Pindah
Senin, 14 November 2016
8 Komentar
Alfi
berlari menghindari kak Amel. Keringat bercucuran. Nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang mungil
bersembunyi di balik dinding warung bu Dar. Sesekali matanya yang indah
melongok ke arah depan. Sambil berharap semoga kak Amel tak mengetahuinya.
“Alfi...Alfi!”
sayup-sayup, Alfi mendengar seseorang memanggilnya. Bunda. Mengapa bunda?
Bukankah jam segini belum waktunya bunda pulang.
Sekali
lagi Alfi melongok ke depan.
“Oh,
tidak! Ada bunda yang sedang bercakap-cakap dengan bu Dar. Pasti
menanyakannya.”
Setelah keadaan aman, Alfi berjalan pulang. Ah, tidak! Pasti bunda marah. Tidak
jadi pulang saja. Alfi bimbang. Lalu, ke rumah siapa kalau tidak pulang.
“Alfi!”
Refleks,
Alfi menoleh, “Oh, tidak!”
Alfi
masih berdiri ketika bunda mendekat. “Ayo,
pulang, Nak!" pinta bunda.
“Ehm...Alfi
mau main sebentar. Iya, sebentar saja, bunda! Sebelum maghrib,
Alfi pasti sudah pulang."
Bunda
menggeleng. Alfi mengeluh. Tapi akhirnya dia ikut pulang bersama bunda. Ya, dia harus pulang. Apapun yang akan terjadi. Di rumahlah dia sanggup menyandarkan segala rasa.
"Kak
Amel sudah lama menunggumu Alfi. Kenapa kamu pergi? Kak Amel sendirian di
rumah. Dan kamu tahu, kak Amel sedih sekali di rumah sendirian."
“Ehm...iya, bunda maaf.”
Tiba di rumah,
kak Amel langsung menarik lengannya. Dengan langkah yang serba cepat, mengajak ke
ruang tengah. Kaki Alfi yang belum siap untuk berjalan cepat, tersandung kaki
kursi. Alfi menjerit. Tapi kak Amel tak mau tahu. Ia tetap berjalan sambil
menarik lengan Alfi.
Alfi
terjatuh. Jari kakinya masih sakit ditambah dengan lututnya yang menabrak
lemari buku. Untungnya, Alfi bisa melepaskan pegangan tangan kak Amel.
Kak
Amel berdiri mematung. Entah apa yang ada di dalam hatinya saat ini. Tidakkah
dia tahu, perbuatannya benar-benar mencelakai Alfi. Tidak menolong. Tidak minta
maaf. Tidak merasa bersalah. Tidak mau tahu. Tidak! Alfi
benar-benar jengkel dibuatnya. Andai boleh memilih mungkin akan ikut saudara bunda saja.
Suara
kak Amel terdengar seperti anak yang baru belajar bicara. Memang sudah bisa
mengucapkan beberapa kata, seperti bunda, ayah, Alfi yang terdengar seperti
Aiii. Juga kata benda dan kata kerja sederhana. Itupun sulitnya bukan main.
Mulutnya sudah menganga namun suara yang keluar hanya kecil dan sedikit. Lama
pula.
Sepertinya
terapi untuk kak Amel tidak banyak membawa perubahan. Sejak ayah meninggal, bunda menghentikan semua
terapi. Namun kesibukan di toko akhir-akhir ini
seolah merenggut semua waktu bunda. Iya,
bunda tidak memiliki waktu buat sekedar bermain dengan kak Amel. Akibatnya
sungguh membuat Alfi semakin menderita. Yup, Alfi yang harus menemani kak Amel
dengan segala resikonya.
Kak
Amel masih berdiri canggung melihatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Menunggunya
dalam diam. Setelah Alfi tidak menjerit lagi, dia mengulurkan tangan kanannya.
Dia mengajak Alfi untuk melihat sesuatu. Alfi tahu kebiasaan kak Amel. Kalau
ada sesuatu yang baru pasti memanggil Alfi. Dia ingin segera menunjukkan kepada
adiknya. Entah itu penting atau tidak. Baginya Alfi harus tahu.
