Ikhlas
Kamis, 20 Oktober 2016
18 Komentar
Bagaimana
hati seorang ibu yang menyaksikan anak yang baru saja dilahirkannya sedang
sakit? Bukankan dia sangat ingin bertemu, menyentuhnya, menyusuinya dan
mengecup keningnya. Sembilan bulan lamanya berada dalam kandungan dan ternyata
tak sedetikpun ada kesempatan untuk mendekapnya.
“Maaf,
bayinya harus dirawat di ruang bayi ya,” kata suster yang seketika membuyarkan
harapan saya.
Saya
masih lemah, ingin bertanya tapi sudahlah. Ada suami dan ibu disana. Saya yakin
mereka akan mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan si bayi.
![]() |
pexel.com |
Setiap
ibu yang baru melahirkan pasti ingin segera berada di dekat bayinya. Demikian
juga dengan saya. Namun keinginan itu pupus. Bayi saya sedang menderita
infeksi. Entahlah, infeksi jenis apa, bagaimana, saya kurang paham. Sewaktu
lahir tidak bisa langsung menangis. Jadi perlu dirangsang beberapa kali baru
keluar suaranya. Itupun sangat pelan. Suami hanya meminta saya untuk tenang dan
berdoa untuk kebaikan si bayi.
Betapa
kerinduan kepada si bayi mengalahkan segala rasa sakit setelah melahirkan. Saya
meminta ijin kepada suster untuk menjenguk bayi saya. Hanya beberapa menit,
seorang suster menghadirkan bayi saya. Saya menyentuhnya, membelainya, dan
masih menahan segenap rindu.
Dua
malam berada di rumah sakit, kondisi saya berangsur membaik. Saya diperbolehkan
pulang. Namun tanpa membawa si bayi. Rasanya aneh. Separuh hati ini seolah
melayang entah kemana.
Tiba
di rumah, pihak rumah sakit menelpon suami. Saya mencoba menangkap pembicaraan
mereka. “Adik kena kuning. Jadi mesti dirawat dulu. Mungkin agak lama,” kata suami
yang berusaha menenangkan saya.
Selanjutnya
suami bersedia mengantarkan ASI kepada si bayi. Dalam satu hari bisa beberapa
kali mengunjungi rumah sakit. Saya ikut cuma sehari sekali saja. Setiap melihat
bayi di ruangan itu, saya selalu menangis. Perasaan ini seolah sulit
dikendalikan. Air mata mengalir begitu saja. Terus dan terus sehingga suami
merasa kasihan melihat keadaan saya.
Ada
tetangga yang menjenguk saya. Membawakan kado buat si bayi, namun bayinya tidak
ada di rumah. Saat seperti itu saya semakin sedih. Mengenangnya saja berada
disana. Sementara saya hanya bisa bercerita sedikit tentang si bayi.
Meski
emosi saya tidak stabil, saya tetap ingin ikut menjenguk si bayi. Sebagai
seorang ibu, saya ingin ada kesempatan untuk sentuhan fisik. Tetap saja
susternya melarang. Keluarga bayi hanya diperbolehkan melihat bayi dari balik
jendela kaca. Itupun pada hanya jam tertentu.
Saya
jengkel sekali dengan pihak rumah sakit yang kurang bisa diajak bekerja sama.
Saya memaksa bertemu dengan bayi tapi dilarang. Saya tetap masuk ke ruangan
suster dan menanyakan kabar si bayi. Namun jawaban suster tidak pernah
memuaskan.
Sampai
akhirnya saya dan suami memutuskan untuk menunggu dokter anak yang menangani
bayi saya. Setiap dokter selesai memeriksa bayi-bayi, saya dan suami
mengikutinya. Menanyakan perkembangan kesehatan si bayi. Kadang kami kecewa.
Dokter hanya mengucapkan beberapa patah kata lalu pergi.
Kami
tak lelah untuk bertanya. Bagaimana mungkin kami, yang orang tuanya akan begitu
saja meninggalkan rumah sakit tanpa tahu kabar si bayi. Meski perkembangannya lambat
bahkan membuat saya kerap deg-degan, kami selalu berharap ada keajaiban.
Ketika
saya mendapati beberapa bayi sudah pulang, hati ini semakin resah. Bayi-bayi
yang lahirnya hampir bersamaan dengan bayi saya sudah sembuh. Berganti dengan
bayi-bayi lain yang menempati box kecil-kecil. Kapan giliran bayi saya? Rasanya
bayi saya sudah lama berada di ruangan ini.
Pada
hari kedelapan saya melihat ada seorang wanita yang juga berdiri di depan
jendela kaca. Dia merupakan keluarga si bayi yang berasal dari luar kota. Ibu
si bayi itu sudah lama pulang. Tinggallah si bayi bersama bayi-bayi lainnya di
ruang bayi.
Dalam
keadaan seperti itu saya melihat keluarga mereka yang pasrah. Dalam arti
keadaan seperti ini tidak pernah ada dalam benak seorang ibu manapun. Tapi apa
mau dikata jika memang Allah memberikan ujian seperti ini.
Karena
rumahnya jauh, maka si ibu bayi tidak pernah sekalipun menjenguk. Keluarganya
secara bergantian datang ke rumah sakit, membawakan keperluan si bayi. Tentu dengan
tetap berdoa akan kesembuhan si bayi.
Sementara
saya....setiap hari saya bisa menjenguk bayi. Berusaha datang sebelum gorden
ruang bayi terbuka untuk pengunjung. Lalu pulang setelah gorden ditutup.
Bertanya kabar si bayi kepada suster dan dokter anak. Tetap merasa tak pernah
cukup. Tetap tak puas.
