Percakapan di Meja Makan
Selasa, 04 September 2018
2 Komentar
Apa
kabar teman-teman?
Semoga
selalu dilimpahkan kesehatan, reseki, kebaikan dan kebahagiaan.
Ada
banyak hal menarik yang terjadi ketika saya, suami dan anak-anak duduk bersama
menikmati makan pagi, siang dan malam. Tapi seringnya kalau hari libur. Makan tidak
diburu-buru dengan jam masuk sekolah, pelajaran ekstra, atau jadwal lainnya.
Jika
makan pagi seringkali tidak bisa tenang karena sesekali bahkan berkali-kali
saya mengintip jam dinding. Saya sudah mirip alarm yang diputar berulang kali. Tapi
kalau dibiarkan si anak bungsu tidak tahu waktu. Asyik mengaduk-aduk makanan.
Nah,
ketika hari libur sekolah, dan kerja, kami bisa makan diselingi dengan
cerita-cerita. Kadang ada cerita seru, lucu, sedih bahkan miris. Kadang ada
benar-benar mendengarkan, kadang juga tidak. Fokus dengan film atau mainan di
hadapannya.
Begitulah,
keinginan kami memang seringkali berbeda. Si bungsu bisa saja makan sambil
bermain lego atau pasir mainan, namun lama. Si tengah sambil menonton film tapi
tetap melihat jam. Kemudian suami dan saya yang selalu ingin lebih banyak waktu
untuk ngobrol apa saja.
Sebagai
orang tua saya ingin setiap saat ada waktu untuk bicara. Tapi begitulah,
anak-anak suka tidak fokus. Apalagi kalau hari libur, saya memberikan
kesempatan untuk bermain termain bermain gadget.
Dari
rumah ini, saya ingin anak-anak bisa diajak berkomunikasi. Dengan tatapan,
gesture dan fokus pada pembicaraan. Saya tidak mau diduakan dengan gadget. Coba
kalau itu menimpa mereka. Pasti sama–sama tidak suka.
Ngomong
yuk!
Percakapan
di meja makan dimulai dari hal-hal yang ringan. Kadang suka tidak nyambung. Pokoknya suka-suka saja ngomongnya. Tapi tetap ada nilai kesopanan. Mengingat waktu seperti ini bersama anak-anak, saya lebih suka bicara tentang anak-anak. Misalnya ada kejadian apa di sekolah. Info terbaru dari gurunya. Sambil menggali informasi sebanyak-banyaknya dari mereka.
Suatu
hari, suami bertanya menu makan di rumah. Saya katakan kalau tadi memasak sayur
asam.
“Tadi
siang di kantor juga makan sayur asam,” kata suami.
“Memangnya
aku janjian sama kantor buat masak sayur asam?” kata saya yang kemudian hening.
Minggu
lalu saya mencoba bikin nasi kebuli, suami meminta nasi sedikit saja. Padahal ya
tidak banyak. Separo piring putih itu. Saya katakan, “Coba dimakan aja. Nanti kalau
nggak habis, aku yang habisin.”
Tapi
dia tetap protes, “Kebanyakan. Nanti nggak habis. Aku paroan sama adik. Ini
buat kamu aja...”
Hasilnya,
nasi ludes lebih cepat daripada perkiraan saya.
Sementara
anak-anak kadang menolak sayur tertentu dengan alasan dia tidak suka. Pernah juga
karena berebut makanan. Biasanya karena mendapat makanan kotak dari tetangga
dan kerabat. Padahal di rumah sudah ada makanan. Kalau makanan kotak ini
terbatas jadinya lebih enak dan menarik daripada masakan di rumah.
Yang
menarik itu ketika si kakak makan lebih cepat daripada adiknya. Kemudian berangkat
sekolah. Aih... disitu si adik merasa terkalahkan. Padahal tidak ada maksud
untuk balapan makan. Kemudian si adik mogok makan. Terbayang deh jika saya
ingin perpanjangan pagi buat merayu anaknya.
