Karnaval Budaya, Selintas Angan di Masa Lalu





Kemarin saya melihat karnaval budaya dengan peserta jenjang SMP dan SMA. Saya datang ketika peserta karnaval sudah memasuki nomor urut 15. Sengaja sih. Kami menunggu selesai sholat ashar dan mandi lalu berangkat agak terburu-buru.

Saya ingat dulu pernah menjemput si sulung sore hari (bukan sebagai peserta karnaval, namun sebagai petugas dari OSIS yang mengurus teman-temannya karnaval). Entah waktu itu sudah selesai atau belum, yang pasti tidak sampai magrib, sudah banyak penonton yang bubar.

Dalam keadaan tergesa-gesa, pikiranpun jadi kacau, karena tidak bisa merencanakan tempat memarkir sepeda montor. Ramai. Di jalan raya hingga gang-gang ramai manusia dan kendaraan.



Harus mau mengalah. Mencari tempat parkir yang agak jauh. Karena yang dekat pasti sudah penuh kendaraan.

Tiba di jalan raya juga demikian. Aduh, membawa si bungsu berarti saya mesti mencarikan tempat agar dia tetap bisa melihat pawai. Sedikit ndrusel di kerumunan ternyata tidak nyaman juga.



Sambil jalan kita mencari celah agar si bungsu bisa sekedar duduk. Kalau di trotoar sudah penuh maka kita terpaksa duduk di jalan beraspal.

Begitu peserta pawai mulai terlihat, banyak orang mendekat ke tengah jalan. Ya, kalau jalan dipenuhi penonton, tentu peserta karnaval susah untuk jalan. Apalagi kalau ada yang menari! Pasti kesulitan bergerak.



Sebenarnya saya juga ikut maju. Cuma untuk melihat keberadaan peserta berikutnya. Lalu duduk. Namun semakin lama, banyak yang pulang juga. Mungkin mereka sudah sejak tadi berada di sini.

Tapi lama-lama saya banyak berdiri juga. Lebih puas melihat para peserta karnaval. Sambil mencari barangkali ada kerabat saya yang ikut pawai. Tapi karena pawai itu jalan ya, jadi konsentrasi terbagi antara melihat karnaval, menjaga si bungsu, dan meminta suami memotret yang sekiranya menarik.

Banyak juga penonton yang ikut foto bersama peserta karnaval. Padahal sudah diperingatkan bahwa boleh foto sambil jalan. Kalau kebanyakan berhenti perjalanan mereka jadi lama. Tapi, ya begitu deh. Mungkin sudah kenal ya, jadi cekrak-cekrek asyik!

Hunting foto

Saat ini, dengan semakin maraknya dunia digital, rasanya tidak aneh jika banyak orang yang berani melangkah lalu cekrek! Semacam paparazi? Ah, kalau saya dan suami memang senang saja dengan kegiatan memotret.



Karnaval ini menjadi salah satu cara untuk mengumpulkan koleksi foto, belajar fotografi dan juga mengasah keberanian. Bayangkan, ketika kita harus maju dan mendekati obyek untuk difoto. Dilihat banyak orang bagi saya bukan perkara mudah. Atau sebaliknya, menghalangi pandangan orang!

Mengenang masa lalu

Ketika melihat barisan peserta pawai budaya, tiba-tiba saya teringat zaman masih sekolah. Mulai TK hingga SMA saya ikut karnaval. Tidak ada dokumentasi. Karena mendokumentasikan kita sedang memakai baju adat bukan hal yang penting dalam keluarga saya.



Saya sendiri tidak yakin orang tua saya ikut menonton dari kejauhan atau tidak? Lupa! Atau mungkin ibu masih di rumah, sibuk beberes rumah.

Yang masih saya ingat betapa capeknya jalan kaki. Pernah ikut karnaval dengan kostum adat Bali. Lalu membawa mangkuk tembaga asli. Waktu itu pinjam dari tetangga. Tangan ini capeknya bukan main. 

Setelah selesai karnaval saya baru sadar kenapa tidak membawa tiruan mangkuknya saja. Seperti milik teman-teman. Huhu...



Coba kalau sekarang. Saya lihat mangkuknya buatan, yang penting dari jauh berwarna kuning keemasan. Sebenarnya sih dilapisi dengan kertas. Lalu ditaruh bunga dari kertas, entah apa lagi. Ada juga yang memakai sayur. Sampai si bungsu berteriak, “Ibu, itu ada sayur asli!”

Saya lihat ternyata kacang panjang. Kenapa tidak bilang kacang panjang saja, sih.

