Jangan Katakan Mudik
Senin, 25 Juli 2016
13 Komentar
Euphoria mudik lebaran luar biasa pengaruhnya di
masyarakat. Dari orang kota hingga di pedalaman desa, ikut gegap gempita membicarakannya. Tak terkecuali anak-anak saya. Mereka ingin
menikmati segala kegaduhan ritual mudik.
Masalahnya kami mau mudik kemana? Lha, tinggalnya saja
di kampung halaman tercinta. Keluarga besar saya dan suami
tinggal
berdekatan. Kalaupun mau mengunjungi mereka tinggal naik motor sekitar 15 menit
sudah sampai. Setiap haripun bisa. Sepuasnya juga.
Ternyata anak-anak belum puas
dengan hanya berkunjung ataupun tinggal di rumah kedua kakek. Mereka benar-benar ingin merasakan mudik. Ah, mudik,
kenapa harus mudik! Sebelum balik ke kampung halaman saya sudah dan suami sudah sering mudik.
Dari Semarang, Jakarta, Sidoarjo, Surabaya hingga Bojonegoro. Sekarang tinggal
di Tuban. Masih di Jawa tapi yang penting sudah pernah merasakan mudik. Bahkan
sewaktu mereka masih kecil-kecil sudah ikut mudik. Tapi mereka sudah lupa. Lha
masih balita. Naik kereta api, bus hingga menyewa mobil. Lalu sekarang ingin
menikmati hidup damai tanpa mudik kok disuruh mudik!
Demi menyenangkan anak-anak, suami mempunyai rencana
untuk mengajak kami menemaninya bekerja di Pasuruan. Anggap saja ini sedang
mudik. Eh, balik mudik. Karena bertepatan dengan hari pertama PNS masuk kerja.
Mau mudik, balik mudik, jalan-jalan, bagi
kami
sepertinya sama saja.
Saya menangkap maksud anak-anak mudik itu dengan
melakukan perjalanan jauh. Ya, kalau dari rumah hingga Pasuruan kira-kira 4 jam
perjalanan dengan mobil pribadi. Kalau di jalan sedang sepi bisa lebih cepat
lagi.
Persiapan sangat mendadak. Karena sebenarnya kami
tidak ada rencana membawa keluarga ke tempat kost suami. Ya, benar, disana suami saya ngekost. Menyewa satu kamar
untuk kami tempati berlima. Bisa dibayangkan betapa sumpeknya si kamar
menyambut kedatangan kami.
Karena tanpa rencana, maka makanan, pakaian dan
perlengkapan pendukung “mudik” ini termasuk sangat sederhana. Biasanya saya masih sempat menyiapkan
sarapan untuk dimakan di perjalanan. Tapi ini cuma membawa biscuit lebaran. Si
sulung mudah lapar. Makanan seperti ini sekejap saja berubah menjadi angin.
Nah, untungnya anak-anak tertidur di mobil. Urusan makan tertunda
sejenak.
Demi untuk mengganjal perut, setibanya di Pasuruan,
kami mampir di klepon Rapi. Berutung sekali, hari itu tersedia klepon rasa
buah. Setelah mencicipi testernya kami pilih klepon original (pandan), melon,
anggur, dan coklat. Lumayanlah kue basah itu bisa bertahan beberapa waktu di
dalam perut sampai tiba di rumah kost.
Masalah
makan, karena kami ngekost, lebih sering membeli makanan. Saat mencari makan
itulah yang membuat saya sedih. Harus menunggu hingga suami pulang kerja. Saya
tidak begitu mengenal daerah ini. Di depan rumah adalah jalan raya, yang biasa
dilalui kendaraan besar. suara truk yang menderu masuk hingga ke kamar. Kadang sampai
kaca bergetar. Pokoknya disini tidak pernah sepi kendaraan. Juga bising dan
polusi yang aduhai menyengat. Ditambah debu yang mendarat dengan cuma-cuma.
Kalau
sudah begini rasanya ingin pulang saja. Di rumah bisa masak sepuasnya. Tapi disini,
harus tabah jika dengan menu yang sama. Tidak perlu peduli dengan menu lengkap.
Yang penting bisa makan saja. Kalau sudah begini ingat jaman masih mahasiswi
yang mesti ngirit untuk bertahan hidup. Maklum anak kost!
Akhirnya,
saya membuka kompor portable. Membeli sayuran di warung. Sesekali sempat
memasak. Lupakan lauk pauk. Kalau sekedar tahu, tempe dan telor masih ada. Di
dalam kamar kost itu disediakan meja dapur dan wastafel. Masak dengan menu
sederhana inipun terasa nikmat. Anak-anak mengerti, tak perlu meminta yang tak
mungkin. Yang penting kami bisa berkumpul bersama. Karena bagi kami berkumpul
layaknya keluarga yang utuh itu terasa berat.
Meski
ngekost, anak-anak masih bisa bermain. Di dalam kamar kost mereka bisa bermain lego, membaca buku, nonton teve dan ngegame. Yang terpenting tetap membaca Al Qur'an.
