu yang tak sedikit. Saya rasa hal
itu bisa diatasi dengan membuat jadwal per hari sekian kunjungan. Nanti kalau
tidak selesai bisa dilanjutkan di lain waktu.
Bagi
bapak, selama lebaran, sesepuh harus berada di rumah. Karena banyak orang yang
mencarinya. Kasihan kalau rumah ditinggal pergi, tamunya pasti kecewa. Anggapan
seperti inilah yang membuat bapak masih bertahan di rumah selama lebaraan.
Sementara saya, suami, dan anak-anak setiap waktu berkeliling, mengunjungi
rumah kerabat, baik yang berada di dalam kota maupun di kota tetangga. Yang
dekat, yang didahulukan.
Adik
saya yang lebaran ini tinggal di rumah bapak juga ikut berkeliling. Kami
membuat jadwal berbeda sehingga di rumah tetap ada orang yang menemani bapak.
Kalaupun ada jadwal yang sama, saya akan tetap tinggal di rumah. Bagaimanapun
juga saya selalu ingin dekat bapak.
Setiap
bapak duduk di ruang tamu dan melihat kue-kue di dalam toples masih utuh, rona
wajah bapak berubah sedih. “Tamu sekarang tidak mau makan jajan.”
Saya
hanya bisa mengatakan, “Mungkin si tamu baru saja makan, bapak. Jadi masih
kenyang.” Atau, “Si tamu memiliki penyakit tertentu sehingga tidak bisa makan
yang manis-manis.”
Melihat
kenyataan ini, saya sebenarnya kurang setuju dengan menumpuknya kue-kue
lebaran. Tapi kalau tidak memajang deretan toplesnya kok ya rasanya aneh.
Seperti tidak menghormati tamu. Itu sih kata bapak. Ujung-ujungnya orang-orang
rumah seperti kami yang makan kue lebaran. Jangan heran jika setelah lebaran,
berat badan naik tak terkira.
Tiga
hari setelah lebaran ada acara reuni keluarga di rumah saya. Walaupun ada
keributan dalam mempersiapkan acara ini, kami cukup senang karena akan banyak
tamu yang berdatangan. Sesuai rencana kami membuat acara sederhana saya. Intinya
adalah silaturahim.
Dalam
undangan tertulis acara dimulai pukul 07.30, tapi tamu baru berdatangan
menjelang pukul 09.00. Seperti biasa, beginilah salah satu tradisi yang
dilestarikan oleh bangsa kita tercinta. Hayo, ngaku, adakah diantara kalian
yang sering menikmati jam karet?
Menjadi
salah satu sesepuh di keluarga besar adalah suatu kehormatan bagi bapak.
Menjadi orang penting, menjadi pertimbangan terharap keputusan dan menjadi
rujukan beberapa peristiwa. Satu lagi
semua orang dari anak kecil hingga yang paling sepuh pasti akan sungkem kepada
para sesepuhnya.
Maka
pada kesempatan ini, bapak senang bisa bertemu dengan keluarga besarnya. Meski
yang paling bertanggung jawab terhadap kesuksesan acara adalah saya dan suami,
tapi bapak ikut sibuk. Bapaklah yang mencarikan kyai untuk memberikan tausiah.
Bapak tampak sumringah menyambut kedatangan pak kyai. |
Saat
itu, kami sempat khawatir karena jadwal kyai itu tidak hanya disini. Ada jadwal
lain keluar kota siang ini. Tamu sudah banyak berdatangan namun kyai belum ada tanda-tanda kehadirannya. Dalam sms
yang dikirm ke ponsel bapak hanya ada satu kata “InsyaAllah”. Sebagai tuan
rumah saya makin galau saja.
Panitia
ikut galau juga. Apa jadinya acara ini tanpa kehadiran sang kyai. Hambar? Saya
meminta bapak untuk segera menghubunginya. Sekali lagi diusahakan untuk datang.
Susunan acara sudah dibuat saat Ramadhan lalu menjadi sedikit kacau. Panitia
berusaha menyesuaikan dengan keinginan para sesepuh. Menjelang acara tausiyah,
sang kyai baru datang. Saya bersyukur acara berlangsung dengan sukses. Seru banget! Hampir
semua tamu undangan datang. Kalaupun ada yang tidak datang itu karena
keluarganya tidak mudik ke Tuban. Ada lagi karena sakit.
Saya
sendiri menjadi sangat sibuk waktu itu. Saya ingin memastikan semua tamu bisa
duduk dengan nyaman dan mendapatkan konsumsi. Kecuali para bayi ya! Saya yang
mesti mondar mandir meminta tolong orang-orang disekitar saya. Anak-anak saya
minta memperhatikan para tamu. Jika kursi yang disediakan kurang, maka mereka
yang bertanggung jawab untuk menyiapkan kursi. Sayangnya mereka justru bermain
sendiri. Syukurlah anak-anak tetap bersedia membantu. Ketika waktu makan tiba,
anak-anak bersemangat untuk mengantarkan piring dan minuman kepada para tamu.
Untuk
acara reuni, panitia meminta kami agar menyediakan makanan sederhana saja. Tujuannya
agar tidak menimbulkan perasaan macam-macam di antara tamu. Sehingga jika tahun
depan, giliran keluarga lain, bisa dipastikan menggunakan satu menu sederhana.
Saya
sempat berbicara dengan beberapa tamu yang dulunya sering berkunjung ke rumah,
“Kenapa tidak main ke rumah bapak. Sudah ditunggu loh!”
Jawabannya
seperti yang bisa saya tebak, “Maaf, Nur, aku sibuk ada undangan.....”
Bertemu
dengan tamu yang lain juga mendapat jawaban yang sama. Aduh jangan-jangan semua orang mengandalkan satu pertemuan ini, reuni keluarga? Sehingga
tidak perlu mengunjungi rumah-rumah keluarga besarnya, seperti jaman dahulu
kala!
Ah,
sudahlah, berprasangka hanya akan membuat kepala ini menjadi semakin berat dan
pusing. Semua orang memiliki urusannya sendiri. Saya akan fokus dengan satu per
satu urusan saya.
Tentang
tamu-tamu itu, saya yakin bapak berusaha memakluminya. Lebaran itu sejatinya adalah memaknai peristiwa ini secara bersama. Karena kebahagiaan akan terasa lebih indah jika dinikmati bersama. Saya selalu ingin bapak bahagia menjalani lebaran, meski tanpa ibu.
lebaran tetep ada kue di meja mbak buat pajangan
BalasHapustapi yang makan ya tuan rumahnya sendiri
soalnya tamu datang cuman salaman terus pulang
Iya, mba. Jadi sedih juga, sudah nyiapin banyak kue sampai melempem.
HapusSamaaaa. Di keluargaku juga. Padahal Ibuku itu saudara tua. :(
BalasHapusSemoga kita dijauhkan dari prasangka.
Samaaaa. Di keluargaku juga. Padahal Ibuku itu saudara tua. :(
BalasHapusSemoga kita dijauhkan dari prasangka.