Sayangnya
kali ini Alfi tidak bisa menolak. Menghindarpun tidak. Kaki kanannya masih
menyisakan nyeri. Ditahannya sebentar. Setelah ini dia akan tidur saja. Sambil
menanti keadaan kakinya membaik.
Kak
Amel bercerita dengan kedua tangannya. Alfi tak peduli. Apa yang dilakukan kak
Amel sungguh keterlaluan. Tidak ada kewajiban baginya untuk menjadi pendengar
ataupun penonton setianya.
‘Uh..uh...tak..tak.” kak Amel menunjuk bungkusan di atas meja makan.
Sejak
tadi, sudah hilang nafsu makan Alfi. Dia bebalik arah. Tapi kak Amel
mencegahnya. “Apa sih maumu! Aku nggak mau!”
“Sa...kit!”
teriak Alfi sambil menunjuk ke kaki kanannya.
Kak
Amel melihatnya sebentar. Dia tetap memaksa Alfi untuk melihat bungkusan dalam
kotak putih.
Alfi
mendesah. Jengkel! “Kak...aku sudah tahu!”
Tapi
kak Amel menggeleng. Kedua tangannya cekatan membuka kotak putih yang ditaruh
diatas meja makan. Nasi kuning dengan lauk lengkap. Ada ayam goreng, mie,
sambal goreng kentang dan perkedel. Ditambah krupuk udang yang dibungkus
plastik bening. Kak Amel mengambil dua sendok dan dua piring. Dia membagi
makanan ini dan mengajak Alfi makan bersama. Taburan bawang goreng diatas nasi
kuning lenyap tertimbun nasi. Lalu kak Amel mengambil ayam dan menariknya dengan
kuat. Satu potong untuk Alfi
Nasi
kuning itu telah berpindah ke dua piring melamin bergambar bunga. Dia juga
menyiapkan minum untuk Alfi. Lalu Alfi disuruh duduk dan makan bersama. Alfi
yang memimpin doa.
***
“Jadi..kita
harus pindah, bunda? Kapan?” wajah Alfi tak bersemangat. Pindah rumah berarti berpisah dengan keadaan disini. "Alfi
senang tinggal disini. Teman Alfi banyak. Semuanya baik-baik. Mengapa, bunda?"
Bunda
mendesah. Anak-anak tak perlu ikut sedih. Dilipatnya semua resah, sendiri.
Asal mereka bahagia.
Bunda tersenyum tipis. Sejujurnya
bunda juga senang tinggal disini. Sudah bertahun-tahun. Punya tetangga yang
baik. Punya teman yang baik pula. Namun, pulang ke ke rumah kakek dan nenek
adalah keputusan yang terbaik saat ini.
Disini
kalian sering ditinggal bunda. Iya kan bunda mesti bekerja. Sudah waktunya
bunda mencari penghasilan sendiri. Kalau tidak bagaimana dengan sekolah kalian?
"Oke,
mungkin kalian tidak suka. Tapi kenyataannya harus seperti ini. Bunda akan lebih
tenang lagi jika kalian bersama dengan nenek selama bunda bekerja."
“Percayalah
semuanya akan baik-baik saja.” tangan bunda mengelus rambut Alfi. Kak Amel masih
sibuk dengan buku gambar dan crayon! Katanya sih ada tugas dari gurunya.
Ehm...bisa saja dia berbohong biar diperbolehkan bermain crayon.
Alfi tahu, hanya kepadanyalah bunda bercerita banyak. Kak Amel tak mampu mencerna pembicaraan seperti ini. Dunianya adalah masa kanak-kanak yang ceria, gembira, dan tanpa gangguan.
“Terserah
bunda. Ehm..aku sekolah dimana? Aku tidak punya teman disana.”
“Pasti
punya teman. Iya, teman baru. Teman sekolah dan teman bermain. Teman kamu
menjadi bertambah banyak. Bayangkan saja kalau disini punya berapa teman? Kalau
ditambah teman anak-anak kecil di sekitar rumah kakek pasti bertambah banyak."
"Seminggu
ini kita akan mencicil mengepak semua barang. Buku harus dikumpulkan dengan buku,
begitu juga dengan baju, peralatan dapur, dsb. Kamu bisa kan membantu bunda.
Tidak perlu banyak-banyak. Tapi tiap hari, nanti juga beres."
Karena
sekarang kondisi Alfi tidak memungkinkan, maka dia meminta mulai besok saja
membereskan semua barang. Sehingga tidak berat di hari H saat pindah rumah.
Alfi
merasa pindah rumah itu repot sekali. Bayangkan saja, sepuluh kardus super
gedhe tidak cukup memuat barang-barang bunda. Padahal untuk perabotannya sudah
dijual dengan harga murah. Sedangkan perabot yang kelihatan sudah jelek
meskipun masih bisa digunakan, ditawarkan kepada para tetangga dan teman bunda.
Setiap hari ada saja orang yang ingin melihat perabotan rumah. Mulai dari satu
set kursi meja, tempat tidur, meja makan, dsb.
“Bunda
kulkasnya jangan dijual!” rengek Alfi ketika ada orang yang menanyakan kulkas
mereka.
Tidak
Alfi. Kulkasnya bisa dipakai di rumah nenek. Wajah Alfi kembali cerah.
Rumah
semakin lega. Perabot rumah yang menyita tempat sudah berpindah tempat. Kardus-kardus besar sudah siap diangkut. Bunda juga sudah
mengurus surat pindah. Dan pamit kepada semua guru di sekolah.
Sayang
juga, karena baru masuk SD dan baru saja membayar uang sekolah. Tapi mau
bagaimana lagi. Bunda ingin pindah. Alfi hanya bisa mematuhi perintah bunda.
Sejak
bunda dan Alfi sibuk membereskan semua barang mereka, kak Amel malah memperparah
keadaan. Ada barang yang sudah dimasukkan tiba-tiba sudah keluar lagi. Setiap hari pasti seperti ini. Akhirnya bunda menaruh ke kamar belakang dan menguncinya.
Ketika
ada orang yang menawar perabot bunda, tiba-tiba kak Amel menangis kencang
sekali. Perabot yang hendak dijual itu dipegangi erat. Beberapa kali transaksi
gagal.
Bunda tak patah semangat. Bunda suka sekali membisikkan kata-kta yang
menyenangkan sehingga kak Amel bersedia melepaskan perabot yang dipeganginya.
Masih
ada satu lagi perabot yang hendak dijual. Sudah ada calon pembeli. Bunda
berharap orangnya segera datang. Segera beres. Tinggal memikirkan perjalanan
pulang.
“Maaf,
bu. Saya belum bisa datang. Saya masih sibuk. Kemarin saya habis keluar kota.
Tahu sendiri kan jeng, badan ini masih capek luar biasa. Remuk redam, deh. Dan
hari ini saya cuma pengen tiduran saja,” pesan Whatapps itu segera membuyarkan
harapan bunda.
“Besok
saja, gimana? Semoga saja, besok tubuh saja sudah bisa diajak jalan-jalan ke
rumah Jeng Ain,” lanjutnya.
“Oh,
ya, saya bawakan oleh-olehnya, Jeng. Aduh maaf ya, kalau selama ini saya suka
lupa sama Jeng Ain. Maklum usia tidak bisa berbohong!”
Iya,
usia selalu jujur, tapi mulut yang memilih berdusta. Ah, teman bunda ini suka membuat
basa-basi yang membosankan. Kalaupun tidak mau
membeli apa susahnya bilang tidak. Lalu bunda mencari calon pembeli lainnya.
Jari-jemari
bunda segera membalas, “Nggak apa, bu. Besok saya sudah pulang ke Surabaya.
Maaf.”