Disini halamannya cukup luas. Bisa dipakai untuk bermain bulu tangkis bertiga. Si sulung melawan kedua adiknya. Si kecil paling suka berlarian mengejar ayam “kate”. Ayam ini tubuhnya mungil sehingga tampak lucu. Setiap dikejar selalu berhamburan tak tentu. Kadang terbang dan tak pulang ke kandangnya.
Disini halamannya cukup luas. Bisa dipakai untuk bermain bulu tangkis bertiga. Si sulung melawan kedua adiknya. Si kecil paling suka berlarian mengejar ayam “kate”. Ayam ini tubuhnya mungil sehingga tampak lucu. Setiap dikejar selalu berhamburan tak tentu. Kadang terbang dan tak pulang ke kandangnya.
Di
hari kerja/sekolah halaman ini biasa dipakai sebagai tempat parkir anak-anak
sekolah dan karyawan. Ramai sekali. Kadang juga anak-anak sekolahan suka
nongkrong di depan rumah.
Agar
suasana Ramadhan masih terasa, suami sering mengajak kami sholat di masjid-masjid.
Dari yang paling dekat yaitu masjid di belakang rumah kost hingga di dekat
alun-alun Bangil. Yang paling berkesan adalah sholat di masjid Manarul Islam. Disini
saya senang sekali mendengarkan bacaan surat-surat Al Qur’an yang merdu. Surat yang
agak panjang tidak terasa lama karena begitu nikmat. Meski imannya
berganti-ganti tapi bagi saya semuanya keren. Membuat hati ini adem dan damai. Andai bisa ingin saya rekam saja.
Tapi saya sedang mengikuti sholat. Huh!
Setelah
selesai sholat baru terasa deh, keringat yang bercucuran. Kepala jadi gatal
karena basah oleh keringat. Bagi saya, ini adalah perjuangan dalam memantaskan
diri sebagai muslimah. Berusaha bertahan demi menjaga diri. Jangan sampai
karena hal yang sepele ini bisa buka tutup jilbab.
Selain
itu sebagai seorang ibu, saya berusaha memberikan contoh bagi ketiga anak
laki-laki saya. Hijab bukan sekedar penutup kepala, tapi bukti kepatuhan
seorang hamba. Tentang kepatuhan inilah yang menjadi dasar keyakinan dan kekuatan untuk melangkah lebih jauh.
Di
setiap perjalanan pasti ada kisah yang bisa dipelajari. Kadang langkah ini
gontai. Kadang saya ingin berlari saja agar segera tiba di tujuan. Tapi kadang
pula ingin berhenti. Saya selalu
percaya. Dialah yang akan menguatkan saya di setiap langkah yang saya ayun.
Tentang
perjalanan ini jangan katakan mudik. Kalau mudik banyak keluarga yang menanti
dan menyambut kedatangan kami sedangkan disini, siapa pula yang peduli dengan
kami. Disini kami menjadi perantauan. Mudah-mudahan di masa mendatang anak-anak
terutama si kecil akan mengerti. Tidak menagih ritual mudik ala perantauan yang
dilihat di media. Karena kami tidak mudik!
So,
bagi para muslimah sejati jangan pernah ragu untuk istiqomah di jalanNya. Tak ada
yang mudah. Tapi tak ada yang mungkin untuk dipelajari. Jika Anda para hijaber,
mari kita dukung hari hijaber nasional pada tanggal 7-8 Agustus 2016. Ada acara
seru di masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Bertemu dengan para hijaber akan meneguhkan keyakinan
dan mempererat persaudaraan.
Tulisan
ini diikutsertakan dalam lomba blog CERIA.
Wah demi memenuhi keinginan anak2 merasakan mudik ya mbak :)
BalasHapusMudik ala saya alias jalan-jalan.
HapusSukses sama lombanya ya Mbak...
BalasHapussaya belum dapat ide, mau nulis apa di CERIA ini, hehehe...
Teh Okti mah banyak idenya.
Hapusmudik demi nyenengi anak2 tercinta.. serunya.
BalasHapussemoga sukses ngontesnya :)
Makasih mba Muna.
HapusDitambahin mbak, jangan katakan mudik kalau tidak lewat Brexit ( Brebes Exit) :)
BalasHapusMba Yuni, Aku pingsan duluan...
Hapustapi senang ya mba bs mengabulkan keinginan anak2 untuk "mudik"
BalasHapusKira2 seperti itu...yang penting bisa jalan-jalan.
HapusAh, yang namanya anak-anak, memang yang dicari adalah perjalanannya. Padahal, buat orang dewasa, mudik dan menghabiskan waktu berjam-jam di perjalanan itu bikin pinggang sakit. *pengalaman pribadi* hehe
BalasHapusHa..ha...pengalaman mudik, capek di jalan. Tapi tetep rindu mudik, rindu keluarga di kampung halaman.
HapusKalau anak kecil sukanya behayal, seperti pake pintu kemana saja, lalala .. aku sayang sekali doraemon :-)
BalasHapus