Rumah
saya dekat. Mudah saja bagi kami untuk datang. Saya masih memiliki banyak
kesempatan untuk sekedar menatap wajah pulas si bayi. Sedangkan dia, ibu yang
rumahnya jauh itu. Mungkin hanya menyimpan sekelebat wajah bayinya sebelum
pulang.
Entah
sudah berapa tissue yang saya habiskan untuk menyeka air mata. Semuanya tak
cukup untuk menghapus segala rasa perih yang mendekam di dada. Melihat bayi
saya yang ditemani dua selang, infus dan oksigen. Sementara kedua matanya
ditutup karena dia harus disinar.
“Lha,
gimana lagi, ibunya ya di rumah,” begitu kata si ibu yang masih berdiri di
depan jendela kaca.
Lalu
saya melihat diri saya yang layu. Saya...iya saya...sudah berapa kali
menjenguknya? Tapi ibu si bayi...tak pernah hadir tapi yakin dengan kesembuhan
anaknya.
“Biarlah
bayinya disini. Biar dirawat,” katanya kemudian.
Benar
juga. Mestinya saya ikhlas menempatkan si bayi di sini. Bukankan ada suster
yang merawatnya. Saya masih bisa bertanya kabar dan sebagainya.
Saya
menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati yang lebih lapang, saya dan suami
pulang. Segala macam kekurangan di rumah sakit itu tak mungkin kami cela. Kami masih
membutuhkannya.
Alhamdulillah,
esoknya (hari kesembilan) bayi saya boleh pulang. Pada siang hari setelah
diperiksa dokter dan kondisinya dinyatakan stabil, saya membawa anak saya
pulang. Dalam gendongan, saya menatap si bayi mungil, menyentuhnya dan mendekap sepenuh kasih.
Tak
mungkin saya melupakan pengalaman enam tahun lalu. Ini adalah kisah ketika saya
melahirkan anak ketiga. Antara harapan, suka dan duka, berputar bagai roda. Karena
hidup menuntut kita untuk terus bergerak. Kemana kita akan melangkah, atau
sebaliknya mundur dan diam di tempat semula. Tidak! Setiap langkah yang kita
ambil, ada pelajaran berharga di dalamnya.
“Anak
adalah amanah. Bagaimanapun jika saya menginginkan, memperjuangkan, dan
mencintainya tapi kalau Allah menghendaki seperti ini, saya akan belajar
ikhlas.”
^_^
Note:
Barokallah
mba Ira dan blognya. Met milad. Senang sekali bisa berkenalan dengan mba Ira, meski
masih sebatas dunia maya. Memang jalinan pertemanan tidak perlu membuat jarak. Hanya
dengan modal kuota internet saya bisa blogwalking kesini. Semoga tulisan-tulisan mba Ira
selalu menginspirasi dan menebar manfaat. Happy blogging!
Tulisan ini diikutkan dalam Irawati Hamid First Giveaway “Momen yang Paling Berkesan & Tak Terlupakan”
Ih... Aku kok nangis baca ini. Teringat kisahku sendiri. :((
BalasHapusJangan dong, mba. Ntar aku ikut sedih...
HapusSedih bacanya apalagi mba yang mengalaminya tentu menguras emosi :) salut dengan ketabahan dan kekuatan mba bersama suami menhadapi ujian tersebut. Semoga mba dan keluarga sehat selalu.
BalasHapusgudluck GA-nya mba
Aamiin, makasih mba Herva.
HapusAlhamdulillah ya mba, semuanya bisa dilalui. namun tetap pengalaman hidup tak bisa hilang dalam ingatan ya mba...
BalasHapusMasa-masa sulit itu membuat kita kuat.
HapusMbaaakkkk, :(
BalasHapustp alhmdulillah ya mbk, akhirnya smua terlewati, salut dg ketabahanmu mbk
Makasih mba.
HapusIkut merasakan perjuangan mb nur rochma waktu itu, ga kebanyang gimana teraduk aduknya perasaan paska lahiran, dan baby masih hrus stay di incubator
BalasHapusSepupu aku juga ngalamin mb, tapi karena lahir prematur akibat pelengketan plasenta. Sempet cemas juga, tapi alhamdulilah setelahnya bisa sehat setelah beberapa bulan perawatan
Iya memang cemas, kacau banget deh waktu itu. Dan alhamdulillah semua ini berkat pertolonganNya.
HapusTerkadang ada sesuatu yang membuat kita menangisi diri sendiri padahal di luaran sana banyak juga yang sebetulnya lebih tegar daripada kita. Terima kasih sudah berbagi kisah ini.
BalasHapusSetuju mba Rani.
Hapussaat anak sakit, apalgi hrs diinfus, itu memang berasaaaa banget saitnya ya mba.. kyk kitanya jg ditusuk jarum :(..
BalasHapusalhamdulillah si kecil bisa melewati masa2 sakitnya yaaa.. :).. good luck utk GA nya mba
Anaknya yang sakit eh ibunya juga berasa sakitnya.
HapusMakasih mba.
Mba, anakku yg kedua juga kuning, jadi setelah kita pulang terus beberapa hari check up lagi, dan dinyatakan harus disinar di RS. Pas nganterin ke ruangan utk perawatan, dilepas bajunya, dipakein tutup mata...ngga kuat
BalasHapusAnak sakit, ibu lebih terasa sakit ya mba. Tapi jadi saling menguatkan
Bener deh, anak sakit, kita ikut merasakan.
Hapusalhamdulillah penantian Mba Rohma berakhir bahagia yah Mba :)
BalasHapusterimakasih sudah berpatisipasi di GA saya :*
Sama-sama mba.
Hapus