Mengenangmu Sekali Lagi
Rabu, 09 Maret 2016
4 Komentar

Rombongan
anak-anak SD Teladan berkunjung ke kebun pepaya california milik pak Abbas. Anak-anak berlarian di kebun dan bersembunyi. Dua
orang guru pendamping memanggil mereka untuk berbaris rapi dan menyiapkan alat
tulis. Tugas mereka adalah menulis laporan hasil kunjungan. Sementara, Mas Ali,
yang menjadi orang kepercayaan Pak Abbas mendampingi mereka, menjelaskan cara
bertanam, perkembangbiakan dan perawatan pepaya.
Sementara
itu, seorang guru dan anak-anak yang tergabung dalam ekstra jurnalistik
mendekati pak Abbas. Sedikit wawancara, katanya, untuk liputan majalah sekolah.
“Apa
yang membuat pak Abbas serius menekuni bisnis ini?” guru memancing pertanyaan.
Keberhasilan pak Abbas dalam budidaya tanaman pepaya telah menginspirasi banyak
orang. Beberapa media telah menulis profil pak Abbas.
“Bukan.
Bukan bisnis. Ini tidak semata-mata untuk bisnis. Saya ingin mengenang
almarhumah istri saya. Saya menyesal, keinginannya berkebun baru terealisasi di
akhir hidupnya.”
“Jadi
ini cita-cita almahumah, begitu?” lanjut guru itu.
“Bisa
seperti itu. Tapi sejujurnya ini adalah cita-cita bersama setelah saya pensiun
dari tempat saya bekerja. Saya tak ingin menua dalam kesendirian. Bersama warga
sekitar saya mengajak mereka untuk berkebun, meningkatkan pendapatan dan
berdaya guna.”
***
“Dokter,
saya minta obat yang terbaik saja!”
Dokter
Rahma selesai menulis resep obat. Kemoterapi dihentikan. Kondisi ibu Dyah tidak
memungkinkan untuk kemoterapi saat ini.
Pak Abbas
mengangguk. Tak ada yang lebih penting saat ini daripada menemani istrinya.
Semua pekerjaan di rumah ditinggalkan. Pak Abbas mempercayakan semua pekerjaan
di kebunnya pada Ali. Dia sejak awal sudah ikut berkebun. Setahun terakhir ini sudah
cukup ilmu yang diserap dari pak Abbas.
Graha
Amerta lantai tiga, kamar no 13.
“Apa
kata dokter Rahma?” bu Dyah menggeliat, berusaha untuk bangun, namun terlalu
sulit. Pak Abbas segera membantunya. Memutar tuas bed hingga ujung bed sedikit tinggi dan punggung
bu Dyah lebih tegak seperti sedang duduk.
Pak Abbas
merenung. Sulit baginya mencari kata-kata yang tepat sebagai jawaban. “Tidak
apa...Ibu harus berjuang lebih keras melawan penyakit ini. Dan aku akan selalu
ada disamping ibu.”
Pak Abbas
memegang erat tangan istrinya. Janji itu adalah sebuah tanggung jawab yang
berat. Tapi pak Abbas selalu yakin. Dia akan berusaha keras mencari jalan untuk
kesembuhan istrinya.
Senyum
mengembang di bibir pucat Ibu Dyah. Pak Abbas menatapnya lekat-lekat seolah
khawatir senyum itu lenyap.
Empat
kali kemoterapi hanya membutuhkan waktu tiga sampai empat hari di rumah sakit.
Tapi kali ini tidak. Hampir tiga minggu, keadaan bu Dyah belum membaik. Dokter
tidak berkata jujur, pikir pak Abbas. Mengapa?
Sebagai
keluarga pasien, dia berhak tahu seperti apa kondisi sebenarnya. Seperti apa
pengobatan yang akan dilakukan berikutnya. Mengapa tidak ada kemajuan, dsb.
Seribu tanya tak mendapat jawaban yang terang benderang.
Dokter
hanya mengingatkan untuk menjaga pola makan, bersabar dan menerima dengan
ikhlas keadaan bu Dyah. Apa maksudnya? Pak Abbas menggerutu. Tidakkah mereka
tahu saya sedang membawanya berobat.
“Bosan!
