Jangan Katakan Mudik




Euphoria mudik lebaran luar biasa pengaruhnya di masyarakat. Dari orang kota hingga di pedalaman desa, ikut gegap gempita membicarakannya. Tak terkecuali anak-anak saya. Mereka ingin menikmati segala kegaduhan ritual mudik.

Masalahnya kami mau mudik kemana? Lha, tinggalnya saja di kampung halaman tercinta. Keluarga besar saya dan suami tinggal berdekatan. Kalaupun mau mengunjungi mereka tinggal naik motor sekitar 15 menit sudah sampai. Setiap haripun bisa. Sepuasnya juga.

Ternyata anak-anak belum puas dengan hanya berkunjung ataupun tinggal di rumah kedua kakek. Mereka benar-benar ingin merasakan mudik. Ah, mudik, kenapa harus mudik! Sebelum balik ke kampung halaman saya sudah dan suami sudah sering mudik. Dari Semarang, Jakarta, Sidoarjo, Surabaya hingga Bojonegoro. Sekarang tinggal di Tuban. Masih di Jawa tapi yang penting sudah pernah merasakan mudik. Bahkan sewaktu mereka masih kecil-kecil sudah ikut mudik. Tapi mereka sudah lupa. Lha masih balita. Naik kereta api, bus hingga menyewa mobil. Lalu sekarang ingin menikmati hidup damai tanpa mudik kok disuruh mudik!

Demi menyenangkan anak-anak, suami mempunyai rencana untuk mengajak kami menemaninya bekerja di Pasuruan. Anggap saja ini sedang mudik. Eh, balik mudik. Karena bertepatan dengan hari pertama PNS masuk kerja. Mau mudik, balik mudik, jalan-jalan, bagi kami sepertinya sama saja. 
Perjalanan lancar.

Saya menangkap maksud anak-anak mudik itu dengan melakukan perjalanan jauh. Ya, kalau dari rumah hingga Pasuruan kira-kira 4 jam perjalanan dengan mobil pribadi. Kalau di jalan sedang sepi bisa lebih cepat lagi.

Persiapan sangat mendadak. Karena sebenarnya kami tidak ada rencana membawa keluarga ke tempat kost suami. Ya, benar, disana suami saya ngekost. Menyewa satu kamar untuk kami tempati berlima. Bisa dibayangkan betapa sumpeknya si kamar menyambut kedatangan kami.  

Karena tanpa rencana, maka makanan, pakaian dan perlengkapan pendukung “mudik” ini termasuk sangat sederhana. Biasanya saya masih sempat menyiapkan sarapan untuk dimakan di perjalanan. Tapi ini cuma membawa biscuit lebaran. Si sulung mudah lapar. Makanan seperti ini sekejap saja berubah menjadi angin. Nah, untungnya anak-anak tertidur di mobil. Urusan makan tertunda sejenak.

Demi untuk mengganjal perut, setibanya di Pasuruan, kami mampir di klepon Rapi. Berutung sekali, hari itu tersedia klepon rasa buah. Setelah mencicipi testernya kami pilih klepon original (pandan), melon, anggur, dan coklat. Lumayanlah kue basah itu bisa bertahan beberapa waktu di dalam perut sampai tiba di rumah kost.

Masalah makan, karena kami ngekost, lebih sering membeli makanan. Saat mencari makan itulah yang membuat saya sedih. Harus menunggu hingga suami pulang kerja. Saya tidak begitu mengenal daerah ini. Di depan rumah adalah jalan raya, yang biasa dilalui kendaraan besar. suara truk yang menderu masuk hingga ke kamar. Kadang sampai kaca bergetar. Pokoknya disini tidak pernah sepi kendaraan. Juga bising dan polusi yang aduhai menyengat. Ditambah debu yang mendarat dengan cuma-cuma.

Kalau sudah begini rasanya ingin pulang saja. Di rumah bisa masak sepuasnya. Tapi disini, harus tabah jika dengan menu yang sama. Tidak perlu peduli dengan menu lengkap. Yang penting bisa makan saja. Kalau sudah begini ingat jaman masih mahasiswi yang mesti ngirit untuk bertahan hidup. Maklum anak kost!

Akhirnya, saya membuka kompor portable. Membeli sayuran di warung. Sesekali sempat memasak. Lupakan lauk pauk. Kalau sekedar tahu, tempe dan telor masih ada. Di dalam kamar kost itu disediakan meja dapur dan wastafel. Masak dengan menu sederhana inipun terasa nikmat. Anak-anak mengerti, tak perlu meminta yang tak mungkin. Yang penting kami bisa berkumpul bersama. Karena bagi kami berkumpul layaknya keluarga yang utuh itu terasa berat.
 
Mainan ini akhirnya dibongkar dan dibawa jalan-jalan.
Meski ngekost, anak-anak masih bisa bermain. Di dalam kamar kost mereka bisa bermain lego, membaca buku, nonton teve dan ngegame. Yang terpenting tetap membaca Al Qur'an.

Disini halamannya cukup luas. Bisa dipakai untuk bermain bulu tangkis bertiga. Si sulung melawan kedua adiknya. Si kecil paling suka berlarian mengejar ayam “kate”. Ayam ini tubuhnya mungil sehingga tampak lucu. Setiap dikejar selalu berhamburan tak tentu. Kadang terbang dan tak pulang ke kandangnya.

Di hari kerja/sekolah halaman ini biasa dipakai sebagai tempat parkir anak-anak sekolah dan karyawan. Ramai sekali. Kadang juga anak-anak sekolahan suka nongkrong di depan rumah.

Agar suasana Ramadhan masih terasa, suami sering mengajak kami sholat di masjid-masjid. Dari yang paling dekat yaitu masjid di belakang rumah kost hingga di dekat alun-alun Bangil. Yang paling berkesan adalah sholat di masjid Manarul Islam. Disini saya senang sekali mendengarkan bacaan surat-surat Al Qur’an yang merdu. Surat yang agak panjang tidak terasa lama karena begitu nikmat. Meski imannya berganti-ganti tapi bagi saya semuanya keren. Membuat hati ini adem dan damai. Andai bisa ingin saya rekam saja. Tapi saya sedang mengikuti sholat. Huh!

Setelah selesai sholat baru terasa deh, keringat yang bercucuran. Kepala jadi gatal karena basah oleh keringat. Bagi saya, ini adalah perjuangan dalam memantaskan diri sebagai muslimah. Berusaha bertahan demi menjaga diri. Jangan sampai karena hal yang sepele ini bisa buka tutup jilbab.

Selain itu sebagai seorang ibu, saya berusaha memberikan contoh bagi ketiga anak laki-laki saya. Hijab bukan sekedar penutup kepala, tapi bukti kepatuhan seorang hamba. Tentang kepatuhan inilah yang menjadi dasar keyakinan dan kekuatan untuk melangkah lebih jauh.

Di setiap perjalanan pasti ada kisah yang bisa dipelajari. Kadang langkah ini gontai. Kadang saya ingin berlari saja agar segera tiba di tujuan. Tapi kadang pula ingin berhenti.  Saya selalu percaya. Dialah yang akan menguatkan saya di setiap langkah yang saya ayun.

Tentang perjalanan ini jangan katakan mudik. Kalau mudik banyak keluarga yang menanti dan menyambut kedatangan kami sedangkan disini, siapa pula yang peduli dengan kami. Disini kami menjadi perantauan. Mudah-mudahan di masa mendatang anak-anak terutama si kecil akan mengerti. Tidak menagih ritual mudik ala perantauan yang dilihat di media. Karena kami tidak mudik!

So, bagi para muslimah sejati jangan pernah ragu untuk istiqomah di jalanNya. Tak ada yang mudah. Tapi tak ada yang mungkin untuk dipelajari. Jika Anda para hijaber, mari kita dukung hari hijaber nasional pada tanggal 7-8 Agustus 2016. Ada acara seru di masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Bertemu dengan para hijaber akan meneguhkan keyakinan dan mempererat persaudaraan. 

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog CERIA.

Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

13 Komentar untuk "Jangan Katakan Mudik"

  1. Wah demi memenuhi keinginan anak2 merasakan mudik ya mbak :)

    BalasHapus
  2. Sukses sama lombanya ya Mbak...
    saya belum dapat ide, mau nulis apa di CERIA ini, hehehe...

    BalasHapus
  3. mudik demi nyenengi anak2 tercinta.. serunya.
    semoga sukses ngontesnya :)

    BalasHapus
  4. Ditambahin mbak, jangan katakan mudik kalau tidak lewat Brexit ( Brebes Exit) :)

    BalasHapus
  5. tapi senang ya mba bs mengabulkan keinginan anak2 untuk "mudik"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kira2 seperti itu...yang penting bisa jalan-jalan.

      Hapus
  6. Ah, yang namanya anak-anak, memang yang dicari adalah perjalanannya. Padahal, buat orang dewasa, mudik dan menghabiskan waktu berjam-jam di perjalanan itu bikin pinggang sakit. *pengalaman pribadi* hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha..ha...pengalaman mudik, capek di jalan. Tapi tetep rindu mudik, rindu keluarga di kampung halaman.

      Hapus
  7. Kalau anak kecil sukanya behayal, seperti pake pintu kemana saja, lalala .. aku sayang sekali doraemon :-)

    BalasHapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel