Dia!
Rabu, 07 Desember 2016
Tulis Komentar
Lega
itu setelah melewati masa penantian menjelang pernikahan. Laki-laki itu telah
resmi menjadi suami ustadzah Fida. Aura bahagia tak henti-hentinya terlukis di
wajah kedua mempelai. Mereka siap membentangkan sayap mengarungi samudra
pernikahan.
Tak
ada yang perlu dikhawatirkan sekarang. Tentang lika-liku perasaannya sebelum
menikah, tentang harapannya dan jodoh. Laki-laki itu telah membuatnya jatuh
cinta jauh sebelum ada rencana pernikahan.
Awal
perkenalan mereka terjadi pada saat acara penyerahan bantuan pada korban
bencana alam. Kedatangan laki-laki itu sebagai perwakilan dari kantornya. Dia
yang ikut bagi-bagi barang kebutuhan buat para korban. Karena satu tujuan
akhirnya mereka sempat berkenalan. Demikian juga teman-teman lainnya.
Kedua
kalinya mereka bertemu di acara reuni sekolah. Benar jika ada yang mengatakan
dunia terasa sempit. Ketemu lagi dan lagi. Ternyata laki-laki itu adalah kakak
kelasnya. Bagaimana mungkin mereka tak tahu? Satu-satunya jawaban adalah karena
mereka tak saling kenal dan tidak peduli satu sama lain.
Mengenang
masa itu membuat mereka geli. Obrolan hanya seputar sekolah, masa remaja dan
guru-guru yang galak. Yang terakhir itulah yang paling dikenang. Yang banyak
karena kenangan buruk. Masih terngiang kata-katanya, “Guru-guru itu sebenarnya
tidak galak, tapi disiplin. Kita saja yang nggak nurut. Lalu kena hukuman.”
Laki-laki
itu tidak peduli dengan hukuman. Dia bersama teman-temannya bahagia menerimanya.
Dijemur dibawah matahari hingga dicubit itu sudah biasa. Dipanggil kepala
sekolah juga pernah. Tidak ada yang melawan karena mereka tahu mereka bersalah.
Tidak pula merasa dendam karena mereka percaya yang dilakukan oleh guru-guru
itu demi menegakkan disiplin di sekolahnya. Apa jadinya jika anak-anak bandel,
nakal, suka membolos, dsb, dibiarkan saja. Mungkin mereka ini akan mengajak dan
memaksa anak baik-baik untuk ikut serta. Lalu memboikot sekolah. Gawat!
Pendidikan karakter bakal gagal total.
Kejujuran
yang memalukan! Harusnya yang begini ini disimpan saja. Tapi kalau dia tidak
cerita, bagaimana dia tahu masa lalu suaminya. Mungkinkah masih ada lagi
kejutan buatnya? Atau dia yang harus mencari tahu?
Ustadzah
Fida tersenyum masam. Tidak pernah terbersit sedikitpun di kepala ustadzah
memiliki suami tipe ini. Jauh dari bayangannya. Idealnya seorang suami adalah
teladan yang baik, kelak buat anak-anaknya. Tidak ada lucu-lucuan maupun
kenakalan model begini.
Seperti
dalam novel-novel religi yang pernah dibacanya. Tokoh yang baik, mendapatkan
pasangan yang baik. Angan-angan itu telah diterbangkan jauh. Lalu, dia melirik
ke arah suaminya. Benarkah laki-laki yang tampak pendiam ini sebenarnya
memiliki watak yang berseberangan?
Sebagai
seorang guru, ustadzah Fida bisa mengambil banyak pelajaran dari kasus
kenakalan anak. Seperti pengakuan suaminya, “Sebenarnya aku cuma ikut-ikutan
saja. Tapi kadang juga sering lupa. Lupa pakai dasi padahal hari Senin. Dan
lupa-lupa lainnya.”
“Pasti
guru-guru itu masih ingat sama Mas.”
Laki-laki
itu terkekeh. Dia semakin akrab.
Sekarang
ketika mengenang masa itu, dia seperti sedang menemukan teman untuk berbagi
masa lalu. Ceritanya bagai dua sisi mata uang yang belum pernah dilihat
ustadzah. Percayakah dia? Tapi laki-laki itu seolah bisa menebak apa yang
sedang dipikirkan.
Ustadzah
Fida menolak membahas itu lagi. Tidak menarik!
Setelah
menikah, ustdzah Fida tetap menjalani pekerjaannya sebagai seorang guru. Dia
membuat beberapa catatan tentang pekerjaannya. Tidak lagi memberikan pelajaran
tambahan. Karena itu bisa menyita waktunya bersama suami. Tidak lagi berangkat
bareng Alfi. Karena kadang-kadang suaminya yang mengantar dan menjemput. Mengurangi
kegiatan diluar sekolah kecuali dia yang menjadi penanggung jawabnya.
Masalah
berangkat bareng Alfi itu bunda sependapat. Jadi sekarang bunda sendiri yang
harus mengantar anaknya. Bunda ingin memberikan keleluasaan buat ustadzah Fida.
Maklum pengantin baru, butuh waktu untuk adaptasi terhadap pasangan, butuh
waktu untuk menikmati waktu bersama, dan butuh untuk dimengerti.
Sampai
satu bulan kemudian ustadzah Fida tidak pernah main lagi ke rumahnya. Rasanya
kehidupan ustadzah sudah jauh berbeda. Setiap keluar rumah ustadzah Fida sering
bersama suaminya.
Kondisi
Alfi sudah membaik. Kakinya sudah bisa bergerak dengan nyaman. Sudah bisa jalan-jalan
dan sekolah. Alfi lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Jika kak Amel
ingin mewarnai, dengan terpaksa Alfi ikut membantunya. Alfi juga ikut merapikan
semua mainan kak Amel. Meskipun dia tidak bermain.
Kadang-kadang
karena terdorong rasa bosan, dia jalan-jalan di sepanjang gang rumahnya. Ketika
melewati rumah ustdazah dan melihatnya sedang menyiram bunga, ada keinginan
untuk mampir sejenak. Tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Pulang saja.
Pernah
suatu kali, ustadzah memergokinya. Dia tersenyum dari balik daun-daun segar
tanamannya. “Main disini Alfi.”
Alfipun
berhenti. Sejenak hatinya ragu. Dia ingat pesan bunda, “Jangan mengganggu
ustadzah.” Bukankah selama ini dia tidak pernah mengganggunya. Dia hanya
bermain bersama. Kak Amel juga begitu.
Tak
lama kemudian dia mendengar sebuah mobil berhenti di depan rumah ustadzah.
Perasaannya menjadi tak nyaman. Dia tidak mengenal suami ustadzah. Belum pernah
sekalipun bicara dengannya.
Suami
ustadzah bilang tidak apa-apa Alfi bermain disini. Tapi dia segan saja. Bicara
dengan orang baru membuatnya khawatir. Jangan-jangan dia tidak suka pada anak
kecil. Tapi melihat dia menyapa tadi rasanya kok tidak.
Alfi
berpikir lebih baik pulang saja. Ustadzah dari tadi juga ngobrol terus sama
suaminya. Senyum-senyum dan saling lempar canda. Alfi menjadi makhluk asing
diantara mereka berdua.
Alfi
yakin ustadzah dan suaminya tidak peduli lagi dengan kehadirannya. Dia menjadi
sangat kecil dibandingkan kedua orang dewasa di depannya. Kemudian dia
menemukan kesadarannya. Dia tak perlu
berlama-lama lagi disini. “Ustadzah, aku pulang.” Cepat saja dia melangkah
tanpa peduli dengan jawaban ustadzah.
***
Kak
Amel masih sibuk dengan buku gambarnya. Crayon pemberian ustadzah Fida sudah
kecil sekali. Sudah waktunya membeli yang baru. Mungkin bunda belum tahu.
Kak
Amel berteriak menghampiri Alfi. Mengajaknya mewarnai. Rasanya bosan sekali.
Masak setiap hari disuruh mewarnai. Memang tidak perlu satu halaman selesai.
Baginya yang penting mau duduk disampingnya dan sedikit membantu mewarnai saja.
Tapi Alfi bosan begini terus. Bosan tiap hari disuruh mewarnai.
Alfi
duduk lantai keramik kecoklatan. Punggungnya disandarkan pada dinding yang
banyak coretan. Sambil mewarnai dia bercerita kalau baru saja bermain ke rumah
ustadzah.
Kak
Amel melonjak. Dia juga ingin bermain ke rumah ustadzah. Bertemu dengan
ustadzah membuatnya memiliki semangat baru. Dia senang berada di dekatnya.
“Tidak
bisa,” kata Alfi begitu saja.
Kak
Amel tidak mau tahu. Ditariknya tangan Alfi sekuat tenaga. Alfi menolak. Dia berpegangan
pada kaki kursi kayu jati. Makin lama kursi itupun bergeser. Perlahan meninggalkan
derit yang menyayat hati.
Nenek
tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya. Sambil menyisir rambutnya yang sudah
memutih, dia berteriak dan melerai mereka. Sisir yang menempel di atas
rambutnya jatuh seketika. Nenek memegang tangan Amel dan Alfi.
Tenaga
nenek tak cukup mampu mengatasi keduanya. Nenek jatuh di lantai. Kedua anak
itupun berhenti. Kak Amel memandangi nenek yang meringis menahan sakit di
punggungnya. Maklumlah nenek sering mengeluh sakit ketika hendak berdiri. Mau
berdiri susah. Apalagi habis jatuh seperti ini, makin susah saja berdiri.
“Besok
aku bilang sama ustadzah. Kalau ketemu di sekolah,” kata Alfi acuh. Setidaknya
dia tidak diteror dengan rencana untuk datang ke rumah ustadzah sekarang.
“Si...ni..!”
“Iya,
kalau mau suruh ustadzah kesini. Kalau nggak mau ya...nggak jadi kesini.” Jawab
Alfi sekenanya.
Esoknya,
Alfi lupa dengan janjinya kepada kak Amel. Padahal begitu dia datang langsung
saja disambut di depan pintu. Tapi tidak menanyakan apakah dia sudah bilang
sama ustadzah atau belum. Alfi merasa aman. Teror itupun berhenti.
Beberapa
hari berlalu, kak Amel tidak pernah menanyakan ustadzah lagi. Namun tiba-tiba
saja ustadzah datang ke rumah. Membawakan kue brownies yang legit itu. Alfi
tidak di rumah.
Kak
Amel bersorak melihat kehadiran ustadzah. Dia bisa mewarnai lagi. Wajahnya
selalu cerah. Kata-katanya sepatah-patah. Maksudnya ingin bercerita tentang
semua gambarnya. Ustadzah menebak-nebak saja ketika melihat kedua
tangannya yang bergerak-gerak. Sambil sesekali mengangguk. Itu sudah cukup
membuat kak Amel senang.
Kak
Amel juga memperlihatkan semua crayon yang kecil-kecil. Semakin sulit saja
dipakai. Dia meraih pensil warna milik adiknya. Alfi tidak pernah protes.
Dibiarkan saja kak Amel. Sudah ada beberapa yang patah. Alfi yang mesti
merautnya agar kak Amel mudah menggunakan. Kalau kak Amel yang meraut bisa
sampai habis. Ganti yang lain. Terus saja sampai habis semua pensil warna ini.
Sebelum
pulang, ustdazah bilang mau membelikan crayon baru. Yang isi dan warnanya lebih
banyak, sesuai dengan permintaan kak Amel.
Alfi
baru datang ketika ustadzah pulang. Dia langsung saja mencomot brownies yang
legit itu. Satu potong terasa masih kurang. Ambil lagi. Tapi kak Amel tidak
mau. Dia meraih snack yang tadi pagi dibelikan nenek di warung tetangga. Seperti
hari-hari sebelumnya, nenek senang memebelikan snack ini. kak Amel habis
banyak. Kadang sampai tak makan nasi.
“Us...us...e...nyak!”
Tangan kanannya mengacungkan snack itu tinggi-tinggi. Dia merasa snack itulah
yang paling enak.
Bunda
tidak pernah ada waktu buat berlama-lama di dapur. Urusan memasak lebih banyak
dikerjakan oleh nenek, kecuali menyiapkan makan pagi. Bunda sendiri tidak
pernah libur.
Di
saat seperti ini kadang Alfi ingin menjadi anak ustadzah saja. Bisa belajar
bersama, dibuatkan kue dan ada waktu untuk menikmati sepotong sore bersama.
Tapi itu tak mungkin. Ustadzah bukan ibunya.
Alfi
puas menikmati brownies. Perutnya kenyang, seolah tak perlu lagi makan malam.
Bunda datang. Ditangannya ada dua dua kotak. Alfi mendekat. Dia semakin penasaran dengan isinya. Dua nasi
kotak dengan lauk ayam crispy kesukaannya. Tapi Alfi sudah tidak berminat.
Beberapa
hari kemudian, ustadzah datang lagi. Biasanya dia tidak pernah lebih dari
setengah jam. Kak amel sudah bisa memegang pensil dengan baik. dia selalu
berteriak-teriak ketika bisa membuat coretan. Dan ustadzah akan memberikan
tepuk tangan yang meriah.
Alfi
memperhatikan mereka. Sesekali ustadzah mengajaknya belajar bahasa Inggris.
Mengenalkan benda-benda yang ada disekitarnya. Menanyakan kembali. Kadang lupa kadang ingat.
Kak
Amel selalu meminta perhatian ustadzah. Baru ngomong sebentar saja dengan Alfi,
dia marah. Entah bunyi apa yang keluar dari mulutnya, yang jelas dia tidak
suka. Kalau sudah begini, ustadzah hanya akan fokus kepadanya.
Alfi
melengos dan pergi.
***
Hujan
turun sesaat ketika ustadzah hendak pergi ke rumah Alfi. Seperti kebiasaannya
beberapa hari ini. Seminggu bisa dua kali main-main bersama Amel. Memang tak
lama, tapi anak itu sungguh-sungguh menunggunya.
Ustadzah
Fida memutuskan untuk berangkat saja. Jaraknya dekat saja. Lagipula dia bisa
membawa payung. Tapi makin lama hujan semakin deras disertai petir yang
menyambar-nyambar, membuat dia harus menunggunya hingga agak reda.
Niat
berkunjung itupun harus diundur. Beberapa hari ini, setiap sore selalu turun
hujan deras. Ya, sudah, semoga saja mereka bisa mengerti. Sampai ustadzah
sendiri lupa. Dia asyik dengan setumpuk buku yang menunggu giliran dibaca sambil menunggu suaminya pulang.
Tanggung. Besok-besok bisa main-main lagi.
***
Suatu
sore yang mendung, kak Amel mulai marah, mengacak-acak semua buku gambar yang
ada di meja ruang tamu. Nenek tak mampu mengatasinya. Alfi menelpon bunda. Bunda
berjanji segera pulang.
“Jadi
apa maumu?” Nenek mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan. Memasukkan ke
dalam kresek dan membuangnya ke tempat sampah di depan rumah.
“Sudah,
jangan dibuang-buang lagi. Sampah!” Tubuh nenek terasa lemas melihat
kertas-kertas yang berterbangan di dekatnya.
Kertas
habis. Tinggal buku gambarnya. Dia merasa terlalu sayang untuk merobeknya. Kak
Amel mengangguk. Beberapa kertas dipunguti dan diserahkan kepada nenek. Ruang
tamu kembali bersih.
“Aiii!”
kedua mata kak Amel menyapu ruangan. Tak ada adiknya disini. Mungkin dia sudah
pergi.
Kak
Amel bangkit. Nenek berteriak, “Disini saja mainnya!”
Tiba-tiba
saja kak Amel sudah lari ke jalan. Alfi berteriak memanggil nenek. Benar saja,
dugaan Alfi. Kak Amel berhenti di rumah ustadzah Fida. Dia menggedor pagar
hitam minimalis setinggi 1,5 meter.
Suara berisik itu dekat sekali. Ustadzah mengintip dari balik gorden putih. "Amel!" Dia menjerit, gelisah. Dia
segera keluar dan membukakan pintu.
“Siapa
dia?” tanya suami ustadzah Fida.
"Anak
tetangga. Namanya Amel. Dia suka menggambar dan mewarnai." Ustadzah mempercepat langkahnya menyambut mereka.
“Ayo
duduk disini!” Anak-anak diajak masuk ke ruang tamu.
Mata
kak Amel menjelajahi setiap sudut ruangan. Kursi-kursi jati yang berdiri kokoh
dan meja kayunya sudah tak menarik lagi. Dia tak mau duduk. Matanya lalu
berhenti menatap benda-benda yang
menempel di dinding ruang tamu. Dia berdiri dan mengamati satu per satu benda
itu. Merasa asing, dia ingin menyentuh, tapi tangannya tak mampu menggampai.
Lettering
yang dibingkai kayu berwana coklat tua ini cukup menarik perhatian kak Amel. Tulisan
itu seperti sedang menari-nari. Tinta tebal dan tipis dirangkai indah. Membuat
sebuah lingkaran seperti bola.
Ustadzah
membuatnya beberapa tahun yang lalu. Ketika musim liburan sekolah. Satu gambar
bisa sehari, kalau fokus. Kadang bisa berhari-hari. Daripada menganggur di
rumah lebih baik membuat sesuatu.
Teman-temannya
sempat memuji lettering ini. Bahkan ada yang minta dibuatkan. Satu dua teman
dekatnya pernah dibuatkan ustadzah. Selanjutnya dia menolak. Dia merasa masih
jauh dari sempurna. tulisannya banyak yang mencontoh di internet. Sama persis.
Bedanya hanya bingkai untuk canvas saja.
Membuat
kata-kata indah itu mudah. Semudah ketika seorang dilanda kegalauan. Itulah
salah satu penyebab dia suka dengan kata-kata motivasi. Karena kata-kata
positif akan mendorong seseorang melakukan kegiatan positif. Minimal berpikir
positif dulu.
Kak
Amel masih berdiri di bawah pajangan itu. Berharap ustadzah akan
mengambilkannya. Tapi tidak. Benda itu sangat berharga. Bukan karena nilainya.
Biaya produksinya tak seberapa dibandingkan dengan ketelatenan menulis. Setiap
kata yang ditulis murni karena ungkapan hatinya. Inilah satu-satunya yang
orisinal. Dua lainnya termasuk kategori mencontoh.
Ustadzah
mendekatinya dan memberikan sebuah buku kecil. ada gamar-gambar lucu. Cocok
buat anak-anak yang belajar membaca. Kak Amel tak beranjak dari tempatnya. Dia
merengek sambil menunjuk ke arah pajangan di atasnya. Tidak mau yang lain.
Di
saat seperti ini, ustadzahpun merasa bingung. Apa dan bagaimana seharusnya. Dia
berbeda. Dia memaksa ustadzah mengenal karakter istimewanya.
Ustadzah
biasa menangani anak-anak bermasalah di kelasnya. Dia bisa langsung
memanggilnya, mengajak diskusi dan membuat perjanjian dengannya. Si murid akan
patuh, kalau tidak, akan ada sanksi lainnya. Urusan beres. Tapi dengan Amel. Dia
harus mencari cara lain.
Keadaan
semakin tak terkendali ketika kak Amel melompat-lompat menggapai pajangan itu. Ustadzah
merangkulnya, mengajaknya bicara meski tak ada hasilnya. Sesekali dia tampak
diam. Tapi keinginan itu terlalu kuat untuk dikendalikan. Dia memaksa ustadzah.
Di
dalam ruang tamu masih ribut. Suara teriakan kak Amel terdengar juga oleh suami
ustadzah yang sudah berpindah ke kamar. “Ada apa?”
Ustadzah
memperkenalkan Alfi dan Amel. Alfi berdiri mematung. Mereka sudah pernah
berkenalan beberapa hari lalu. Sementara kak Amel...apakah suami ustadzah juga
menyukainya?
Merasa
ada yang aneh, suami ustadzah menanyakan dua anak yang sedang bertamu ini. Wajah
kak Amel jelas saja berbeda.
Mereka
adalah anak-anak hebat yang ingin dekat dengan ustadzah. Suami ustadzah
memandangi kedua anak itu dan berlalu. Tapi keributan kak Amel tidak kunjung
berhenti. Mengganggu sekali hingga suami ustadzah bolak balik melihat mereka. Memastikan semuanya baik-baik saja seperti janji ustadzah Fida.
Dengan
sopan, ustadzah meminta mereka pulang saja. Toh, sebentar lagi maghrib. Alfi
mengangguk. Tapi tidak dengan kak Amel.
Sepuluh menit kemudian, bunda
datang dan memaksa kak Amel pulang.
Begitulah
awal huru hara ustadzah dengan suaminya.
“Tidak
usah bermain ke rumahnya. Juga dia tak perlu datang kesini. Menyusahkan saja.”
Ustadzah
Fida belum pernah bercerita tentang Amel. Baginya ini adalah masalah yang tak
perlu dibagi bersama suaminya. Khawatir saja akan ada celah yang membuatnya
berbeda pendapat. Kenyataannya seperti itu.
Tapi
tekadnya sudah bulat. Dia cuma menghabiskan waktu sekitar 30 menit hingga satu
jam untuk bersama Amel. Mengapa tidak boleh? Tidak akan mengganggu pekerjaan
apapun. Dia selalu berada di rumah ketika suaminya di datang. Lalu mengapa
dilarang?
Ustadzah
mendesah, seharusnya memang tidak ada yang terganggu. Tidak perlu
dipermasalahkan.
“Mengapa menghentikan les buat murid-muridmu?”
"Ehm...itu
sudah keputusanku. Aku tidak mau terlalu sibuk. Aku ingin ada waktu buat Mas.”
“Benarkah?”
“Bagaimana
dengan dua anak tadi?”
Hening. Mengapa jadi seperti ini. Sesuatu yang tak pernah terlintas sedikitpun di benaknya. Bahwa kehadiran Amel bisa jadi memperkeruh hubungannya dengan suami.
“Tidak
mau dengan murid-murid disekolah tapi dengan anak itu mau. Sama saja bukan?”
Laki-laki itu menatapnya tajam. Kepercayaan itu sedikit pudar.
“Mending
tetap kasih les saja. Kamu tetap berhubungan dengan murid-murid itu dan tentu
saja bisa membantu mereka. Sementara dia? Siapa namanya?”
“Amel.”
“Iya.
Buat apa? Itu urusan orang tuanya. Kamu tidak perlu bersusah payah seperti ini.”
“Aku
cuma main-main saja. Itu tidak mengganggu waktuku.”
Ustadzah Fida tak terlalu peduli dengan kata-kata suaminya. Dia sudah memikirkan
baik-baik sebelum memberhentikan semua murid yang ikut les di rumahnya. Semua
pilihan pasti ada resikonya. Termasuk berkurangnya pendapatan dari hasil les.
Tapi itu tidak penting. Sudah ada suami yang mencari nafkah.
Sejak
berhenti memberikan les, ustadzah memiliki waktu luang di rumah. Ustadzah bisa
menikmati hobinya, lettering dan membaca novel-novel yang masih menumpuk di rak
buku. Ada beberapa teman yang memberinya hadiah sebelum menikah.
Pernikahan
tidak seperti dongeng prince dan princess. Tokoh utama yang menemukan jalan
cintanya dengan bahagia. Happily ever after. Ustadzah Fida merasa seperti sedang memasuki pintu misteri. Sesekali
dia mendapat kejutan. Kadang dia butuh merenung. Tapi dia mesti melangkah. Tidak
lagi sendirian. Ada seseorang yang akan menggenggam tangannya. Merengkuh semua
rasa yang pernah dikhawatirkan. Pernikahan membuatnya belajar banyak hal.
Tentang pasangan, tentang masa depan, dan tentang toleransi. Sejauh ini dia
masih bisa berjalan beriringan.
Amel.
Nama itu selalu memenuhi memori di kepalanya. Dia telah menyeret ke dalam dunia
yang berbeda. Yang memaksanya untuk tetap melangkah. Tapi kemudian ragu.
“Dia!
Haruskah aku menjauh? Sampai kapan?” Diabaikannya kebimbangan ini.
Dia akan
melangkah. Seperti rencana semula.
Ustadzah
tetap bertemu dengan Alfi dan Amel. Dua anak itu membuatnya merasa sangat
beruntung. Apa sih yang lebih membahagiakan daripada membuat mereka bahagia?
Sederhana saja, ketika Amel menunggunya di depan pintu. Rasanya dia sangat berharga
sekali. Setiap langkahnya terasa ringan saja. Setiap kata-katanya menjadi
sesuatu yang diperhatikan.
Jujur,
tak ada keinginan yang muluk. Ini semata-mata untuk kebaikannya sendiri.
Ustadzah tidak mendapat apapun. Tidak uang ataupun penghargaan. Tapi ada
secercah kebahagiaan ketika menatap wajah Amel. Melihat tangan kanannya
mengayun mantap. Membuat goresan-goresan yang lebih rapi. Membuat gambar yang
lebih enak dipandang.
Tak
ada yang bisa menghalanginya untuk bertemu Amel. Tidak juga suaminya. Semuanya
akan baik-baik saja. Semoga.
#BlogtoBook
^_^
Belum ada Komentar untuk "Dia!"
Posting Komentar
Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!