Belum
lagi kalau ada makanan tercecer di lantai. Entah karena buru-buru mengambil
makanan atau karena tak sengaja. Misalnya ketika sedang mengambil makanan dan
kena tangan adiknya. Jatuh juga makanannya. Berhamburan. Kalau yang jatuh cuma nasi,
gampang buat memungutnya. Kalau nasi, kuah plus lauk. Aduh ini bukan tercecar
lagi. Mesti membersihkan lantai dengan mengepelnya. Kalau posisi ceceran makanan
dekat piring si anak, saya langsung menebak itu ulahnya. Tapi kadang agak jauh
juga dan tidak ada yang mengakui. Ya sudah, ibu yang turun tangan.
Pernah
ditanya anak, “Ibu kenapa hari ini masak nasi kebuli? Kalau tidak bikin nasi
kebuli, ibu mau memasak apa? Kenapa harus nasi kebuli?”
Saya
cuma ingin masak saja. niatnya biar bisa masak macam-macam. Biar tidak
membosankan. Kalau menunya ganti-ganti artinya saya mesti berjuang mencari
resep baru, mengolah berbagai bahan makanan agar cocok di lidah kami.
Kadang-kadang
obrolan ketika makan ini seputar sekolah. Seperti baru-baru ini ketika si
bungsu diganggu temannya. Saya bisa percaya kepadanya. Tapi hati hati terlanjut
jengkel. “Kok bisa sih? Kenapa adik diam saja. kenapa adik mau diperlakukan
seperti itu.”
Masalahnya
ada anak yang memang senang bercerita tentang segala yang dialaminya. Ada juga
yang perlu dipancing agar mau bicara. Saya jadi rajin bertanya. Sementara
anak-anak hanya perlu berkata jujur dan berani mengungkapkan perasaannya. Nah,
ketiga anak saya seperti ini.
Kadang karena malas makan, mendadak anak-anak mempunyai banyak alasan. Mulai dari sakit perut, pusing, capek, nanti dulu, nggak mau makan ini itu... Lama kelamaan saya hafal juga. Mana yang benar dan mana yang cuma alasan saja.
Contohnya ini:
Kadang karena malas makan, mendadak anak-anak mempunyai banyak alasan. Mulai dari sakit perut, pusing, capek, nanti dulu, nggak mau makan ini itu... Lama kelamaan saya hafal juga. Mana yang benar dan mana yang cuma alasan saja.
Contohnya ini:
“Ibu,
mengapa timunnya pahit?”
“Masak
sih. Ibu kok makan-makan aja.”
“Tapi
timunku pahit, ibu. Aku nggak mau makan.”
“Memangnya
kalau kamu beli sendiri, tahu nggak mana yang pahit dan tidak?”
Timun sukses tidak dimakan. Aduh...
Jadi percakapan di meja makan itu bagi saya penting juga. Manfaatnya antara lain:
Timun sukses tidak dimakan. Aduh...
Jadi percakapan di meja makan itu bagi saya penting juga. Manfaatnya antara lain:
- Family time, bonding antara anggota keluarga
- Meningkatkan, memperbaiki komunikasi keluarga
- Mengajak anak-anak mengungkapkan perasaannya
Well, sejatinya percakapan di meja makan adalah satu cara untuk berkomunikasi secara efektif bersama keluarga.
^_^
Seru banget ya, kalau adik dan kakak udah pada ngerti :D
BalasHapusAaahhh merindukan masa seperti ini lagi, dulu kami seperti ini, bisa makan malam atau sarapan bareng, sebelum si bayi lahir.
Sekarang susaaahhh, yang ada saya dan suami gantian makan, sambil mendengarkan celoteh si sulung yang gaaaaakkk ada ujungnya, sampai-sampai saya dan suami gak punya waktu ngobrol hanya melalui WA saja hiks..
Seru memang ya bisa ngobrol di meja makan, macem-macem yang bisa diobrolin, jadi ingat masa kecil saya, gak pernah makan sendiri-sendiri, makannya harus barengan, tapi gak boleh ngobrol kecuali diperbolehkan oleh bapak hahaha
Iya mbak seru. Nggak enak kalau makan sendirian, mba.
Hapus