Melihat mbak-mbak yang bermake up tebal, saya juga semakin ingat dulu seperti itu juga. Alm. ibu adalah seorang perias. Saya selalu dirias ibu, apapun acaranya. Bulan Agustus bisa dikatakan sebagai bulan paling banyak job buat ibu.



Saya sendiri tidak paham trend make up hingga busana karnaval. Namun yang jelas-jelas berbeda adalah semakin bervariasinya busana dan tata rias untuk karnaval. Kalau dulu tidak ada hiasan gedhe sekali yang menempel di tubuh (yang tingginya juga melebihi tubuh). Pokoknya memakai baju adat yang bagus.

Sekarang, saya melihat model, pengantin, ikon, (entah apa namanya ya) menggunakan hiasan dan pernak-pernik dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bahkan juga yang bajunya sampai menyapu jalan karena panjangnya. Itupun masih dengan ornamen macam-macam. Sungguh sangat kreatif. Saya acungi jempol untuk semuanya.




Nah, dengan kostum yang aduhai indahnya itu, penonton memang terhibur. Gratis bukan! Kalau si anak dengan kostum “wah” itu duduk di mobil sih tidak apa. Kaki tidak terlalu capek. Namun yang jalan kaki dengan sepatu atau sandal high heel dan berpanas-panas itu rasanya kok tidak tega. Lalu saya ingat anak-anak. 

Beberapa sekolah menampilkan tarian. Sambil jalan mereka menari. Bahkan ada sekolah yang kompak. Mulai dari peserta pawai hingga guru-gurunya ikut menari. Yang menarik lagi, ada tarian yang menggunakan selendang biru putih itu digerak-gerakkan, meliuk-liuk seolah berada di atas panggung. Tapi ini di jalan. Salut!

Di sekolah anak kedua saya tidak ada karnaval. Mungkin sekolah mempunyai kebijaksanaan sendiri, saya kurang paham. Tapi kemarin ikut gerak jalan. Lalu Si sulung juga tidak pernah ikut. Memang semua anak saya laki-laki, pasti tidak serepot anak perempuan.



Busana perempuan memang lebih bervariasi, lebih kompleks dan banyak pernak-perniknya. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk mengikuti karnaval lumayan lama ya. Dari persiapannya ke salon ngantre hingga selesai pawai.

Yang menarik dari karnaval budaya

  1.  Hiburan gratis
  2.  Melihat keanekaragaman budaya Indonesia
  3.  Kreativitas dalam menampilkan busana daerah


Dari karnaval ini saya bisa menunjukkan kepada anak-anak tentang bhinneka tunggal ika. Macam-macam adat, budaya, semakin membuat negara kita kaya.

Dalam pawai ini beberapa sekolah mengenakan batik lokal yaitu batik gedhog untuk menambah variasi busana. Semoga produk lokal semakin menjadi pilihan kita.


Nah, jika teman-teman ada pengalaman seputar karnaval, sharing yuk!

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

18 Komentar untuk "Karnaval Budaya, Selintas Angan di Masa Lalu"

  1. keren-keren tampilan karnaval kemarin, saya tidak bisa melihat secara langsung kemarin hanya melalui siaran langsung dari ponsel. tapi bangga jadi warga tuban.. terus berkarya untuk bangsa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, keren2. Aku lihatnya nggak sampai selesai kok.

      Hapus
  2. Sudah menjadi rutinitas saya, momong adik dan ponakan saat caranaval budaya Tuban....Merdeka...

    BalasHapus
  3. Yang menarik dr karnaval karena merupakan hiburan setahun setahun sekali dan juga kostum aneka ragam

    BalasHapus
  4. Aku dari dulu suka karnaval. 17 kemarin di Medan ada juga. Lagi keluad berdua sama papanya. Mau berhenti liat tapi ada janji sama anak-anak di rumah buat pergi. Jadinya gak liat deh

    BalasHapus
  5. Acarany sangat kreatif dan buat yg melihat pasti berdecak kagum, kunbal

    BalasHapus
  6. Bagus banget karnavalnya, salam kenal mbak

    BalasHapus
  7. Aaah jadi inget dulu waktu SD juga selalu lihat karnaval kalo bulan Agustus begini

    BalasHapus
  8. belum pernah saya liat langsung yang namanya karnaval.
    biasanya cuma liad di TV atau YT. karna jarang banget keluar dan ber explore.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini lokasinya tidak jauh dari rumah. Mumpung ada suami yang bersedia foto-foto.

      Hapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel