Lupakan Gengsimu, Nak!
Minggu, 01 November 2015
Tulis Komentar
Ray
menghampiriku, “Ibu, di sekolah hanya aku yang tidak pernah membawa sepeda
motor. Maksudku diluar jam sekolah...”
“Benarkah?”
Ray
mengangguk.
“Jadi...Ray
gengsi kalau tidak bawa motor, begitu?”
Pembicaraan
berhenti. Namun esoknya, Ray bercerita bahwa seorang temannya baru saja mendapat
sepeda motor matic sebagai hadiah ulang tahun. Sepeda motor itu selalu dipakai
sepulang sekolah.
Anak
SMP tidak boleh bawa sepeda motor. Apapun alasannya! Meski rumahnya diujung
kota ini. Namun anak-anak dengan bermacam-macam alasan, tetap mencari cara agar
bisa mengendarainya. Dititipkan di tempat parkir di luar sekolah. Tidak
ketahuan guru alias aman.
“Sekarang
sudah tidak jamannya kemana-mana naik sepeda. Capek, pegel, jauh,” timpal Ray.
“Ah,
dulu anak-anak juga naik sepeda kemana-mana. Lebih sehat dan kuat. Yang naik
motor hanya anak orang kaya. Itupun sekali-sekali. Dekat pula. Mereka takut
ditangkap polisi,” sergahku.
“Temanku
ada yang pernah ditilang pak polisi. Lalu damai. Pokoknya harus
pandai-pandailah membawa motor, dan harus hafal jalan tikus. Kemudian, pakai
jaket atau ganti baju biar seragam sekolah tidak kelihatan,” cerita Ray.
“Oh,
begitu ya? Hebat sekali temanmu. Sayangnya ibu tidak suka.”
Wajah
Ray berubah murung.
Rupanya
seminggu ini masalah sepeda motor menjadi topik hangat. Setiap hari ada saja
pembicaraannya. Ujung-ujungnya, Ray ingin meminjam motor untuk pergi ke rumah
temannya.
“Tidak
jauh. Lewat gang kecil-kecil di belakang sana,” kata Ray sambil menunjukkan
arah. “Tidak sampai jalan besar. Boleh ya?”
“Diantar
ibu saja, ya,” elakku.
“Aku
sudah besar, malu diantar ibu terus.”
“Kalau
tidak mau, Ray naik sepeda saja.”
Ray
melotot dan berlalu dariku.
Dua
minggu kemudian, ternyata topik sepeda motor masih dibicarakan. Sementara Ray
tidak berani membicarakan bersama ayahnya. Aku saja yang didesaknya. “Baiklah,
di dekat sini saja ya. Tidak perlu jalan raya,” Ray merajuk.
Aku
tahu Ray sudah bisa naik sepeda motor ketika kusuruh memasukkannya ke garasi.
Saat itu aku sedang sakit. Ray bukannya memasukkan tapi membawanya berkeliling
kampung. Dia mengaku pernah belajar motor bersama teman-temannya. Dia bahkan
sering memboncengkan temannya.
Aku
kecolongan, pekikku. Bagaimana bisa? Ray telah menyalahi kepercayaan yang
kuberikan. Naik motor tanpa sepengetahuanku. Tapi baiklah, pengakuannya aku
terima dengan senang hati.
“Ibu,
aku tidak minta sepeda motor baru. Aku cuma ingin mengendarai motor ibu untuk
memenuhi keperluanku. Tidak untuk main-main. Jadi ibu tidak repot dan juga
tidak capek mengantarku. Seperti kemarin, acara gladi bersih untuk perpisahan.
Mana ada yang naik sepeda!”
Aku
mendesah. Negosiasi dengan anak-anak sekarang ternyata rumit. Berbagai fakta
kuungkap untuk lebih meyakinkan. Andai
aku hanya diam dan mempunyai sedikit kosakata, pasti aku sudah bertekuk lutut
padanya.
Kemarin
aku bertemu dengan ibunya Syarief, teman Ray sekelas. “Capek, bu. Saya harus mondar-mandir antar
jemput anak-anak. Biar Syarief bawa motor saja. Sebenarnya ya kuatir tapi saya
toh tidak sanggup lagi. Mau bagaimana lagi, semoga selamat.”
Ibu
Syarief hanya bisa berdoa. Pun ketika dia ditilang polisi. Orang tuanya yang
mondar mandir mengurus. Sejak kelas satu SMP dia telah biasa mengendarai motor.
Setelah itu dia menjadi lebih pintar, lebih lihai dan lebih hafal jalan untuk
menyelamatkan diri dari incaran polisi. Cerita seru Syarief selalu ditunggu
teman-teman sekolahnya. Mereka tak pernah bosan mendengar ceritan Syarief. Bahkan
Syarief inilah yang konon menginspirasi anak-anak agar tidak takut mengendarai
motor.
Syarief
anak terbesar di sekolah. Katanya rumahnya paling jauh, di pinggir kota ini.
Awalnya berangkat dan pulang sekolah masih diantar ibunya. Cuma bertahan dua
bulan. Setelah itu dia terbiasa naik sepeda sendiri. Semua perlengkapan
berkendara lengkap, hanya SIM saja yang belum punya.
Aku
menduga keinginan Ray mengendarai sepeda motor karena dorongan teman-temannya
yang tak pernah surut. Ray tak kehabisan akal. Karena aku tidak pernah
mengijinkannya mengendarai sepeda motor, maka teman-temannya secara bergantian
menghampirinya, mengajak bermain, mengerjakan tugas kelompok di rumah
teman-temannya, membeli peralatan sekolah.
Andai
aku tahu, pasti sudah kularang naik sepeda motor bersama teman-temannya. Namun
Ray cukup cerdik. Begitu temannya datang, langsung saja dia kabur. Pamit sambil
berlari bersama deru sepeda motor temannya. Berangkatnya dia dibonceng. Begitu
pulang gantian dia yang memboncengkan temannya.
Lagi-lagi
saya mendesah. Ugh... geregetan! Kecolongan berkali-kali itu tidak enak. Aku dan suami harus
berpikir lebih keras dan kreatif lagi.
Ciiit!
Mendadak saya mengerem motor. Sst...ada anak kecil yang mengendarai sepeda
motor. Dua anak kecil, kira-kira masih SD! Mungkin mau berbelok, tapi tidak
melihat spion, tidak melihat segala kemungkinan, amankah untuknya berbelok.
Untungnya aku sanggup mengerem. Memberi kesempatan motornya melintas telebih
dahulu.
Lain
lagi ceritanya jika berpapasan dengan jam kepulangan anak-anak SMU. Aduh, lebih
baik mengalah saja. Benar badan mereka besar-besar. Merasa bisa mengendarai motor, tapi akal
mereka belum dewasa, perilaku mereka di jalan masih seperti anak kecil. Kalau disalip
temannya langsung ditekan tombol gas. Ditambah riuhnya tawa mereka sepanjang
lampu merah, kadang saling dorong dengan kaki. Anak yang dibonceng mendorong
motor temannya yang ada didepan. Saling pukul. Mengapa juga bercanda di tengah
jalan. Apa tidak ada tempat lain!
“Lihatlah
anak itu mungkin masih SD. Cara berpikirnya masih sulit menjangkau masalah yang
ada di jalan raya,” kataku pada Ray.
Ray
mengangguk. “Aku tidak seperti itu, Bu. Aku tidak pernah ngebut apalagi
balapan. Aku juga selalu memakai helm, terus “klik”,” sanggah Ray
“Iya,
ibu percaya. Tapi masalah di jalan raya bukan hanya ngebut dan balapan. Banyak!
Makanya usia untuk mendapatkan SIM itu 17 tahun. Karena di usia tersebuat anak
sudah dianggap dewasa, bisa berpikir lebih baik dalam mengatasi masalah yang
ada di jalan. Termasuk mau mengalah untuk memberi jalan pada kendaraan lain.
Rambu-rambu yang ada di jalan itu bukan untuk pajangan tapi untuk memberi
keterangan pada para pengemudi.”
“Coba
kalau anak kecil, mana sempat membaca rambu-rambu di jalan,” imbuhku ketika
mengantarkan Ray membeli peralatan sekolahnya.
***
“Motor
ibu sudah bersih.” Ray menatapku berbinar. Tangannya masih membereskan lap,
selang dan cairan pembersih motor.
Aku
tersenyum. Selama ini Ray jarang mencuci sepedanya apalagi sepeda motor ibu.
“Boleh ya, bu. Sebentar saja.”
”Boleh
apa?” Aku penasaran.
“Pinjam
motor,” katanya lirih. Senyumnya mengembang tipis.
Tanpa
aku ijinkan membawa motorku, Ray sudah pergi bersama teman-temannya. “Kita
tidak ngebut, kok. Aman dan tertib dijalan, tante,” sahut teman Ray yang diamini oleh yang
lainnya.
“Tidak
usah kuatir tante, kita selalu memakai helm, terus klik,” anak-anak remaja itu
tersenyum meyakinkanku.
Betapaun
mereka berusaha meyakinkanku, tetap saja usia tak bisa berbohong. Wajah mereka
jelas masih belia. Rata-rata mereka
berusia 14 sampai 15 tahun.
Tanpa
berlama-lama mereka pamit. Memang teman-teman Ray yang datang selalu mengendari
sepeda motor. Kini kendaraan satu ini mudah saja dimilikinya. Fasilitas kredit
memungkinkan semuanya. Dalam satu rumah bisa lebih dari satu motor.
Aku
mondar mandir di depan rumah. Sudah hampir maghrib namun Ray tidak kunjung
pulang. Katanya sebentar, tidak sampai malam. Pikiranku jadi tak karuan. Kutelepon
Ray namun tak ada jawaban. Sudah lima panggilan tak terjawab.
Lepas
isya’ kuulangi lagi. Tetap tak ada jawaban. Risau hati ini. Aku segera pergi ke
rumah seorang teman sekolahnya, Andi. Tidak jauh, sekitar 600 meter dari sini.
Sayang
temannya ini juga belum pulang. Tadi pergi bersama Ray dan lainnya. “Sudah
biasa, bu. Nanti juga pulang. Mungkin belum selesai urusannya anak-anak, “ ujar
orang tua Andi. Dia juga tidak tahu nomor telepon teman-temannya.
Aku
pulang dan berharap Ray sudah tiba di rumah. Ternyata belum. Segera kuhubungi
wali kelasnya. Pasti menyimpan nomor telepon murid-muridnya. Bapak wali kelas
berjanji akan membantu.
Satu,
dua jam berlalu, tak ada kabar baik. Aku dan suami pergi ke rumah teman Ray
lainnya. Semua dengan harapan yang baik. Tak ada yang tahu keberadaan anak-anak
mereka. Aku masih berusaha menghubungi Ray, sayangnya sekarang Veronica ya
menjawab. “Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan.”
Air
mataku tumpah, luruh dalam senyap. Aku percaya pada Tuhan, aku percaya pada
takdirNya, aku percaya pada kuasaNya. Doaku
membungkus malam. Kuserahkan permohonan terbaik yang kupunya.
Sekitar
pukul 21.00, ada suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Aku bergegas
keluar. Jantungku sudah tak mengenal irama lagi, berdegup kencang tak
beraturan. “Ray!” teriakku. Kupeluk tubuh lelahnya. Aku terbelalak.
“Ehmm...
maaf, baru pulang. Aku mau mandi dulu.”
Aku
menggeleng. Aku butuh penjelasan. Aku sedang tidak ingin menunggu lebih lama
lagi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ray
menunduk. Wajahnya makin lesu. Ada Aroma keringat yang ingin segera dihapusnya.
Tapi kataku tidak. Aku ingin dia bicara. Aku membutuhkan penjelasannya. Sekarang!
Lalu
mengalirlah ceritanya. Maghrib, Ray dan teman-temannya sudah selesai
mengerjakan tugas. Jalanan sepi, kendaraan besar sesekali lalu lalang. Ray dan temannya melihat ada dua orang laki-laki
dengan jaket dan masker hitam bergerak cepat menarik tas seorang wanita. Tasnya
memang bagus dan terlihat “wah”. Setelah
mengambil isinya, tas itu dilembar begitu saja di jalan. Si wanita jatuh
tersungkur. Untungnya memakai helm standart, bisa melindungi kepala wanita itu
dari benturan keras. Ray mempercepat laju motor. Berhenti dan segera mencari
pertolongan.
Ray
dan temannya kesulitan mencari kendaraan. Waktu itu yang lewat hanya bus dan
truk. Akhirnya sebuah mobil berhasil dicegat dan bersedia mengantarkan korban
ke rumah sakit terdekat.
Urusan
di rumah sakit membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Ray dan temannya harus mengurus
pendaftaran, menghubungi keluarga korban dan menemani mereka di ruang gawat
darurat. Syukurlah luka si wanita terlalu tidak parah, tidak sampai menginap.
“Oh,
begitu, “ aku mengangguk percaya.
“Besok
temanku itu tidak bawa motor.”
“Memangnya
kenapa?” Dalam hati aku bersorak.
“Mau
dibawa kakaknya yang kuliah di luar kota. Biar tidak banyak mengeluarkan ongkos
bus, angkot,” ucap Ray. “Besok aku akan berangkat sekolah bareng dia. Naik
sepeda.”
Aku senang,
“Sepeda lebih aman, cocok buat
anak-anak. Sekarang ini sedang digalakkan bersepeda. Banyak acara fun bike,
sepeda santai, bike to work.”
“Itu
buat orang tua. Orang kerja,” cetus Ray.
“Kalau
baik buat orang tua, baik pula buat anak-anak. Menjaga kesehatan dan
keselamatan diri dimulai ketika masih anak-anak. Kalau tidak mau belajar, nanti
akan sulit untuk berubah. Seperti orang yang jarang memakai helm, nah, kalau
disuruh memakai helm biasanya susah. Ada saja alasannya. Yang jaraknya dekat. Masih
di kampung. Orang disini biasa tidak pakai helm. Semua alasan hanya untuk membenarkan
kepentingan dan kemauan kita. Jadi kurang bisa menyadari pentingnya helm untuk keselamatan
diri.”
Ray diam
dan mengangguk saja. “Mandi dulu, sana!” perintahku.
Esoknya,
seorang teman dengan sepeda warna hitam sudah menunggunya di depan pagar.
Mereka bergegas pamit. Ada cerita yang hendak dibagikan pada teman-temannya.
***
Suatu hari, ketika sudah mendapatkan SIM, Ray diperbolehkan ayah
dan ibu mengendarai motor. Meski bukan
motor baru, tetap saja Ray senang. Tak
lupa perlengkapan motor, membuat hati lebih tenang. “Benar kata ibu, naik motor
bukan untuk gengsi, melainkan untuk memudahkan urusan kita.”
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib,
Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Belum ada Komentar untuk "Lupakan Gengsimu, Nak!"
Posting Komentar
Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!