I Will Survive
Minggu, 26 Maret 2017
19 Komentar
Tidak
pernah terpikir sebelumnya jika saya sampai detik ini masih menjalani long distance marriagge. Yang kami
rencanakan menjelang pernikahan adalah tempat tinggal. Maklum waktu itu saya berada
pada masa akhir kuliah. Saya tinggal di Semarang. Sementara suami sudah bekerja
di Jakarta.
Keputusan
saya sudah bulat bahwa setelah menikah akan mengikuti suami. Ada cita-cita yang
harus saya korbankan. Tapi saya percaya bahwa dengan tinggal bersamanya jauh
lebih baik. Setelah urusan kuliah beres saya masih ke Semarang untuk mengambil
ijazah dan barang-barang di kost.
Saya
ingin meniti jalan. Tak mudah. Tapi tak ada yang tak mungkin. Kami harus bisa
melewati masa adaptasi ini di awal pernikahan. Sebelumnya menikah kami hanya
tiga kali bertemu. Itupun membahas hal-hal yang penting. Diantara kegalauan
saya sebagai pasangan yang baru menikah, suami selalu menjadi tempat bersandar
yang menyejukkan hati.
Harapan
saya sebagai seorang istri sederhana saja. Bisa membersamai suami dalam suka
dan duka. Mengiringi langkahnya, mendukung kariernya.
Apa
yang kami rencanakan mungkin hanya sebatas angan-angan. Setelah tinggal di
Jakarta, suami mutasi ke daerah lain. Tiap tinggal di suatu daerah kami
berusaha mencari tempat tinggal sendiri. Mendatangi pameran perumahan hingga
mendatanginya satu per satu.
Mengenang
masa-masa itu, perjuangan yang berat. Beberapa kali tinggal di rumah petak dan
rumah dinas. Bertemu dengan banyak orang dari daerah lain. Seru! Kami menyusuri
jalan yang tak sama. Setiap jejak adalah tempat untuk belajar mendewasakan
diri. Setiap jejak membuat lembaran-lembaran hidup menjadi lebih berwarna.
Meski kadang tak selamanya cerah.
Andai
bisa menolak, pasti kami ingin tidak ada mutasi. Iya, kabar tentang mutasi
pegawai itu sering terdengar lebih nyaring daripada suara Ariel Noah.
Antara harapan dan ketakutan, bercampur menjadi desir-desir keraguan.
Saya
lebih suka menyebutnya H2C, Harap-Harap Cemas. Satu kawan mengabarkan mutasi.
Mengucapkan kata “selamat”, yang kami sendiri tak mengerti artinya. Pekerjaan
suami masih sama. Jenjang karier dan lainnya, ah sudahlah. Sebagai istri saya
hanya ingin mendukungnya. Menemani langkahnya agar tetap tegap menatap masa
depan.
Jalan
ini pilihan kami. Bahkan ketika kami tak memilih apapun. Itu adalah pilihan
untuk tak memilih. Hidup ini kami yang merencanakan. Namun, sekali lagi, Tuhan
lebih berkuasa. Saya percaya selalu ada kebaikan dibalik kata “mutasi”. Kami saling meyakinkan untuk bisa melewati masa ini. Selain terus memohon agar tempat kerja suami dekat dengan rumah.
Awalnya
karena suami sering mutasi. Saya memilih untuk kembali ke kampung halaman.
Memiliki membangun rumah sendiri seperti impian kami. Merancang masa depan bersama orang-orang tercinta, meski kenyataannya harus tinggal berjauhan dengan suami. Bagi kami, selalu ada waktu untuk bertemu, berkumpul bareng. Di saat libur panjang sekolah kami biasa ikut ke kota tempat suami bekerja.
Pernah
baru setahun tinggal, sudah ada surat pindah. Mau bagaimana? tinggal sendirian
di rumah dinas? Saya sudah merasakannya. Sambil menunggu hari libur dan suami
pulang. Atau di rumah kontrakan saja? Lalu kapan memiliki rumah sendiri? Kapan
kembali lagi? Tak ada yang pasti.
Banyak
suka dukanya menjalani kehidupan seperti ini. Saya bersyukur bisa bertahan bertahun-tahun
seperti ini. Kadang-kadang sulit untuk menggambarkan seperti apa bentuk LDM.
Absurd. Tapi kami percaya. Ada banyak hal yang selalu kami genggam:
- Percaya. Iya, siapapun kita harus bisa saling mempercayai pasangan. Jadi kalau ada masalah, kami saling terbuka.
- Jangan pernah sedikitpun terlintas pikiran buruk. Maka saya berusaha berpikir jernih terhadap pasangan. Saya yakin apapun yang dilakukannya pasti ada tujuannya. Dan tujuan itu mengarah kepada kebaikan juga.
- Mengenang kebaikan suami. Kalau sedang berjauhan apa sih yang terpikirkan tentang pasangan? Mengenang kebaikannya memupuk rasa cinta.
- Meluangkan waktu. Jika sedang bersama suami, saya berusaha mengurangi kegiatan di luar rumah. Kalaupun ada, sebelumnya saya sudah ngomong. Jadi waktu untuk bersama tetap berkualitas.
- Komunikasi lancar. Saat ini apa sih yang tidak mungkin untuk berkomunikasi. Semuanya mudah, semudah isi pulsa lalu tekan nomornya, dan ngobrol sepuasnya. Apalagi kalau saya atau anak-anak sedang sakit, dalam sehari suami bisa menelpon berkali-kali.
- Dekat dengan keluarga besar. Saya masih tinggal satu kota dengan keluarga besar saya dan suami. Itulah yang membuat kami merasa aman.
- Jangan sungkan untuk meminta bantuan. Selama suami tidak ada di rumah sayalah yang harus bertanggung jawab terhadap anak-anak dan rumah. Namun ada kalanya saya tak berdaya. Di saat seperti itulah bantuan dari keluarga dekat, tetangga, teman sangat saya butuhkan. Ketika anak saya sakit, ketika ada masalah dengan rumah, dsb.
Kalau
dulu masih tinggal bersama suami, kemana-kemana saya sering diantarkan. Ada
kekhawatiran jika saya tidak tahu jalan. Haha... Apalagi baru menikah. So sweet! Menjadi seorang pelaku LDM,
saya dipaksa untuk mandiri. Saya yang awalnya tidak bisa naik motor, terpaksa
harus bisa. Tidak ada orang yang akan mengantarkan saya kesana-kemari. Nekad, delapan
tahun yang lalu akhirnya saya bisa naik motor.
Saya
yang takut naik motor di malam hari karena pandangan tidak jelas, harus berani
juga. Siapa yang akan membawa anak-anak ke dokter kalau malam-malam demam
tinggi. Yang bisa dilakukan sendiri, pasti saya lakukan. Bismillah, I will survive.
Keadaan
seperti ini membuat saya harus bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Kalau
hari-hari kerja saya juga harus berkarya, sama seperti dia, bekerja secara
maksimal. Melakukan rutinitas seperti biasanya dan mengikuti kegiatan sosial. Seperti
beberapa waktu lalu ada pengobatan gratis yang dilakukan oleh BSMI cabang Tuban
yang bekerjasama dengan sekolahnya anak-anak. Senang bisa menjadi bagian dari
kegiatan seperti ini. Meskipun saya bukan tenaga medis, tapi senang bisa
membantu. Melihat warga yang berduyun-duyun mengantre pemeriksaan kesehatan
seolah menjadi cermin yang nyata. Bahwa siapapun kita, pasti memiliki kemampuan
untuk berbagi. Tidak masalah dengan apapun profesi, kemampuan dan keahlian kita. Ilmu, tenaga, waktu dan harta merupakan sarana untuk berbagi dengan saudara kita. Dengan berbagi, kita mampu menjadi manusia yang bermanfaat.
Sementara
di hari libur saya ingin mengurangi
penggunaan gawai. Saya tidak ingin gawai ini merebut waktu kami. Family time sangat memegang peranan
penting dalam mempererat hubungan antar anggota keluarga. Kami bisa berkumpul
ya disaat seperti ini.
Waktu
bersama sangatlah berharga. Kami tidak ingin merusaknya dengan urusan yang
mengganggu hubungan kami. Kalaupun ada salah paham, pastinya pernah. Itu tidak
bisa dihindari. Kami tak ingin berlarut-larut. Tinggal bagaimana menyikapi
saja. Sayang bukan, kalau hanya dua hari di rumah lalu kami diam-diaman. Atau
justru marah-marah! Lalu sakit hati yang berkepanjangan. Ugh! Sayang, rasanya
seperti sedang menyia-nyiakan waktu.
Hargai
waktu untuk menikmati kebersamaan. Karena waktu tak mungkin berulang. Setiap
detiknya adalah anugrah terindah. Setiap waktu yang ada semoga menjadi jalan untuk berkumpul di
jannahNya.
Tulisan ini diikutsertakan dalam #ZiaGiveaway2017 "Perempuan Yang Menginspirasi".
^_^
Hallo mba. Semoga kuat ya bisa menjalani LDR. InsyaAllah semuanya semoga dberikan jalan terbaik. Walau tak mudah karena aku pun kayaknya tak sanggup
BalasHapusKalau saya sih, akhirnya terbiasa juga. Makasih mba Al.
HapusSaya termasuk yang gak LDR-an. Ditinggal semalam aja bisa teleponan melulu. Ditinggal 3 hari, malah saya susulin hehehe. Tapi saya salut sih dengan pasangan yang menjalankan LDR dan mampu memanage hubungan dengan baik
BalasHapusKudu bisa memanage mba. Intinya saling menjaga kepercayaan.
HapusSemoga rumah tangganya langgeng selama-lamanya dan diberkahi Allah selalu :)
BalasHapusAamiin. Makasih doanya.
HapusWah berat banget kalau itu. Apalagi statusnya udah merit. Tapi emang kadang kondisi nggak memungkinkan. Kayak mbak dan suami Yang kerjanya pindah pindah.
BalasHapusSaya sendiri cukup bersyukur karena kerja di rumah, jadi bisa ketemu setiap hari sama keluarga.
Tips-nya bagus. Semoga tetap kuat ya...
Iya. Apalagi kalau ada anak-anak. Pindah-pindah sekolah juga. Yang anak pertama mengalami ini. So far, anaknya baik2 aja. Punya banyak pengalaman berbeda dengan teman-teman barunya.
HapusA/lillaah, berarti ada untungnya juga ya hehehe
HapusDi semua kisah InsyaAllah ada suka dukanya. Termasuk bisa mengenal daerah baru.
HapusSemoga baik2 saja ya Mbak walaupun LDM. Teman saya, istri pelaut, LDMan ber-tahun2. Sekarang ya udh kumpul setelah pensiun. Salam kenal...
BalasHapusSalam kenal mba Hani,
HapusAamiin doanya. Saya juga memiliki teman-teman yang LDM dengan suaminya. Alasannya hampir sama, karena pekerjaan suami yang kerap berpindah atau jauh.
Semoga langgeng terus ya mbak hingga dunia selanjutnya ^^ salut deh mbak, aku mah gak sanggup baperan orangnya 😂
BalasHapusAamiin. Makasih doanya.
HapusMba hebat nih, bisa bertahan walau LDR. Semoga bahagia selalu dan pernikahannya langgeng sampai maut memisahkan ya Mba. Aamiin :)
BalasHapusAamiin. Makasih doanya.
HapusKeep strong yah mbak...
BalasHapusMakasih ya.
HapusWanita itu makhluk yang kuat, mereka bisa mengurus diri sendiri, menjaga anak dan membereskan rumah walaupun ditinggal-tinggal suami. Beberapa suami kadang pas ditinggal istri sebentar saja langsung kacau balau kondisi rumah. haha
BalasHapus