Panggilan Hati
Minggu, 04 Desember 2016
1 Komentar
Kak
Amel menatap punggung ustadzah Fida. Secepat itukah dia pergi. Dia belum sempat
menunjukkan gambarnya. Dia masih ingin bermain. Dia suka ustadzah Fida. Dia
baik pada Amel.
Cerita sebelumnya...
Kak Amel menjerit. Tangannya semakin kuat mencengkeram lengan ustadzah. Memaksanya hingga masuk lagi ke dalam rumah. “Usss....usss...” suaranya mendesis.
Kak Amel menjerit. Tangannya semakin kuat mencengkeram lengan ustadzah. Memaksanya hingga masuk lagi ke dalam rumah. “Usss....usss...” suaranya mendesis.
“Iya,”
ustadzah Fida menatapnya tajam. Ustadzah tak punya pilihan untuk mengelak. Di saat marah seperti ini tenaga dia menjadi berlipat-lipat. Dia
mengerti. Tak tega meninggalkannya begitu saja. Mungkin beberapa menit cukup
untuk mengikuti kemauannya.
Ustadzah menyerah. Tubuhnya bergerak mengikuti kak Amel.
“Uss...uss..”
teriak kak Amel lagi.
“Bu...bu...ku...”
Satu tangannya menunjuk ke atas meja. Ada setumpuk buku gambar miliknya. Juga
crayon pemberian ustadzah. Sudah patah-patah lagi. Tapi masih bisa digunakan.
Ustadzah
Fida menatapnya, hatinya gerimis. Satu buku diambilnya. Dibukanya perlahan.
Gambar-gambar yang masih berantakan tapi dia ingin memuji dan memberinya
semangat. “Gambar Amel bagus. Sudah banyak perubahan. Ustadzah suka.” Pujian
itu diakhiri dengan tepuk tangan ustadzah.
Wajah
kak Amel cerah. Dia tertawa kecil. Kedua tangannya memeluk ustadzah Fida.
Ustadzah
Fida sangat terharu. Bagaimanapun juga dia belajar memahami keinginan Amel. Satu
jalan untuk dekat adalah dengan ikut ke dalam dunianya namun tak perlu larut.
Belajar dari kata-kata yang sepatah-patah. Sering tak jelas pula. Gerakan
tangannya untuk menunjukkan maksud hatinya. Ditambah emosi yang masih sulit
dikendalikan. Ah, tentu tak mudah bergaul dengan anak seperti ini.
Dia
merasa pertemuannya sudah cukup. Dia tidak memberikan tugas menggambar lagi.
Biarlah Amel menggambar sesukanya. Nanti kalau ada waktu lagi, mungkin akan
sesekali datang.
Ustadzah
menghela nafas panjang. Niatnya sudah kuat. Dia harus segera pulang. Dia
percaya, Amel akan baik-baik saja. Lalu, berkata lirih, “Besok-besok kita
ketemu lagi ya.”
Kak
Amel menggeleng. Dia menginginkan ustadzah Fida disini. Ya, bersamanya mewarnai
buku-buku gambar ini. Masih banyak yang belum diwarnai. Seperti waktu kemarin.
Hanya mereka berdua.
Ustadzah
tidak bisa memenuhi keinginannya. Amel histeris lagi. Ustadzah mengajaknya
bicara baik-baik. Tangannya membelai lembut rambut kak Amel yang acak-acakan.
Entah
apa yang dibisikkan di telinganya, kak Amel diam. Sorot matanya penuh tanya.
Tak akan pernah ada jawaban. Kak Amel harus tahu, tak semua keinginannya harus
dipenuhi. Bahkan oleh orang yang disayangnya.
Hening.
Ustadzah Fida pulang.
Perasaan
ini sungguh aneh. Ustadzah Fida merasa ada yang menusuk-nusuk relung hatinya. Tentang
Amel. Dia tidak memiliki hubungan kekerabatan sedikitpun dengannya. Mereka baru
saling mengenal. Belum bisa dikatakan akrab meski akhir-akhir ini sering
bertemu.
Andaikan
nenek tak sibuk mengurus Alfi mungkin sudah duduk bersamanya dan bercerita
tentang Amel. Nenek selalu tampak sedih memikirkan masa depan Amel. Apa yang
bisa dilakukan oleh seorang cucu yang tak sempurna?
Ustadzah
Fida tak bisa berkata apa-apa. Hanya menjadi pendengarnya. Dia sendiri kurang
paham dengan Amel. Ya, gadis yang menariknya dalam dunia yang samar.
Adakah
yang aneh ketika ustadzah Fida dekat dengannya? Dia tidak seperti
murid-muridnya di sekolah. Dia anak yang istimewa, yang dikirim Tuhan untuk
menyentuhnya.
Anak
malang. Bukan! Harusnya dia bahagia. Masa kanak-kanak tak akan terulang lagi.
Tidak juga. Dia mungkin tak bisa membedakan bahagia dan sedih. Sesuatu yang
jauh itu bernama perasaan.
Mungkin
setelah ini ustadzah Fida akan jarang bertemu dengan Alfi dan Amel. Mereka
sungguh anak-anak yang cantik. Mereka berbakat. Pasti itu. Hanya saja, tak ada
seorangpun yang tahu kehebatan Amel. Termasuk ustadzah Fida.
Yeah,
setelah ini pasti ustadzah Fida lebih sibuk dari biasanya. Tentang pesta
pernikahan, adakah yang bisa membantunya lagi? Lalu melepaskan semua masalah
kepada orang-orang yang dipercaya. Tapi bukankah sudah ada yang mengurusnya. Hahaha..
ada saja hal-hal yang perlu didiskusikan bersama keluarga. Tamu yang
berdatangan. Urusan sekolah. Dan mungkin ada hal-hal diluar perkiraannya yang
akan menyita sepanjang waktunya.
Jalan
menuju rumah sudah dekat. Tapi keraguan itu mengapa tak kunjung hilang. Tentang
pernikahan, tentang masa depan, pekerjaan dan ya tentu saja Amel.
Dia
yakin Alfi mau mengerti. Entahlah. “Bagaimana dengan Amel, apa yang bisa kuperbuat
untuk gadis itu,” ustadzah bergumam, berpikir keras mencari jalan keluar yang
semestinya bisa dilakukannya, saat ini atau esok.
Menjadi
seorang guru bukan sekedar mengajar mata pelajaran. Ada sesuatu yang
memanggilnya. Nurani. Adakah yang pernah merasakan seperti ini?
Dia
tidak pernah merasa sekacau ini. Di satu sisi, persiapan pernikahan sungguh
menyita banyak tenaga dan pikiran. Kadang cuma masalah sepele tapi cukup
mengganggu tidurnya. Ibu yang selalu ingin tahu perkembangan persiapan
pernikahannya. Semua berita harus diupdate. Hal yang menurutnya sangat sepele
sekalipun. Tidak boleh menunggu hingga nanti.
Lupakan...lupakan
saja masalah pernikahan. Tak akan pernah ada habisnya membahas ini. Antara
keraguan dan keinginan, mana yang lebih dahulu menguasai hati.
Pikiran
ustadzah Fida berkelana, menjelajahi setiap file pertemuannya dengan Amel,
gadis berambut keriting yang senang menggambar. “Iya, dia suka menggambar. Lalu
mengapa aku ajari bicara. Tapi bicara itu penting. Dengan cara apa aku mengertinya jika tak ada suara. Dia bahkan kesulitan mengingat sebuah kata yang baru
saja diucapkan. Aneh. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk dia.”
Jujur,
ustadzah Fida ingin datang lagi ke rumah itu. Bertemu dengan gadis-gadis cantik
yang luar biasa. Bukan masalah uang. Disini tak ada uang. Tapi perasaan halus
yang menekan-nekan setiap langkahnya. Ada sesuatu yang memanggilnya. Gadis
dengan sorot mata yang datar.
Mungkin
apa yang selama ini dilakukan bersama Amel tidak berhasil. Tidak ada perubahan
yang berarti sebelum bersamanya maupun sesudahnya. Semuanya bergerak lambat.
Mungkin juga sia-sia.
Separah
itukah keadaan Amel?
Ustadzah
berusaha untuk meyakininya, suatu saat nanti dia akan berkembang. Kalau boleh
dikatakan sekarang masih dalam tahap pembibitan. Masih harus bersabar hingga
muncul kuncup-kuncup yang diidamkannya. Entah sampai kapan?
Ustadzah
tidak peduli dangan perkataan miring dari para tetangga. Sindiran maupun ejekan
yang jelas-jelas ditujukan kepada keluarga Amel. Apakah mereka yang
menghidupinya? Apakah mereka terganggu? Apakah mereka takut tertular?
Kalau
kata bu Rini, tetangga di depan rumahnya, sejak awal kedatangan keluarga Amel
sudah tak suka. Jelas-jelas menunjukkan di depan umum. Saat belanja di tukang
sayur langganan seringkali menyindir Amel. atau saat ada arisan dasa wisma. Ada
saja hal tak penting yang menjadi bahan obrolan mereka.
Bu
Rini mungkin tak tahu apa itu down syndrome. Dia juga tak mau peduli dengan penderitanya.
Menyalahkannya karena kena kutukan adalah sesuatu yang tak masuk akal. Dia
berharap ada anggota keluarga di rumah Amel yang mendengarkan kicauannya.
Meresponnya lalu membuat kegaduhan yang sama ketika Amel berteriak-teriak. “Itu
anak bikin huru-hara tiap hari.”
Jelas
saja hal-hal konyol semacam itu semakin memperkeruh suasana kompleks perumahan
ini. Nenek maupun bunda rupanya sudah kebal dengan omongannya. Tak ada yang mau
bermain dengan Amel. Tak ada yang peduli. Alfi juga tak ada teman disini.
Selain memang tak ada anak yang seumuran dengannya juga rata-rata orang tua
keberatan mampir ke rumah mereka.
Tuhan
tak pernah salah dalam menciptakan makluknya. Tak ada yang patut dituntut. Lalu
mengapa, kita manusia yang tak pernah mau mengerti dan menerima apa kehendak
Tuhan. Termasuk menerima Amel. Dia tidak pernah meminta dilahirkan dalam
keadaan seperti ini. Tidak pernah! Dia bahkan tidak tahu untuk apa dia
dilahirkan ke dunia ini. Dan hidup tetap berjalan entah sesuai dengan keinginan
kita maupun tidak.
Lalu
bunda, harusnya wanita bersahaja itulah yang mengurusnya dengan baik.
Mengajarinya, mengajaknya bicara dan bermain, mengasah kemampuannya. Dan tentu
saja melatih kemandiriannya. Tapi bunda tak selalu ada disisinya. Bunda pasti sudah berusaha dan tetap akan berusaha.
Bunda
adalah wanita yang kuat. Dalam benaknya, bunda termasuk makhluk yang langka.
Setiap hari, langkahnya selalu lincah dalam bekerja. Di pundak bunda tergantung segala
kebutuhan kedua anaknya. Pasti tak mudah. Bunda telah menghabiskan banyak
waktunya untuk mencari nafkah.
Langkah
ustadzah Fida terhenti. Sebuah Honda jazz berhenti tepat di depan rumahnya.
Pintu pagar rumahnya masih terbuka lebar. Mungkin sejak kepergiannya tadi.
Laki-laki
jangkung dengan baju kotak-kotak biru itu keluar dari mobil. Dia tersenyum
menyapa ustadzah Fida. Lagi-lagi, ustadzah Fida jadi salah tingkah. Apakah dia sudah
berjanji akan datang ke rumah? Tidak ada janji, tidak ada pemberitahuan di
handphonenya. Kemarin dia juga tiba-tiba saja datang. Mungkin besok juga begitu.
Apakah dia meragukan ustadzah Fida? Kalau demikian mengapa tidak melepaskannya saja sebelum memasuki gerbang pernikahan? Atau memang dia sedang merindu sang calon pengantin? Benarkah dia jodohnya?
Urusan mereka tentang pesta pernikahan itu sudah final. Sesuai kesepakatan mereka akan bertemu seminggu lagi. Atau mungkin seminggu itu terlalu lama bagi seorang yang merindu.
Apakah dia meragukan ustadzah Fida? Kalau demikian mengapa tidak melepaskannya saja sebelum memasuki gerbang pernikahan? Atau memang dia sedang merindu sang calon pengantin? Benarkah dia jodohnya?
Urusan mereka tentang pesta pernikahan itu sudah final. Sesuai kesepakatan mereka akan bertemu seminggu lagi. Atau mungkin seminggu itu terlalu lama bagi seorang yang merindu.
