Lupakan Gengsimu, Nak!



Ray menghampiriku, “Ibu, di sekolah hanya aku yang tidak pernah membawa sepeda motor. Maksudku diluar jam sekolah...”
“Benarkah?”
Ray mengangguk.
“Jadi...Ray gengsi kalau tidak bawa motor, begitu?”
Pembicaraan berhenti. Namun esoknya, Ray bercerita bahwa seorang temannya baru saja mendapat sepeda motor matic sebagai hadiah ulang tahun. Sepeda motor itu selalu dipakai sepulang sekolah.
Anak SMP tidak boleh bawa sepeda motor. Apapun alasannya! Meski rumahnya diujung kota ini. Namun anak-anak dengan bermacam-macam alasan, tetap mencari cara agar bisa mengendarainya. Dititipkan di tempat parkir di luar sekolah. Tidak ketahuan guru alias aman.
“Sekarang sudah tidak jamannya kemana-mana naik sepeda. Capek, pegel, jauh,” timpal Ray.
“Ah, dulu anak-anak juga naik sepeda kemana-mana. Lebih sehat dan kuat. Yang naik motor hanya anak orang kaya. Itupun sekali-sekali. Dekat pula. Mereka takut ditangkap polisi,” sergahku.
“Temanku ada yang pernah ditilang pak polisi. Lalu damai. Pokoknya harus pandai-pandailah membawa motor, dan harus hafal jalan tikus. Kemudian, pakai jaket atau ganti baju biar seragam sekolah tidak kelihatan,” cerita Ray.
“Oh, begitu ya? Hebat sekali temanmu. Sayangnya ibu tidak suka.”
Wajah Ray berubah murung.
Rupanya seminggu ini masalah sepeda motor menjadi topik hangat. Setiap hari ada saja pembicaraannya. Ujung-ujungnya, Ray ingin meminjam motor untuk pergi ke rumah temannya.
“Tidak jauh. Lewat gang kecil-kecil di belakang sana,” kata Ray sambil menunjukkan arah. “Tidak sampai jalan besar. Boleh ya?”
“Diantar ibu saja, ya,” elakku.
“Aku sudah besar, malu diantar ibu terus.”
“Kalau tidak mau, Ray naik sepeda saja.”
Ray melotot dan berlalu dariku.
Dua minggu kemudian, ternyata topik sepeda motor masih dibicarakan. Sementara Ray tidak berani membicarakan bersama ayahnya. Aku saja yang didesaknya. “Baiklah, di dekat sini saja ya. Tidak perlu jalan raya,” Ray merajuk.
Aku tahu Ray sudah bisa naik sepeda motor ketika kusuruh memasukkannya ke garasi. Saat itu aku sedang sakit. Ray bukannya memasukkan tapi membawanya berkeliling kampung. Dia mengaku pernah belajar motor bersama teman-temannya. Dia bahkan sering memboncengkan temannya.
Aku kecolongan, pekikku. Bagaimana bisa? Ray telah menyalahi kepercayaan yang kuberikan. Naik motor tanpa sepengetahuanku. Tapi baiklah, pengakuannya aku terima dengan senang hati.
“Ibu, aku tidak minta sepeda motor baru. Aku cuma ingin mengendarai motor ibu untuk memenuhi keperluanku. Tidak untuk main-main. Jadi ibu tidak repot dan juga tidak capek mengantarku. Seperti kemarin, acara gladi bersih untuk perpisahan. Mana ada yang naik sepeda!”
Aku mendesah. Negosiasi dengan anak-anak sekarang ternyata rumit. Berbagai fakta kuungkap untuk lebih meyakinkan.  Andai aku hanya diam dan mempunyai sedikit kosakata, pasti aku sudah bertekuk lutut padanya.
Kemarin aku bertemu dengan ibunya Syarief, teman Ray sekelas.  “Capek, bu. Saya harus mondar-mandir antar jemput anak-anak. Biar Syarief bawa motor saja. Sebenarnya ya kuatir tapi saya toh tidak sanggup lagi. Mau bagaimana lagi, semoga selamat.”
Ibu Syarief hanya bisa berdoa. Pun ketika dia ditilang polisi. Orang tuanya yang mondar mandir mengurus. Sejak kelas satu SMP dia telah biasa mengendarai motor. Setelah itu dia menjadi lebih pintar, lebih lihai dan lebih hafal jalan untuk menyelamatkan diri dari incaran polisi. Cerita seru Syarief selalu ditunggu teman-teman sekolahnya. Mereka tak pernah bosan mendengar ceritan Syarief. Bahkan Syarief inilah yang konon menginspirasi anak-anak agar tidak takut mengendarai motor.
Syarief anak terbesar di sekolah. Katanya rumahnya paling jauh, di pinggir kota ini. Awalnya berangkat dan pulang sekolah masih diantar ibunya. Cuma bertahan dua bulan. Setelah itu dia terbiasa naik sepeda sendiri. Semua perlengkapan berkendara lengkap, hanya SIM saja yang belum punya.
Aku menduga keinginan Ray mengendarai sepeda motor karena dorongan teman-temannya yang tak pernah surut. Ray tak kehabisan akal. Karena aku tidak pernah mengijinkannya mengendarai sepeda motor, maka teman-temannya secara bergantian menghampirinya, mengajak bermain, mengerjakan tugas kelompok di rumah teman-temannya, membeli peralatan sekolah.
Andai aku tahu, pasti sudah kularang naik sepeda motor bersama teman-temannya. Namun Ray cukup cerdik. Begitu temannya datang, langsung saja dia kabur. Pamit sambil berlari bersama deru sepeda motor temannya. Berangkatnya dia dibonceng. Begitu pulang gantian dia yang memboncengkan temannya.
Lagi-lagi saya mendesah. Ugh... geregetan! Kecolongan berkali-kali itu tidak enak. Aku dan suami harus berpikir lebih keras dan kreatif lagi.
Ciiit! Mendadak saya mengerem motor. Sst...ada anak kecil yang mengendarai sepeda motor. Dua anak kecil, kira-kira masih SD! Mungkin mau berbelok, tapi tidak melihat spion, tidak melihat segala kemungkinan, amankah untuknya berbelok. Untungnya aku sanggup mengerem. Memberi kesempatan motornya melintas telebih dahulu.
Lain lagi ceritanya jika berpapasan dengan jam kepulangan anak-anak SMU. Aduh, lebih baik mengalah saja. Benar badan mereka besar-besar.  Merasa bisa mengendarai motor, tapi akal mereka belum dewasa, perilaku mereka di jalan masih seperti anak kecil. Kalau disalip temannya langsung ditekan tombol gas. Ditambah riuhnya tawa mereka sepanjang lampu merah, kadang saling dorong dengan kaki. Anak yang dibonceng mendorong motor temannya yang ada didepan. Saling pukul. Mengapa juga bercanda di tengah jalan. Apa tidak ada tempat lain!
“Lihatlah anak itu mungkin masih SD. Cara berpikirnya masih sulit menjangkau masalah yang ada di jalan raya,” kataku pada Ray.
Ray mengangguk. “Aku tidak seperti itu, Bu. Aku tidak pernah ngebut apalagi balapan. Aku juga selalu memakai helm, terus “klik”,” sanggah Ray
“Iya, ibu percaya. Tapi masalah di jalan raya bukan hanya ngebut dan balapan. Banyak! Makanya usia untuk mendapatkan SIM itu 17 tahun. Karena di usia tersebuat anak sudah dianggap dewasa, bisa berpikir lebih baik dalam mengatasi masalah yang ada di jalan. Termasuk mau mengalah untuk memberi jalan pada kendaraan lain. Rambu-rambu yang ada di jalan itu bukan untuk pajangan tapi untuk memberi keterangan pada para pengemudi.”
“Coba kalau anak kecil, mana sempat membaca rambu-rambu di jalan,” imbuhku ketika mengantarkan Ray membeli peralatan sekolahnya.
***
“Motor ibu sudah bersih.” Ray menatapku berbinar. Tangannya masih membereskan lap, selang dan cairan pembersih motor.
Aku tersenyum. Selama ini Ray jarang mencuci sepedanya apalagi sepeda motor ibu. “Boleh ya, bu. Sebentar saja.”
”Boleh apa?” Aku penasaran.
“Pinjam motor,” katanya lirih. Senyumnya mengembang tipis.
Tanpa aku ijinkan membawa motorku, Ray sudah pergi bersama teman-temannya. “Kita tidak ngebut, kok. Aman dan tertib dijalan, tante,”  sahut teman Ray yang diamini oleh yang lainnya.
“Tidak usah kuatir tante, kita selalu memakai helm, terus klik,” anak-anak remaja itu tersenyum meyakinkanku.
Betapaun mereka berusaha meyakinkanku, tetap saja usia tak bisa berbohong. Wajah mereka jelas masih belia. Rata-rata  mereka berusia 14 sampai 15 tahun.
Tanpa berlama-lama mereka pamit. Memang teman-teman Ray yang datang selalu mengendari sepeda motor. Kini kendaraan satu ini mudah saja dimilikinya. Fasilitas kredit memungkinkan semuanya. Dalam satu rumah bisa lebih dari satu motor.
Aku mondar mandir di depan rumah. Sudah hampir maghrib namun Ray tidak kunjung pulang. Katanya sebentar, tidak sampai malam. Pikiranku jadi tak karuan. Kutelepon Ray namun tak ada jawaban. Sudah lima panggilan tak terjawab.
Lepas isya’ kuulangi lagi. Tetap tak ada jawaban. Risau hati ini. Aku segera pergi ke rumah seorang teman sekolahnya, Andi. Tidak jauh, sekitar 600 meter dari sini.
Sayang temannya ini juga belum pulang. Tadi pergi bersama Ray dan lainnya. “Sudah biasa, bu. Nanti juga pulang. Mungkin belum selesai urusannya anak-anak, “ ujar orang tua Andi. Dia juga tidak tahu nomor telepon teman-temannya.
