Anak Saya (Bukan) Juara
Selasa, 11 Juli 2017
15 Komentar
Assalamualaikum,
Saat
ini anak-anak saya berada di suasana liburan dan awal masuk sekolah. Dua anak
saya sudah masuk sekolah. Tinggal si bungsu yang masih libur (SD). Meskipun
demikian, kemarin baru saja menerima rapor dan tentu saja sekaligus bertemu
dengan teman-teman dan guru-gurunya di sekolah. Aroma sekolah sudah terasa...
Bisa
dikatakan terima rapor setelah liburan itu rasanya sedikit aneh. Seperti ada
tanggungan. Rapor maksudnya! Liburan artinya hari bebas bagi anak-anak. Tidak
ada tugas yang membebani seperti hari-hari sekolah. Tapi masalah rapor... ya
sudahlah, semua sudah ada jadwalnya. Percaya saja dengan sekolah.
Acara
penerimaan rapor hari Senin itu dimulai dengan pengumuman dari sekolah,
sambutan, dsb yang diadakan di masjid sekolah. Termasuk pengumuman siswa
berprestasi secara akademik tiap jenjang, dan non akademik. Yang non akademik
seperti biasa kurang mendapat perhatian.
Saya
senang melihat anak-anak yang berprestasi. Ikut memberikan ucapan selamat jika
mengenalnya. Meski ada rasa penasaran, “Bagaimana sih belajarnya? Anaknya setiap
tahun pasti juara kelas!”
Orang
tua yang hadir dipanggil, mewakili penerimaan penghargaan. Pasti bahagia ya.
Sementara ketika melihat anak sendiri dan tidak mendapat juara apapun....
Andaikan
semua anak ingin mendapatkan juara pertama, lalu siapa yang akan menjadi kedua,
ketiga dst. Andaikan semua anak memiliki kecerdasan yang sama... semua terlihat
monoton.
Pernah
mendengar orang tua yang mengeluhkan anaknya, tidak berbakat, tidak pandai,
tidak memiliki apapun yang patut dibanggakan. Pokoknya tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan anak lainnya. Tapi begitu melihat anak lain, rasanya lebih
menyenangkan hingga berandai-andai...
Berada
di puncak (menjadi juara) itu menyenangkan. Mendapat penghargaan dan menjadi
buah bibir. Bahagia. Bukan saja si anak yang disalami kepala sekolah, dan guru,
tapi orang tuanya. Bahkan sesama wali murid juga ikut menyalami. Bahagia maksimal!
Kadang
seperti tak percaya. Tapi nyata. Kadang merasa menjadi lebih baik bahkan
terbaik daripada anak-anak lainnya tapi sungguh diatas langit masih ada langit.
Namun
sebaliknya, jika anak kita biasa saja, apa yang perlu diceritakan kepada dunia!
Ada
hal-hal yang kadang tidak kita sadari bahwa setiap anak itu unik. Tiga anak
saya memiliki kecenderungan yang berbeda. Saya berusaha untuk menyakini bahwa
setiap anak memiliki jalan menuju takdirnya, menuju kesuksesannya. Orang tua
wajib membukakan jalan, memberinya kesempatan untuk berkembang.
Tidak
ada yang sama. Jika semua anak ingin menjadi dokter, lalu siapa yang menjadi
perawat, arsitek, pedagang, guru, petani, nelayan dsb. Semua profesi itu saling melengkapi, saling
mendukung dan saling dibutuhkan.
Anak
pertama saya lebih suka berada di depan laptop, mengutak-atik aplikasi yang
baru di download. Diwaktu lain dia bahagia dengan setumpuk bukunya. Sementara
anak kedua lebih suka hal-hal yang bersifat teknis seperti membongkar pasang
mainan, lalu mencoba membuat mainan baru. Di rumah, kalau ada barang yang rusak saya minta tolong padanya. Kadang bisa kadang juga tidak. Disaat seperti
itu terlihat jelas bahwa anak-anak tidaklah sama persis, meskipun dari rahim
yang sama. Meskipun saya berusaha mendidik dengan cara yang hampir sama.
Tentang
anak berprestasi, bisa jadi tiap sekolah memiliki kriteria yang berbeda. Bulan lalu
ketika menerima rapor di sekolah si sulung, guru menjelaskan kriteria anak
berprestasi. Bukan hanya masalah akademik dan pencapaiannya namun juga
memperhatikan akhlaq. Jadi ketika si anak tergolong pintar namun kurang bisa
bersosialisasi, tidak bisa dimasukkan sebagai anak berprestasi.
Yang
memberikan penilaian anak berprestasi bukan hanya guru-guru yang mengajar,
namun juga guru-guru yang tidak pernah mengajar termasuk para karyawan di
sekolah. Ternyata lebih rumit juga.
Saya
ingat ketika si sulung sekolah di Taman Kanak-Kanak. Waktu itu saya masih
tinggal di Surabaya. Sekolahnya masih baru dirintis. Tapi saya salut kepada
para guru yang memberikan penghargaan kepada semua siswa.
Setiap
siswa diminta naik ke panggung dan diberi gelar juara. Masih terasa aneh
ditelinga saya. Namun gelar tersebut cukup membuat para orang tua merasa sangat
dihargai. Gelarnya merupakan kata-kata positif, seperti ini: pemberani, rajin,
kuat, ramah, dsb.
Nah,
saat ini tidak ada sistem rangking di sekolah. Tapi ada saja orang tua yang
penasaran dengan rangking anaknya. Solusinya sederhana, tanya saja kepada wali
kelasnya. Nanti pasti diberitahu. Mau rangking di kelas atau paralel (satu
angkatan).
Saya
termasuk yang penasaran dengan rangking anak. Disatu sisi saya setuju dengan
tiadanya sistem rangking. Biarlah rangking itu menjadi rahasia sekolah. Kalau rangking
satu sih tenang saja. Tapi kalau rangking 1 dari belakang? Lalu daftar siswa
ditulis bersama rangkingnya bagaimana? Seluruh siswa bahkan orang tua yang hadir
pada penerimaan rapor bakal membacanya. Mengingatnya diam-diam dan .... marah,
jengkel, malu dengan hasil belajar anak.
Saya
pernah merasakan keadaan seperti ini. Di depan pintu masuk kelas, sudah ada
anak-anak yang bertugas menyambut wali murid. Lalu wali murid diminta mengisi daftar hadir. Dalam
daftar siswa tersebut sudah dicantumkan nilai rapor beserta rangkingnya. Aduh kejam!
Anak-anak
pasti sudah melihat sendiri rangkingnya. Entah bahagia atau tidak. Tapi berbeda
dengan orang tua. Beberapa diantaranya terlihat pasrah, bahkan diam
menyembunyikan semua kecewa.
Pasti
tidak nyaman kalau berbicara dengan orang dengan topik seperti ini. “Nilai rapornya
berapa? Rangking berapa? Aduh...sudah, nggak usah lihat rangking. Pasti
rangking satu! Ah, situ enak, anaknya pinter, lha anakku...”
Saya
tidak perlu menyembunyikan kenyataan bahwa tidak semua anak bisa mendapatkan
nilai bagus. Bahwa anak saya akhirnya berproses. Ketika nilai-nilainya
katakanlah jelek, ada rasa kecewa. Tapi untuk apa dipendam. Saya lebih suka
mengatakan dengan jujur. “Nilai kamu segini artinya....”
Dengan
begitu si anak belajar menyadari “keberadaannya”. Selanjutnya, mengevaluasi
hasil belajar dan membuat rencana. Misalnya ingin lebih baik, ayo belajarnya
ditingkatkan atau ikut les/bimbel.
Setiap
orang tua pasti ingin semua anaknya pintar, sholih/sholihah, patuh. Pokoknya yang
baik-baik! Kenyataannya tidak semua poin yang diinginkan tersebut berhasil
diraih si anak. Bisa jadi keinginan orang tua terlalu berlebihan. Tidak sebanding
dengan kemampuan anak.
Sayapun
demikian....
Tidak ada salahnya untuk memahami anak kita. Berdamai dengan IQ, kemampuan, dan kecenderungannya, lalu membuatnya berkembang dengan hal-hal yang disukai.
Beberapa
kali saya sempat ngobrol dengan orang tua yang memiliki anak dengan kemampuan
akademik yang katakanlah kurang. Sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan
anak. Mau dijejali dengan teori macam apapun jika si anak tidak ada semangat,
tidak ada kemampuan disitu, pasti sulit. Lalu kita pasrah!
Tidak!
Saya sepakat dengan orang tua yang memutuskan untuk berdamai dengan deretan angka di lembar-lembar rapor. Tapi selalu mengeksplore bakat anak. Kalau tidak
mahir di bidang A, masih ada B, C, dst. Masih ada jalan untuk masa depannya. Masih
ada proses panjang yang mesti dilewati. Karena
kesuksesan itu bukan hanya masalah deretan angka yang dibuat manusia.
Sampai
saat ini saya berusaha meyakini bahwa setiap anak kita adalah juara. Iya, juara
di hati kita, orang tua yang membesarkannya dengan limpahan kasih sayang!
^_^
Wah pengen banget sekolah disana Mbak..saya pasti diberi gelar "paling absurd" hehehe.. Anak saya masih 3tahun, tapi jadi punya bayangan setelah baca ini.
BalasHapusSetiap anak adalah juara, jika orang tuanya berkata demikian. *loveee*
Nggak ada murid yang "absurd" hihi... tapi juara dong!
HapusDi sekolah anakku nggak ada sistem rangking, mba. Sengaja milih sekolah yang seperti itu. anak lebih banyak penilaian dijabarkan dalam bentuk tulisan karena paham bahwa masing anka anak unik
BalasHapusRangking bisa bikin galau...hihi...
HapusSetiap anak memang mempunyai pribadi yang unik. Berprestasi menurutku tidak hanya dari sisi akademik, tetapi lebih pada menjadi pribadi yang menyenangkan dan anak-anak merasakan kebahagiaan dengan limpahan kasih sayang orangtuanya :)
BalasHapusNah, sering ya anak yang berprestasi di bidang non akademik kurang mendapat perhatian. Anggapan orang selama ini hanya berfokus pada sisi akademiknya.
HapusKalau kecerdasan hanya diukur dari IQ tinggi, maka apa indahnya setiap hal yg dimiliki anak2. Setuju Mba, bahwa setiap anak adalah unik ��
BalasHapusAnak-anak harus berkembang sesuai dengan bakat dan minatnya, bukan sekedar sisi akademiknya.
HapusJadi ingat film every child is special...
BalasHapusSetuju.
HapusSetiap anak punya keunikan sendiri-sendiri
BalasHapusAda anak yang pandai secara akademik
ada juga anak yang pandai bergaul
ada juga anak yang peduli sesama
ada anak yang senang berbagi
jadi tentunya anak yg satu dg yg lain itu berbeda2
Dan ..... setiap anak adalah juara dg keunikannya masing-masing hehe ....
Setuju mba.
HapusSetiap anak memiliki kelebihan masing2. tidak semuanya harus menjadi juara kelas.. Di masa depan, yang tidak menjadi apa2 di kelas malah menjadi penolong bagi yg juara kelas...
BalasHapusKadang anak yang dianggap biasa saja malah lebih sukses dari yang dulu pinter secara akademik.
Hapus"bahwa setiap anak memiliki jalan menuju takdirnya" so sweet...
BalasHapusalhamdulillah, baca artikel ini jadi lega. Memang setiap anak istimewa :)