Dia
ingin bertanya namun ditahannya semua gelisah. Hanya mengucap salam dan duduk
di kursi teras.
Laki-laki
itu menyapa. Selanjutnya hanya basa-basi saja. “Maaf tak seharusnya aku datang.
Tapi rasanya ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.”
Ustadzah
Fida menggeleng. Undangan, pertemuan keluarga, catering, salon, pesta, semuanya
sudah beres. Apa lagi? Hatinya resah. Dia takut membicarakan perasaannya. Untuk
saat ini hanya dia dan Tuhan saja yang berhak tahu. Buat orang-orang
disekitarnya, mereka pasti sudah bisa menebaknya. Jangan sampai ternoda oleh
khayalannya.
Pertemuan
yang singkat. Mungkin tak lebih dari lima belas menit. Laki-laki itupun pamit. Angin
sore menyapa lembut. Selembut kata-kata terakhir sebelum dia pergi. “Kita pasti
bertemu.”
Urusan
perasaan memang aneh. Dia datang ketika rasa itu ingin disembunyikannya. Lalu
dia pergi ketika rasa itu ingin di genggamnya. Rasanya ingin berteriak saja.
“Jangan tinggalkan aku!”
“Tapi
kita belum menikah.’
Hatinya
bicara dan saling menyalahkan. Ustadzah Fida gemas dan ingin segera mengusir
kerisauan.
Mungkin
inilah yang namanya sindrom pre wedding. Tentang kegalauan menjelang pernikahan. Sudahkah dia siap? Tidakkah ini terlalu cepat? Mungkin dia tidak sendirian. Tapi dia terlalu malu untuk mengakuinya. Cukuplah semua ini disimpannya sendiri.
Seribu tanya mendera. Ustadzah Fida membiarkan dirinya tenggelam dalam risau. Tentang masa depan, bukankah mereka akan menjalaninya bersama. Kemana arah yang hendak dituju dalam sebuah biduk rumah tangga adalah tanggung jawab bersama. Tak mungkin jika satu ingin ke kanan sementara satunya lagi ingin ke kiri. Tak ada kesepakatan. Sebaliknya kacau dan saling menyalahkan.
Seribu tanya mendera. Ustadzah Fida membiarkan dirinya tenggelam dalam risau. Tentang masa depan, bukankah mereka akan menjalaninya bersama. Kemana arah yang hendak dituju dalam sebuah biduk rumah tangga adalah tanggung jawab bersama. Tak mungkin jika satu ingin ke kanan sementara satunya lagi ingin ke kiri. Tak ada kesepakatan. Sebaliknya kacau dan saling menyalahkan.
Tentang
pekerjaannya sebagai seorang guru, laki-laki itu menyerahkan sepenuhnya
kepadanya. Dia bebas menentukan langkahnya. Dia percaya.
Lalu
apa lagi, oh tentang rumah setelah menikah. Dia setuju untuk tinggal bersamanya
disini. Menemani ibu yang sudah sepuh. Hanya dia yang tinggal di kota ini.
Kedua kakaknya sudah berumah tangga dan tinggal di luar kota.
Laki-laki
itu tak keberatan dengan semua permintaan ustadzah Fida. Dia percaya. Ustadzah
Fida berjanji akan mengatur waktu dengan baik, semampunya. Karena dia tak
mungkin bisa menjamin apa yang akan terjadi esok. Apakah semua janjinya terpenuhi
ataukah tidak.
Ustadzah
Fida sudah mengantongi kepercayaan dari laki-laki itu. Lalu apa lagi yang perlu
dirisaukan?
Seminggu
ini dia sudah berjanji untuk lebih banyak berada di dalam rumah. Tidak baik,
jika calon pengantin keluyuran. Hati-hati! Nanti begini nanti jadi begitu. ibu menjadi lebih khawatir dari biasanya. Sebentar-sebentar menelpon menanyakan kabar dan tempat.
Hidupnya kini tak bebas lagi. Ceramah dari para sesepuh mengalir deras. Biasanya dia cuma tersenyum saja. Didengarkan semua petuah orang tua hingga selesai. Ah, kata-kata orang tua, entah benar atau tidak tetap saja harus dituruti. Bahkan jika itu hanya mitos sekalipun.