Sekarang
waktunya sudah mepet. Mau menawarkan kepada siapa lagi. Sudahlah, nanti dipikir
lagi. Kalaupun tetap tidak ada jalan keluarnya, mungkin sebaiknya diberikan
kepada orang lain saja.
Semua
barang yang dijual masih dalam kondisi yang baik. Sementara harga yang
ditawarkan bukan hanya murah, tapi murah sekali. Bunda tidak berniat untuk
memperdagangkan semua perabot ini. Namun tidak mungkin mengakut sebanyak ini ke
rumah orang tuanya.
Adapun
barang-barang yang kondisinya tidak begitu baik sudah disumbangkan kepada
orang-orang yang membutuhkan. Termasuk PAUD terdekat yang beruntung sekali
mendapatkan mainan berupa ayunan.
Rumah
berukuran 6m x 9m ini tampak lega. Kak Amel bebas berlarian. Sambil mengambil pensil warna membuat gambar yang menurutnya sangat bagus.
Ini adalah hari terakhir mereka disini. Kardus-kardus dipindah ke ruang tamu. Kak
Amel masih memandanginya. Tanpa sepengetahuan
bunda, tangannya merobek kardus itu lalu mencari mainan miliknya. Tak ada. Lalu
membongkar kardus lainnya. Terpaksa Alfi yang merapikan lagi. Menghalau kak Amel agar tidak mendekati kardus-kardus itu.
Truk
yang akan mengangkut barang-barang mereka sudah tiba. Kak Amel berlari
mendengar deru truk yang berhenti tepat di depan rumah mereka. Dengan bahasa
tubuhnya dia meloncat-loncat. Mulutnya bersuara, namun tak ada kata-kata yang
keluar selain uh..uh..uh.
Suara
truk itu ternyata membuat sedikit keributan di sekitar rumah. Tetangga-tetangga
sibuk mengucapkan selamat jalan dan doa terbaik mereka. Ini
bukan basa-basi, namun ucapan-ucapan yang mengalir adalah bentuk rasa simpati
para tetangga. Juga ada permintaan maaf. Bunda tidak membuat acara apapun untuk
pindah rumah. Hanya permintaan maaf saja. Bersama kedua anaknya, bunda sudah
keliling tetangga terdekat.
Perjalanan dimulai. Kak Amel mulai berseru-seru sejak tiba di stasiun Gambir. Barang yang dibawanya tidak banyak. Bunda melarang membawa semua bonekanya. Hanya ada satu. Boneka barbie yang bajunya sudah sobek.
Begitu
duduk di kangku kereta kelas bisnis, kak Amel segera membuka tasnya. Ada lima
buku gambar ditambah satu buku mewarnai dan peralatan menggambar. Lengkap.
Kak
Amel gembira sekali membuka buku gambarnya. Satu garis telah dibuat bersama dua
lingkarang. Ada pula bentuk lingkaran tak beraturan. Entah apa maunya. Bunda membiarkan.
Yang penting dia diam.
“Hua..Aii...bu....ku...ku...”
“Ada
apa sayang?” Bunda menatap wajah sendu kak Amel.
“U..bu...ku...”
kak Amel menunjuk bukunya. Ya, bukunya. Bunda menebak. Pasti ada yang hilang
dengan buku Amel. Lalu
tangan kanannya menunjuk ke bawah bangku kereta.
Bunda
melepaskan Alfi yang sedang duduk dipangkuannya. Matanya mengitari bawah
bangku. Di lorong-lorong keretapun tak ada tanda-tanda ada buku yang
tergeletak. “Tidak ada.” diantara sesaknya penumpang, bunda berjongkok. Menoleh
ke kanan kiri. Ke lorong lagi. Diantara tas-tas yang tergeletak dengan damai
disamping kaki-kaki penumpang.
Masih
tak ada buku yang dimaksud. Bunda menabrak kaki penumpang dan segera saja
bunda duduk kembali ke bangku.
Mungkin
bukan buku. Tapi kalau pensil atau crayon yang terjatuh pasti susah mencari.