Masakan rumah sakit tidak ada rasanya. Eneg jadinya. Aku ingin makanan yang
dimakan bapak.” Bu Dyah mengamati pak Abbas yang makan dengan lahap.
Pak
Abbas menghentikan makannya. Dia tahu istrinya tak boleh makan sembarangan.
Tidak! Tapi dia sangat menginginkannya. Tidak! Dia tidak mau makanan dari rumah
sakit. Daripada tidak makan! Tapi ini adalah pantangan...
Bibirnya
membuka tapi tak ada suara yang berhasil keluar. Ditahannya semua resah itu. Demi
istrinya, pak Abbas berbagi nasi bungkus. Bu Dyah hanya makan sedikit. Itu
lebih baik daripada tidak makan sama sekali. Juga demi menyenangkan hati
istrinya. Lupakan sejenak larangan dokter. Kita tak pernah tahu kapan bisa
menikmati saat seperti ini.
Pak
Abbas memendam gundah. “Ya Allah, jangan salahkan aku yang tak pernah tega
menolak keinginannya. Aku mencintainya. Aku ingin melihatnya bahagia, walau
hanya sedetik.”
Pernah bu
Dyah sengaja meminta dibelikan makanan dari luar. Dengan sigap pak Abbas
berburu makanan di warung terdekat. “Jangan lama-lama!” bu Dyah memperingatkan.
Semenit menunggu suaminya sama dengan satu jam. Televisi sudah menemaninya
sejak tadi. Setidaknya ada suara untuk mengusir sepi dan melupakan sejenak
sakitnya.
Pak Abbas
tak akan menceritakan pada dokter jika kadar gula istrinya naik, tensi naik
akibat makan di luar. Anggap saja itu adalah efek ringan. Rumah sakit
menyediakan banyak obat untuk menurunkannya. Para perawat akan segera
menanganinya dengan baik.
Hari ini
kondisi bu Dyah semakin menurun. Pak Abbas tak pernah meninggalkan ruangan bu
Dyah. Untuk makan saja, pak Abbas meminta tolong pada petugas cleaning service
membelikan nasi bungkus. Si mas akan berhati-hati agar tidak ketahuan pengawas
mereka. Sholat, makan, tidur di ruangan itu. Hanya untuk panggilan alam yang tak
tertahankan barulah pak Abbas masuk kamar mandi. Atau ketika berbicara dengan
dokter, demi menjaga perasaan istrinya pak Abbas berbicara di ruang perawat. Tak
pernah lama.
Perawat
datang mengantarkan makan siang. Menu kali ini adalah nasi lemes, sayur sop
labu, ikan dan tahu. Menu rumah sakit selalu sama. Sayur, lauk dibuat lunak
agar pasien mudah mencerna. Jangan tanya rasa! Bu Dyah sudah menolaknya
berkali-kali. Andai di rumah, dia memilih makanan yang pedas dan asin yang
menggugah selera.
“Makan
ya,” pinta pak Abbas.
Istrinya
hanya menggeleng tanpa bersuara. Sepatah dua patah kata yang keluar dari bibir bu
Dyah. Selebihnya hanya isyarat, seperti anggukan dan gelengan kepala. Semua
pasti sudah paham. Betapa penyakit kanker payudara yang dideritanya telah mencabut
segala kenikmatan dan keinginan yang tak akan pernah sempurna.
Bagi pak
Abbas lebih baik mendengar istrinya marah-marah daripada diam seperti ini. Marah
istrinya hanya efek dari sakit yang berkepanjangan. Emosi yang labil kata
dokter Rahma. Dengan luapan kemarahan itu dia tahu keinginannya, perasaannya
dsb.
Pak Abbas
mendekat, menatap mata istrinya yang sayu. Juga gurat-gurat derita yang
panjang. Jarak mereka hanya satu kepalan tangan. “Ayolah! Aku mohon.”
Kembali
dia menggeleng.
“Sedikit
saja.”
Tak ada
tanggapan.
Pak Abbas
menyerah. Ia tahu penyakit itu telah merampas selera makan istrinya. Hanya
cairan infus yang mengisi tubuh istrinya. Tak ada lapar, tak ada haus.
“Ibu
pengen apa?”
“Pengen
sembuh,” katanya lirih.
Pak Abbas
mendesah. Beban itu semakin berat di pundaknya. Sejak semalam bu Dyah kesulitan
tidur. Berbaring, duduk, berbaring lagi, begitulah seterusnya, sulit sekali
memejamkan mata meski kantuk mendera. Lelah menahan sakit, bu Dyah tertidur.
Hanya sebentar kemudian terbangun lagi dan mengeluh susah bernafas.
Pak Abbas
bergegas memanggil perawat. Selang oksigen dipasang di hidung istrinya. Sedikit
lega, pak Abbas tertidur pulas. Tiba-tiba istrinya terbangun dan mengeluh
sakit. Pak Abbas bangun dan memanggil perawat.
Akhirnya
dokter Herman, spesialis paru-paru yang datang. Bagaimana kondisi istri saya,
dok?” Hati pak Abbas berdebar. Akhir-akhir ini entah mengapa setiap bertemu
dengan dokter-dokter yang menangani istrinya, selalu was-was. Selalu merasa
bersalah telah memberikan makanan yang dilarang.
Pak
Abbas mengejar dokter Herman di ruang perawat. Dia memaksa dokter Herman bicara.
“Saya mohon, dok.”
“Saya
berusaha membantu ibu. Segalanya tidak mudah saat ini.” kata dokter Herman.
“Tapi,
dok... Saya yakin dokter punya cara untuk mengatasinya.”
“Kita
usahakan, pak. Kita tidak bisa memberikan janji.”
“Secepatnya
dok. Istri saya sudah sangat sakit.”
Seorang
perawat menyiapkan obat-obatan untuk para pasien. Dua lainnya memeriksa
berkas-berkas pasien. Seorang sibuk dengan teleponnya. Yang lainnya hilir mudik
melakukan tugasnya masing-masing. Lorong rumah sakit tampak senyap. Orang-orang
hilir mudik dengan perasaan hampa. Harapan itu antara ada dan tiada.
Pak Abbas
sudah kebal dengan aroma obat-obatan disini. Seperti rumah kedua, rumah sakit
ini telah akrab dengannya sejak tujuh bulan yang lalu. Keluar masuk rumah sakit
demi kesembuhan bu Dyah. Mobil telah dijualnya jauh sebelum datang ke rumah
sakit ini. Juga sisa uang pesangon dan perhiasan istrinya Terakhir adalah
sepetak tanah yang rencananya akan dijadikan perluasan lahan pembibitan pepaya.
Usaha
perkebunan milik pak Abbas mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sayang
saat itulah ujian datang. Bu Dyah divonis kanker. Usaha maksimal dilakukan
sebelum tindakan kemoterapi. Tak ada hasil.
Dokter
menjelaskan alat untuk menyedot cairan di paru-paru. “Nanti saya ambil cairan
di paru-paru. Sel kanker ibu Dyah sudah merambat ke bagian tubuh di sekitarnya.
Awalnya memang hanya di payudara kemudian merembet ke perut dan sekarang di
paru-paru.”
Pak Abbas
mendesah. “Ya Allah, kuatkan kami.”
“Kami
akan segera melakukan tindakan ini untuk mengurangi sesak nafasnya.” Dokter
memerintahkan perawat untuk mengambil alat untuk menyedot cairan yang merendam
paru-paru bu Dyah.
Pak Abbas
melangkah gontai. Apa lagi yang hendak dikatakan pada istrinya. “Bu, dokternya
mau ke sini lagi. Percayalah, nanti ibu sembuh.” Pak Abbas memaksakan diri
tersenyum. Berharap istrinya segera mengerti.
Menjadi
tua adalah sebuah kepastian. Tapi kehilangan seorang yang dicintai adalah
sesuatu yang tak diinginkan siapapun. Pak Abbas tahu, tak ada yang abadi. Tak
ada yang kekal menemaninya disini. Meski dia masih sanggup berdiri tegar
disamping istrinya. Allah berkehendak lain.
***
"Tulisan ini diikutkan dalam hana2ndgiveaway : cerpen romance kehilangan"
kehilangan org yang sangat dicintai memang menyakitkan :(
BalasHapushiks..hiks...benar mba
HapusCinta yang dipisahkan oleh maut :(
BalasHapusTerimakasih sudah berpartisipasi :)
Sama2 mba. Terima kasih atas hadiahnya...
Hapus