Suara Kita
Senin, 10 Oktober 2016
24 Komentar
Assalamualaikum,
Adakah
yang pernah merasa terganggu oleh suara orang lain? Atau ada yang komplain
karena suara kita? Bisa jadi suara terlalu kencang ketika orang lain sedang
tidur. Hahaha.. Ehm, tapi kedua-duanya tidak menyenangkan.
Mari
kita lihat dua scene berikut. Semoga bisa dijadikan pelajaran, terutama buat
saya.
Scene
pertama
Cerita
ini bermula ketika saya menghadiri pengajian ahad pagi di sebuah masjid di
Tuban. Awalnya saya dan juga para jamaah lain mendengarkan dengan tenang. Tiba-tiba
ketenangan itu terusik oleh suara seorang wanita.
Saya
tidak berada di dalam masjid, namun di teras sebelah selatan. Saya yakin semua
orang yang berada disini pasti mendengar suara ini. Bahkan beberapa yang berada di
dalampun masih mendengar. Nah, orang-orang yang merasa terganggu ini saling
pandang. Menelisik ke semua penjuru, demi mencari sumber suara.
Oh
ternyata suara itu berasal dari toilet. “Mungkin orangnya sedang telpon. Makanya
suaranya kenceng banget,” gerutu orang-orang. Tapi kita masih diam. Sambil berharap
suara di toilet itu segera berakhir.
Dalam hati saya bertanya, "Mengapa kalau telpon mengapa di area toilet?" Sambil menebak keberadaan “orangnya”, kami
berusaha tenang. Sesekali menengok lagi ke arah toilet yang dibatasi dinding.
Ini
masjid. Tempat ibadah kita. Semua yang datang ke masjid pasti sadar dengan
aturan yang tertulis maupun tidak. Apalagi saat ini jelas-jelas sedang ada
pengajian. Pernah ada handphone yang berbunyi, langsung ditegur ustadz saat itu
juga. Kalau sudah niat menghadiri pengajian, lebih baik handphone dimatikan
atau tidak perlu dibawa saja. Cuma satu jam saja kok.
Entah
apa yang dibicarakan disana. Suaranya bersaing dengan Kang Yoto (penceramah,
bupati Bojonegoro). Kami masih saling pandang dan berusaha menangkap suara Kang
Yoto. Meski kadang kalah juga dengan suara orang di toilet itu.
Sekitar
sepuluh menit atau lebih, ada seorang ibu yang masuk ke area toilet. Beberapa pasang
mata dengan sigap mengikuti langkahnya. Sambil menebak apa yang akan terjadi
selanjutnya.
Suara
berisik itupun berakhir. Lega. Semua bisa mendengar suara Kang Yoto dengan
jelas lagi.
Lalu
siapakah yang berisik tadi? Dua orang wanita yang tidak tahu bahwa suara merdunya
mengganggu orang-orang.
Case
closed. Saya senang karena memang tidak ada yang menyalahkan kedua orang ini. Namun
saya yakin dengan teguran dari ibu tadi, mereka merasa menyesal sekali.
Scene
kedua
Suatu
hari saya dikomplain oleh tetangga terdekat, “Mbak Nur, kok suaranya kedengaran
sampai di rumahku.”
Melongo
sejenak. Sedih juga dikatakan seperti itu. “Apa! Jadi selama ini dia mendengakan pembicaraanku dari rumahnya. Kok
bisa?” tanya saya dalam hati. Sambil berpikir, mencari jawaban yang sekiranya
tidak mempermalukan diri sendiri.
Saya
berpikir, pada saat apa ya, kok sampai terdengar? Jangan-jangan selama
bertahun-tahun dia menguping suara yang keluar dari rumah saya. Meski yang
bisik-bisik sekalipun. Oh, Tidak! Jangan!
Tak
ada seorangpun yang suka jika pembicaraannya didengarkan orang lain. Meski cuma
masalah sepele dan tidak penting.
“Oh,
mungkin pas saya lagi marah sama anak-anak. Teriak-teriak manggil mereka. Solae,
manggil, minimal tiga kali baru datang. Atau nyuruh apa sama anak-anak.” Terserah
mau dianggap ngeles atau apa. Tapi saya tak merasa ada orang yang mendengarkan
suara saya, selain keluarga dan si mbak. Atau mungkin saya yang kurang bisa
mengontrol emosi sehingga jadinya seperti ini. Oh, no!
Pertanyaan
selanjutnya dari si tetangga, “Kalau aku, kedengaran nggak?”
Saya
ingin berkata jujur tapi... “Nggak!” Hanya itu yang terucap. Saya berharap
hatinya tenang mendengar jawaban saya.
Saya
tidak tega untuk mengatakan “iya”. Demi menjaga perasaan tetangga, lebih baik
saya bilang tidak saja. Meski saya sendiri sedih dikatakan seperti itu. Terus,
saya mikir obrolan apa saja yang sempat didengarkan si tetangga itu. Semoga
saja hanya hal-hal kecil seperti yang saya duga.
Pada
beberapa kasus pastilah suara tetangga terdengar juga sampai di rumah saya. Pertama,
jika kita berada berada di teras dan halaman belakang mudah masuk ke rumah
tetangga. Atau kalau pintu rumah sedang terbuka. Terdengar dong! Kedua, setelah
ini jangan ngomong kenceng-kenceng.
Dengan
teori seperti ini saya paham kalau suara saya atau lainnya pasti dengan leluasa
memasuki setiap lubang di rumahnya. Apalagi kalau pintu rumahnya sedang terbuka. Was...wis...wus..
Kesimpulan:
- Berpikir sebelum bersuara. Bolehlah dikatakan seperti itu agar tidak ada kata-kata yang bablas. Meskipun di dalam rumah dan berada di ruang yang private, tetap menjaga kesopanan. Eaa...di rumah sendiri mau ngomong apa sih masih harus mikir!
- Sadar. Ya, meski di dalam rumah, tetap sadar apa yang kita bicarakan. Termasuk efeknya, buat keluarga maupun buat tetangga. Kira-kira nih kalau sedang marah sama anak-anak apakah sampai mengganggu tetangga?
- Tidak ada satupun suara kita yang luput dari pengawasanNya. Ya, dengan berpikir seperti itu kita akan berpikir berkali-kali sebelum bersuara. Wong sama tetangga saja terdengar!
- Suara kita (baca: ibu) pastinya adalah contoh buat anak-anak. Semoga apa yang kita ucapkan bisa dijadikan teladan buat mereka. Misalnya nih, di rumah tidak pernah ngomong kotor, insyaAllah anak-anak bisa membedakan mana perkataan baik dan tidak. Pengaruh seperti itu bisa datang dari manapun. Dan keluarga memiliki andil besar dalam membentuk karakter anak.
Anak
saya tiga laki-laki semua. Satu sedang belajar di luar kota. Sedangkan dua
adiknya masih tinggal bersama saya. Saya rasa untuk anak-anak aktif seperti
mereka saya butuh ektra tenaga. Termasuk dalam bersuara. Tapi kemudian saya
katakan kepada mereka untuk lebih lembut. Apakah kemudian anak-anak tidak bikin
rusuh? Oh tidak!
Kadang-kadang
saya terlalu berharap kepada dua anak ini. Ya, berharap agar mudah diatur,
lebih mandiri, dsb. Tapi yang namanya anak-anak tetap kan ada lebih banyak masa
untuk menikmati saat-saat kanak-kanak. Masa yang penuh dengan permainan. Ada banyak
cerita yang bikin kita berusaha memakluminya. Please deh!
So,
setelah kejadian ini saya ingin lebih sadar diri. Apa yang saya ucapkan, apa
yang saya lakukan, efeknya. Lebih sadar usia. Lebih sadar sekitar. Jangan bikin
gara-gara lagi. Pasti nggak banget kalau ada yang komplain seperti itu.
^_^
bener mba, akupun sejaka tinggal ama suami, krn rumah kita bukan komplek, dan deket dengan rumah tetangga, berusaha aja utk ga ngomong terlalu kenceng... kalo utkku yg jujurnya ga sabaran, kdg nyiksa banget sih ;p.. harus manggil anak2 dgn suara lembut ;p.. beberpa kali kelepasan marahin anak pasti pernah :D.. tp slma ini moga2 sih kalo berantem ama suami msh bisa kontrol diri supaya tetangga ga denger, dan anak2pun ga tau :).
BalasHapuskalo tetangga yg suaranya sampe kemana2, itu mah kita malah udh maklum ;p.. namanya aja rumah ga kedap suara, awal2 mungkin terganggu, tapi lama2 ya biasa, dan jd ga perhatian lg ama suara apapun yg terdenger ;D
Apalagi kalau si tetangga super sensitif, sedikit-sedikit diomongin.
HapusHihi... makasih sdh diingatkan. Bener lho..kadang2 sy suka kelepasan.😀
BalasHapusSama dong, mba.
HapusWaaah... Self reminder banget ini. Kalo lagi ngomelin anak-anak, saya sering gak sadar ngomong kenceng. Duh... Malu. :D
BalasHapusSama dong.
HapusHmmm.. jadi mikir, suara aku kedengeran tetangga ngga ya.. hihihi. Kadang cape bikin tersulut emosi & teriak, suka sirik sama orang yg bisa lemah lembut ngomong sedangkan suara aku tinggi & sengau bikin aneh #eh kok curhat
BalasHapusKadang kita yang ngomong suka nggak ngerasa ya.
HapusAku pernah dengar pas di commuterline ada yang telepon suaranya gede sekali. Sampe satu gerbong liatin tapi kayaknya doi nggak ngerasa. Hihiii
BalasHapusLagi asyik nelpon jadi lupa sama sekitarnya.
HapusSejak mempunyai anak saya juga menjaga apa yang diucapkan karena apa yang diucapkan anak cerminan orang tua :D
BalasHapusCocok!
HapusMakasiih sudah diingatkan ya, Mbak. Iya nih. Saya termasuk orang yg punya suara kencang. Waktu pulang ke rumah ortu, meski belum keluar rumah, tetangga sudah tau saya datang. Katanya suaranya kedengeran. Hehehe...
BalasHapusWah, aku ada temannya...hihihi.
HapusPernah ngalami sebagai pelaku yg bersuara keras jg mba:) telp di lantai dua pas ada acara training eh temen yang dibawah pada komplain..hihi..efek bawaan bahasa sehari hari jg si
BalasHapusAduh ketahuan deh.
Hapuspernah dengar *tapi lupa dengar dari mana* kalo suara perempuan itu adalah auratnya.
BalasHapusterimakasih sudah diingatkan Mba :)
Iya mba.
HapusAku punya tetangga, volume suaranya mmng keras. Nggak ngerti gawan bayi kayaknya. Jadi ngomong biasa aja...kita tetep denger.
BalasHapusEh..aku klo manggil anak pulang maen, kenceng juga😀 klo nggak kenceng dikiranya nggak serius suruh pulang...masih dinego.."sebentar lagi"
Bulikku ada yang suka ngomong keceng. Dulu pernah kerja dipabrik, sering berada di ruangan bising. jadinya kebawa ngomong kenceng.
HapusMenjaga lisan memang sudah sepatutnya hal yang selalu kita ingat dan lakukan ya mbak :)
BalasHapusSemoga istiqomah ya.
HapusAku loh mba suaranya mirip toa masjid. Jaman SMK sampe sering di culik anggota paskib buat jadi pemimpin upacara. Karena SMK biasanya jumlaj cowo sedikit terutama saat yang bertugas jurusan sekretaris. Klo pun ada cowo di kelas (satu dua orang) mereka kabut atau suaranya dan ketegasannya gak bisa di harapkan. Tapi emang keturunan sih dari ayah saya heehehe
BalasHapusHahaha..nggak apa mba.
Hapus