Kereta penuh penumpang dengan barang bawaannya. Bagaimana mungkin mencarikan
benda sekecil itu.
Kak
Amel menjerit. Alfi sudah bangun sejak tidak berada di pangkuan bunda. Wajahnya
cemberut. Kedua tangannya mengucek mata sambil menguap. Tidur yang terpotong. Badan yang capek. Berisik oleh teriakan kak
Amel. Dia tak mungkin ikut menangis.
Penumpang-penumpang
didepannya ikut terkejut. Mata yang tertidur tiba-tiba mengerjap. Melihat apa
yang sedang terjadi. Tapi kemudian mereka tidur lagi. Bunda lega.
Lagi-lagi
kak Amel histeris. Dia bangkit dan menggedor kaca. Alfi seketika menjerit
ketakutan, “Bunda!”
Wajah
bunda tegang. Tidak pernah seumur hidupnya membawa anak-anak bepergian jauh
tanpa suaminya. Tidak untuk keperluan apapun. Acara jalan-jalan selalu bersama
suaminya. Kalau satu capek ada pasangannya yang ikut menjaga anak-anak. Kalau
sekarang? Siapa yang peduli.
Seseorang
yang merasa terganggu langsung saja berteriak nyaring. Memaki kak Amel dan
bunda. Mata-mata yang sudah mengantuk berat, yang sudah tertidur pulas akhirnya
menyala lagi. Seperti sorot lampu, semua mengarah pada mereka. Menghujam tajam
menyisakan tanda tanya. Mengapa?
“Ehm...maaf..maaf,”
kata bunda terbata-bata.
“Amel, duduk, sayang,” Alfi berpindah tempat. Lebih baik
tidak berdekatan dengan kak Amel. Berisik. Tangan bunda meraih tubuh kak Amel.
Dia meronta. Dia ingin bukunya kembali.
“Nanti
kita beli lagi. Kalau keretanya sudah berhenti di Surabaya. Kak Amel boleh beli
banyak. Boleh kok.”
Tangan
bunda mengelus lembut rambut kak Amel yang berantakan. Sekarang gantian, kak Amel
yang tidur di pangkuan bunda.
Dalam
keadaan masih mengantuk, Alfi merasa ada sesuatu di pantatnya. Tangannya meraih
benda itu. “Ini bukunya kak Amel.” Drama berakhir, dan semoga tidak ada lagi.
Serpihan
kenangan yang indah disimpan erat bunda. Yang lainnya, lupakan saja. Semoga tak
ada yang tersakiti semenjak kepergian bunda ke kampung halaman.
Setelah
urusan pendaftaran Alfi beres. Segera saja esoknya berangkat sekolah. Kalau
bukan dengan bantuan om Han dan tante Lin, pasti bunda repot banget. Tak salah
jika mereka berhasil mencarikan sekolah disini.
Rasa
capek yang mendera dibiarkan. Lebih baik berada di sekolah, dengan teman-teman
barunya daripada di rumah menemani kak Amel. Alfi mantap melangkahkan kaki di sekolah barunya.
Pada
hari pertama, Alfi disambut teman-temannya di kelas 1C. Wali kelasnya
memperkenalkan Alfi. Teman-teman barunya segera mendekatinya dan bertanya macam-macam.
Sampai-sampai Alfi tidak bisa konsentrasi dengan pelajaran.
Untungnya
wali kelas yang juga guru tematik, memberikan waktu untuk perkenalan lebih
lama. Kira-kira hampir 20 menit. Suasana kelas yang ramai menjadi hening setelah
pelajaran dilanjutkan lagi. Tapi cuma sebentar, setelah itu ada saja anak-anak
yang berteriak maupun mengusili temannya.
Kesan
pertama sangat menyenangkan mungkin berlaku buat Alfi di sekolahnya. Namun
sebaliknya, kak Amel meski sudah didaftarkan di sekolah Salsabila untuk
anak-anak berkebutuhan khusus, ternyata tidak mau berangkat. Kak Amel tidak
suka dengan lingkungan baru, teman baru, guru baru. Semua yang baru membuatnya
ragu.
Seminggu
ini kak Amel masih tidak mau bersekolah. Bunda membiarkan saja. Bunda langsung
sibuk dengan bisnis yang selama ini ditekuninya. Bisnis baju couple dan baju
keluarga. Bunda mendapatkan sebuah kios di pusat grosir. Kata bunda, harus
bekerja keras untuk membayar uang sewa.
Alfi
mengangguk. Oh, dia tahu namanya karena membaca nama dada di seragam sekolah
ini. Akhirnya Alfi tersenyum. Alfi
berbaur dengan teman-temannya. Mereka cepat akrab dengan Alfi bahkan sejak hari
pertama masuk sekolah. Permainan kali ini sungguh menyenangkan. Halaman sekolah
yang luas dan nyaman sekali untuk berkejaran.
***
“Ayo,
Alfi kita berangkat ke sekolah.” Motor bunda sudah berada di luar pagar. Namun
Alfi masih sibuk menyiapkan bekalnya. Ada roti dan sosis goreng kesukannya.
Sebenarnya tinggal memasukkan saja ke dalam kotak bekal. Tapi Alfi ingin
memberikan sedikit hiasan diatas roti. Hiasan khas anak-anak.
Setelah
membuat gambar mulut dan tidak berhasil. Maka saus cokelat itupun dijilat. Alfi
memperbaiki gambar dengan menambahkan mata dan hidung layaknya sebuah boneka.
“Oh,
lupa! Harusnya rotinya dipotong berbentuk bulat.” Alfi menghambur keluar.
“Bunda, mana..”
“Ayo
berangkat, Alfi!”
“Tapi
bunda, rotinya belum berbentuk boneka.”
Bunda
menghela nafas panjang. Sederet to do list sudah mengantre dengan damai.
Banyangkan, akan ada dua acara hingga siang nanti. Lalu, belum belanja...belum
menyiapkan dagangan karena kemarin ada konsumen yang datang ke rumah. Dan tentu
saja, belum mandi. Aduh, rasanya bunda ingin berlari-lari saja. Tapi Alfi kok
ya tega mengacaukan.
“Tidak usah dibentuk bulat. Besok bikin lagi.
bunda lupa dimana menaruh cetakan roti tawar bentuk lingkaran. Atau diiris saja
dengan pisau. Lebih gampang. Gimana?”
“Ehm...nggak
usah, bunda. Kita berangkat saja.”
Baru
saja Alfi naik ke atas sepeda motor ketika ustadzah yang pernah menyapanya di
sekolah lewat. “Assalamualaikum Alfi. Kita tetanggaan. Besok berangkatnya
bareng ustadzah saja ya.”
Bunda
menolak. Takut merepotkan. Tapi ustadzah meyakinkan bahwa dia tidak akan merasa
repot. Sebaliknya pasti senang bisa mengajak Alfi berangkat bersama.
Mata
Alfi berusaha mengeja nama ustadzah di kerudungnya. Sayangnya, tertutup lipatan
kerudung. Nanti di sekolah Alfi akan mencari tahu namanya.
Dengan
bantuan teman-temannya, Alfi langsung tahu nama ustadzah tetangga itu. Namanya
ustadzah Fida, mengajar bahasa Inggris dan bahasa Arab kakaknya Dio. Tapi pulangnya
sore. Jadi ustadzah Fida cuma menawarkan tumpangan untuk berangkat ke sekolah
saja. Pulangnya tetap sama bunda.
“Alfi boleh kok main ke rumah ustadzah. Alfi tahu kan rumah ustadzah?”
Alfi
mengangguk.
Kak amel tidak suka teman baru. Tidak suka. Apalagi yang tidak mau bermain dengannya. Tidak ramah. Tidak mau berbagi kue. Tidak mau melakukan perintahnya.
Tidak!
Kalau kak Amel ngamuk pasti menakutkan buat anak-anak kecil. Ingat,
teman-temannya sering menolak bermain ke rumahnya. Mereka semua tidak mau
menjadi korban sia-sia.
Ulangan
harian kemarin nilainya paling jelek diantara mata pelajaran lainnya. Kata mama
tidak apa. masih ada waktu buat belajar. Alfi ingin seperti dulu. Ada mama yang
selalu siap menemani belajar. Siap membantu mengerjakan tugas.
Meskipun
sudah berada di semester dua, tapi Alfi masih susah belajar bahasa Inggris. Mau
ikut les seperti teman-temannya, oh tidak! Kasihan bunda yang harus bekerja
mencari uang les.
Sore
itu, langit memang agak mendung. Tak apa, niat Alfi sudah bulat. Daripada di
rumah tidak ada yang bisa membantunya mengerjakan tugas bahasa Inggris lebih
baik ke rumah ustadzah Fida. Semoga saja orangnya baik.
Rumah
ustadzah Fida ternyata dekat. Hanya selisih enam rumah. Persis di tikungan jalan. Sore
itu Alfi melihat ustadzah sedang menyiram bunga anggrek. Ada macam-macam anggreknya. Bunganya cantik, warna-warni. Alfi ingin memetik, tapi bukankah itu bukan miliknya. Jadi dipandangi saja pot-pot bunga yang menempel di dinding.
"Masuklah, rumah ini selalu terbuka untukmu!" Ustadzah
Fida mempersilakan Alfi masuk. Sementara dia masih ingin menyiram beberapa
tanaman lagi. Halaman rumah yang segar dengan tanaman hias
berderet rapi. Ada juga pohon belimbing yang ranting-rantingnya menjulur keluar pagar. Buahnya masih hijau. Alfi berdiri di bawahnya. Barangkali saja
ada yang masak di pohon atau jatuh. Tidak ada.
“Kamu suka belimbing, Alfi?”
Alfi
tersenyum, “Iya.”
“Tunggu
kalau ada yang matang ya.”
Setelah
ustadzah siap, barulah Alfi bertanya tentang tugas bahasa Inggris. Ustadzah Fida
menerangkan dengan jelas. Memberikan contoh soal dan mengajak Alfi berlatih
cara pengucapannya. Karena disekolah diajarkan dengan cara bernyanyi maka Alfi
juga harus belajar menyanyikannya. Tak butuh waktu lama, Alfi sudah hafal semua
materinya.
Begitulah
awal kedatangan Alfi ke rumah ustadzah Fida. Selanjutnya boleh dikatakan hampir
setiap hari dia bermain kesana. Alfi
senang berada di dekat ustadzah Fida. Disinilah dia menemukan tempat yang nyaman untuk bercerita banyak hal.
Kepada bunda, Alfi meminta ijin untuk menginap saja di rumah ustadzah Fida. Namun, bunda tidak mau. Bunda ingin Alfi di rumah saja menemani kak Amel, bermain dan belajar bersama. Alfi sadar kalau bukan dengannya lalu kak Amel dengan siapa?
Kepada bunda, Alfi meminta ijin untuk menginap saja di rumah ustadzah Fida. Namun, bunda tidak mau. Bunda ingin Alfi di rumah saja menemani kak Amel, bermain dan belajar bersama. Alfi sadar kalau bukan dengannya lalu kak Amel dengan siapa?
#blogtobook
^_^
Sumber gambar: internet
oke... catatannya simple saja, hati-hati dengan mengenalkan banyak karakter di bab 1
BalasHapusSiap revisi.
Hapussekolah yang di post itu di tuban kah mbak? rasanya aku pernah lihat hehe
BalasHapusBukan mba.
HapusNyimak sambil ngemil mba.. :D
BalasHapusTerima kasih dah mampir mba Sandra.
HapusNgebayangin sosok Amel. Dan saya terharu banget pas baca bagian yang dia ngebagi makanan kotak ke adiknya.
BalasHapusSama saudara harus belajar berbagi.
Hapus