Aku pulang dan berharap Ray sudah tiba di rumah. Ternyata belum. Segera kuhubungi wali kelasnya. Pasti menyimpan nomor telepon murid-muridnya. Bapak wali kelas berjanji akan membantu.
Satu, dua jam berlalu, tak ada kabar baik. Aku dan suami pergi ke rumah teman Ray lainnya. Semua dengan harapan yang baik. Tak ada yang tahu keberadaan anak-anak mereka. Aku masih berusaha menghubungi Ray, sayangnya sekarang Veronica ya menjawab. “Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan.”
Air mataku tumpah, luruh dalam senyap. Aku percaya pada Tuhan, aku percaya pada takdirNya, aku percaya pada kuasaNya. Doaku  membungkus malam. Kuserahkan permohonan terbaik yang kupunya.
Sekitar pukul 21.00, ada suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Aku bergegas keluar. Jantungku sudah tak mengenal irama lagi, berdegup kencang tak beraturan. “Ray!” teriakku. Kupeluk tubuh lelahnya. Aku terbelalak.
“Ehmm... maaf, baru pulang. Aku mau mandi dulu.”
Aku menggeleng. Aku butuh penjelasan. Aku sedang tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ray menunduk. Wajahnya makin lesu. Ada Aroma keringat yang ingin segera dihapusnya. Tapi kataku tidak. Aku ingin dia bicara. Aku membutuhkan penjelasannya. Sekarang!
Lalu mengalirlah ceritanya. Maghrib, Ray dan teman-temannya sudah selesai mengerjakan tugas. Jalanan sepi, kendaraan besar sesekali lalu lalang. Ray dan temannya melihat ada dua orang laki-laki dengan jaket dan masker hitam bergerak cepat menarik tas seorang wanita. Tasnya memang bagus dan terlihat “wah”. Setelah  mengambil isinya, tas itu dilembar begitu saja di jalan. Si wanita jatuh tersungkur. Untungnya memakai helm standart, bisa melindungi kepala wanita itu dari benturan keras. Ray mempercepat laju motor. Berhenti dan segera mencari pertolongan.
Ray dan temannya kesulitan mencari kendaraan. Waktu itu yang lewat hanya bus dan truk. Akhirnya sebuah mobil berhasil dicegat dan bersedia mengantarkan korban ke rumah sakit terdekat.
Urusan di rumah sakit membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Ray dan temannya harus mengurus pendaftaran, menghubungi keluarga korban dan menemani mereka di ruang gawat darurat. Syukurlah luka si wanita terlalu tidak parah, tidak sampai menginap.
“Oh, begitu, “ aku mengangguk percaya.
“Besok temanku itu tidak bawa motor.”
“Memangnya kenapa?” Dalam hati aku bersorak.
“Mau dibawa kakaknya yang kuliah di luar kota. Biar tidak banyak mengeluarkan ongkos bus, angkot,” ucap Ray. “Besok aku akan berangkat sekolah bareng dia. Naik sepeda.”
Aku senang, “Sepeda  lebih aman, cocok buat anak-anak. Sekarang ini sedang digalakkan bersepeda. Banyak acara fun bike, sepeda santai, bike to work.”
“Itu buat orang tua. Orang kerja,” cetus Ray.
“Kalau baik buat orang tua, baik pula buat anak-anak. Menjaga kesehatan dan keselamatan diri dimulai ketika masih anak-anak. Kalau tidak mau belajar, nanti akan sulit untuk berubah. Seperti orang yang jarang memakai helm, nah, kalau disuruh memakai helm biasanya susah. Ada saja alasannya. Yang jaraknya dekat. Masih di kampung. Orang disini biasa tidak pakai helm.  Semua alasan hanya untuk membenarkan kepentingan dan kemauan kita. Jadi kurang bisa menyadari pentingnya helm untuk keselamatan diri.”
Ray diam dan mengangguk saja. “Mandi dulu, sana!” perintahku.
Esoknya, seorang teman dengan sepeda warna hitam sudah menunggunya di depan pagar. Mereka bergegas pamit. Ada cerita yang hendak dibagikan pada teman-temannya.
***
            Suatu hari, ketika  sudah mendapatkan SIM, Ray diperbolehkan ayah dan ibu mengendarai motor.  Meski bukan motor baru, tetap saja Ray senang.  Tak lupa perlengkapan motor, membuat hati lebih tenang. “Benar kata ibu, naik motor bukan untuk gengsi, melainkan untuk memudahkan urusan kita.”
***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan
Nulisbuku.com


Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

Belum ada Komentar untuk "Lupakan Gengsimu, Nak!"

Posting Komentar

Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel