Efek Libur Panjang
Senin, 11 Januari 2016
Tulis Komentar
Sudah
seminggu ini, anak-anak memulai rutinitas sekolahnya. Bangun pagi, sholat
shubuh, siap-siap berangkat sekolah. Tapi masih saja ada rasa enggan. Apa
sebabnya?
Pagi
adalah saat dimulainya rutinitas. Memulai rutinitas pagi dengan suka cita. Termasuk
berangkat ke sekolah dengan gembira. Tapi lain lagi buat anak-anak. Bangun pagi
rasanya masih malas. Tubuh sudah menggeliat, namun mata sulit membuka.
Pernah
dalam suatu pagi si sulung membangunkan adiknya hingga empat kali. Bangun
tidur, bangun lagi dan tidur lagi. Begitu terus hingga hampir setengah tujuh.
Bagi saya yang penting sudah sholat. Itu dulu, deh.
Eh,
bagaimana dengan urusan sekolahnya? Kegiatan di sekolah memang belum kenceng
alias masih santai. Jadi belum banyak PR, tugas, ujian, dsb. Makanya mereka
masih berleha-leha.
Saya
tak ingin ini menjadi kebiasaan. Cukup melelahkan jika harus membangunkan
anak-anak berkali-kali. Urusan di dapur bisa terbengkalai. Belum lagi kalau
mereka terburu-buru, maka saya mesti ekstra siap membantu mengurus keperluan
sekolah. Mengingatkan perlengkapan sekolah yang mungkin terlupa akibat libur
panjang.
Masak
liburan disalahkan sih. Bukankah anak-anak sangat menikmatinya! Yup, benar! Tak
ada yang salah dengan masa-masa liburan. Yang ada hanya mengubah kebiasaan
santai dan bermalas-malasan. Itulah kebiasaan umum di masa liburan.
Kegundahan
saya di minggu awal ini akhirnya saya ceritakan pada guru-gurunyanya anak-anak.
Mereka tertawa, seolah cerita saya ini sudah berulang kali ada, bertahun-tahun
yang lalu. Ternyata... bukan hanya anak saya yang mengalami kemalasan. Hore!! Rasanya
ingin bersorak. Teman-temannya juga demikian. Eh, banyak lho, anak-anak yang
seperti ini. Datang ke sekolah terlambat.
Kalau
saya meminta segera bersiap ke sekolah biar tidak terlambat, eh anak-anak
bukannya buru-buru. “Lha, temanku itu (si A) datang terlambat.” Wah, si kecil
tidak mau disalahkan nih.
“Jadi
maksudnya apa ya, dek?”
Kalau
sudah terbiasa terlambat, maka anak tidak lagi merasa malu. Sebaliknya bisa
saja anak akan mengulanginya. Bagi anak TK tidak ada punishment, tidak ada yang
perlu ditakutkan. Enjoy menikmati kata “terlambat”. Tapi bukan demikian
maksudnya! Sejak kecil anak-anak perlu dibiasakan untuk mengerti waktu,
disiplin terhadap jadwal sekolah. Saya yakin kebiasaan baik di TK akan
berpengaruh di jenjang berikutnya.
Bahkan
guru-gurunya perlu memompa semangat untuk mendisiplinkan diri. Wah, mereka kan
menjadi contoh buat anak-anak di sekolah. Guru harus semangat agar anak-anak
tumbuh semangat.
Ada
anggapan libur adalah libur belajar.
“Aku
kan libur, masak disuruh belajar sih?” kata anak saya.
Okey,
kalau benar-benar harus buka buku pelajaran di sekolah, wah...pasti tidak mau.
Tapi kalau mengaji... tak ada libur ya! Setuju! Aih, senangnya saya.
Maka
ketika kebahagiaan di masa liburan usai, anak-anak tidak serta merta kembali
pada rutinitas. Selama seminggu kemarin itu waktu luang tetap saja diisi penuh
main-main. Sholat, mengaji tetap jalan!
Saya
tak bisa memaksa mereka menghadapi tumpukan buku-buku sekolah. Bukankah mereka
memilih untuk bermain. Ada masanya ketika mereka akan menghadapi buku-buku itu.
Biarlah
mereka bermain dengan gembira. Pada saatnya nanti mereka akan paham. Tak
selamanya anak-anak tersihir dengan efek libur panjang. Libur telah usai, tapi
belajar tak pernah usai. Sampai kapanpun belajar mempunyai arti yang
penting. Karena belajar bukan saja pada buku-buku teks pelajaran di
sekolah. Semua tempat di bumi adalah tempat untuk belajar. Apapun bisa menjadi
pelajaran yang berharga.
Belum ada Komentar untuk "Efek Libur Panjang"
Posting Komentar
Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!