Hidupnya kini tak bebas lagi. Ceramah dari para sesepuh mengalir deras. Biasanya dia cuma tersenyum saja. Didengarkan semua petuah orang tua hingga selesai. Ah, kata-kata orang tua, entah benar atau tidak tetap saja harus dituruti. Bahkan jika itu hanya mitos sekalipun.
Jangan
pernah membantahnya. Membuat hatinya gusar. Tersenyum adalah jawaban terbaik
jika berseberangan pendapat.
Jauh
di dasar hatinya, ustadzah Fida lebih memikirkan Amel. gadis yang membawanya ke
dalam dunia yang aneh. Pertemuannya dengan Amel sebenarnya karena rasa
penasaran saja. Karena Alfi yang sering menceritakan keadaan kakaknya. Ustadzah
yakin, Alfi menginginkan seorang kakak yang sempurna, yang bisa diajak bermain
bersama, yang bisa mengajarinya pelajaran di sekolah. Berjalan beriringan dan tertawa bersama.
Namun
Amel tak sempurna. Tak akan sempurna, meski Alfi sangat menginginkannya. Dan
Alfi lelah dengan keinginannya. Alfi sering meninggalkannya. Dia butuh teman.
Ya, dua anak yang sama-sama butuh teman. Tapi tak tahu harus bagaimana.
Keinginan
ustadzah Fida tak muluk. Dia hanya ingin berkomunikasi secara lancar dengan Amel.
melatihnya berbicara adalah salah satu jalan keluar. Tapi mungkin dia salah. Entah.
Dia tidak pernah belajar tentang ini.
Dia
ingat sorot matanya. Datar. Tak adakah harapan. Tidakkah ada jalan keluar yang
baik untuk masa depannya. Membuatnya lebih berharga di mata masyarakat. Minimal
dalam keluarganya.
Seperti
pak Ciptono, seorang penggagas SLB di Semarang, yang gigih memperjuangkan
murid-muridnya. Mencari bakat anak-anak istimewa ini lalu mengajarinya,
mengolahnya hingga terampil. Salah satu muriddnya, Bayu mampu joget dan
membersihkan motor dengan menyemprot air. Itu saja yang mampu dilakukannya. Kalau mencuci, tidak bisa bersih. Hanya
meninggalkan bekas yang pasti membuat orang kecewa. Atau Chintami yang bisa
diajari menari, menyulam dan musik. Masih banyak kisah lainnya yang tak kalah seru. Lalu Amel, gadis istimewa itu mungkin memiliki potensi untuk berkarya.
Hanya
saja, belum ada orang yang tahu. Kisah anak-anak istimewa itu sangat menginspirasinya. Namun ustadzah butuh waktu. Sehari, setahun, atau berapa lama lagi. Dalam hati, ustadzah berjanji, akan menemui Amel.
Apa
yang bisa dilakukan oleh anak-anak istimewa yang IQnya kurang dari 50?
Pekerjaan, kegiatan yang sangat sederhana. Namun ketekunan dan latihan yang
terus menerus membuat mereka bisa berkarya dan bermanfaat. Apalagi kalau bisa
menghasilkan uang seperti murid-murid pak Ciptono.
Ustadzah
Fida mendesah. Apakah harus menjadi ahli dahulu untuk membantu Amel? Andaikan
dia mau sekolah. Andaikan dia memiliki semangat untuk belajar. Seribu andai tak akan mampu
membuatnya lebih baik.
Ustadzah
Fida akan mencari kuncinya. Apa yang mampu diperbuat Amel? Mungkin begitu dulu.
Tapi kapan? Dia seolah berkejaran dengan waktu. Harusnya menjelang
pernikahannya tak perlu pusing memikirkan orang lain. Tak perlu membahas
panggilan hati. Tapi bagaimana bisa, jika setiap hari dia bisa merasakan
kehadiran Amel disini.
Semua
file pertemuannya dengan Amel kembali terbuka. Sekuat tenaga dia menutupnya. Tidak
sekarang! Lebih baik mengganti dengan persiapan pernikahan. Tidak bisa! Selalu
ada tarik menarik yang membuatnya lelah.
Ada
banyak pelajaran berharga dari kehidupan Amel. Tak perlu membuat celah. Semua ada
masanya. Bukan sekarang.
#BlogtoBook
^_^
Semua memang ada waktunya. Suka deh sama tulisannya
BalasHapus