Belajar dari Dapur Kita
Senin, 16 Januari 2017
18 Komentar
Dulu
saya sering berpikir apa yang menarik dari dapur. Ruangan yang terlihat sempit,
sumpek dan acak-acakan dengan aneka macam peralatan dapur lengkap dengan aroma
khasnya. Iya itu dulu, ketika saya masih kecil.
Seingat
saya dapur itu tidak keren. Tidak menyenangkan! Membayangkan saja, malas! Coret
deh dari daftar kegiatan sehari-hari. Lalu mengapa bisa seperti itu? Jawaban
sederhana, karena saya tidak suka memasak. Sepanjang ingatan saya di waktu
kecil, memasak itu bikin area dapur kotor dan capek.
Mau
menyalakan kompor saja butuh waktu. Maklumlah ibu saya pengguna setia kompor
minyak. Lalu aromanya membuat bapak saya melarikan diri. Setelah kompor menyala,
asapnya menjadi hiasan dinding. Cakep deh! Tidak itu saja, ada banyak peralatan
memasak yang akhirnya berubah warna, menghitam. Membersihkannya seperi orang
olah raga. Tapi ibu saya begitu senang memasak. Saya katakan senang memasak
karena ibu selalu sibuk di dapur jika keluarga sedang berkumpul. Mempersiapkan
menu-menu spesial yang membuat kami selalu rindu pulang.
Kenyataannya,
saya tidak bisa menghindari dapur. Ini terjadi ketika saya mulai memiliki anak.
Demi anak, demi menghemat pengeluaran keluarga, demi menyiapkan masakan yang
sehat, mau tak mau saya mesti turun ke dapur. Dan saya tidak mau dapur saya
hitam. Padahal saya masih sempat menggunakan kompor minyak beberapa tahun
kemudian.
Setelah
berada di dapur saya bingung. Saya yang tidak suka memasak otomatis tidak tahu
cara memasak sesuatu, tidak hafal semua bumbu dapur, dan tidak tahu menu yang
cocok untuk keluarga. Tapi kalau cuma bawang merah, bawang putih, merica dan
garam pasti tahu betul. Aduh parah...parah banget kalau mengingat masa-masa
itu! *tutup muka.
Suami
saya mungkin bukan orang yang terlalu peduli dengan makanan. Dia tidak pernah
meminta, tidak pernah pula mengeluh. Kalau cocok dimakan, sedangkan kalau parah
ya diam saja. Bahkan dia sering mengajak makan di luar. Biar saya tidak capek.
Padahal mungkin ada alasan lain ya...
Keadaan
seperti ini justru tidak menyenangkan. Saya di rumah dan jarang memasak. Tetapi
saya memiliki tetangga-tetangga yang baik. Saya akan selalu mengenang kebaikan
mereka. Di awal-awal menikah, ketika saya harus beradaptasi dengan suami, dan
lingkungan baru, justru dekat dengan para tetangga membuat hidup saya lebih
cerah. Dari mereka saya mengenal masakan dari daerah-daerah lain.
Salah
satu cara cepat untuk bisa memasak adalah dengan menelpon ibu untuk menanyakan
resep masakan. Saya mencatat semua kata ibu di notes kecil. Lalu membawanya ke dapur. Waktu itu saya
belum akrab dengan si mbah Google. Saya juga sering bertanya kepada tetangga.
Tapi lain daerah lain pula bumbunya. Kadang-kadang ada yang mirip, tapi kadang
saya kurang cocok.
Saya
mulai membeli buku, majalah dan tabloid memasak. Lumayan buat bekal menu
sehari-hari. Ini sangat membantu sekali. Mulai deh saya eksperimen macam-macam
menu buat anak. Terutama memang buat anak.
Mengubah
mindset
Dulu,
ketika masih di kost, saya ikut teman-teman yang gemar memasak.
Sekali-sekalinya saya memasak dan rasanya...aduhai...ingin sekali langsung
dimasukkan ke tempat sampah. Tapi sudahlah, proses untuk memasak bagi saya
cukup panjang.
Memasak
itu menyenangkan. Dengan menanamkan pemikiran seperti itu saya mulai menyenangi kegiatan ini. Saya yakin pekerjaan/kegiatan apapun jika dilakukan sepenuh
hati, insyaAllah hasilnya akan menyenangkan buat diri sendiri maupun
orang-orang di sekitar. Contoh sederhananya ketika saya mengajak anak-anak ke
dapur. Melakukan pekerjaan-pekerjaan ringan seperti memberi topping kue. Mereka
justru bereskperimen. Kalau dikasih ini jadi bagaimana? Kalau bentuknya diubah
seperti ini, bagus tidak?
Meskipun
di rumah ada si mbak (ART) tapi anak-anak sering masak-masak juga. Bisa dikatakan memasak itu seperti sebuah permainan. Mengolah bahan-bahan makanan hingga menjadi hidangan. Sebuah proses yang bisa membuat mereka menghargai kegiatan memasak.
Tips
memasak bersama anak:
- Selalu mendampingi anak. Untuk anak-anak saya yang masih SD saya hanya memperbolehkan menyalakan kompor ketika ada saya di rumah. Sementara kakaknya, mulai SMP saya mulai memberi tanggung jawab untuk memasak. Minimal untuk mengurus sarapan sederhana di rumah seperti membuat tumisan, menggoreng, membuat minuman. Itu gampang sekali.
- Memberi contoh dan arahan. Misalnya untuk mengiris itu caranya bagaimana. Mereka suka seenaknya saja. Padahal kalau diperhatikan dengan mengiris itu anak bisa belajar pembagian. Bagaimana caranya agar sayur itu tampak simetris, tidak perlu sama persis, tapi minimal enak dipandang. Yang sering terjadi mereka memotong besar sekali atau sebaliknya, kecil sekali. Tidak sebanding deh!
- Jangan mencela. Namanya juga masih belajar. Padahal sudah berkali-kali, tetap saja begitu. Gosong. Seringkali kejadian seperti ini. Kalau masih bisa di make over artinya masih bisa diselamatkan. Tapi kalau sebaliknya...wasalam deh!
Anak kedua saya sering membuat roti bakar. Hasilnya untuk dinikmati sendiri, dibawa sebagai bekal ke sekolah. Kadang berhasil, kadang sebaliknya. Saya selalu mengingatkan agar tidak meninggalkan dapur.
Ketika tidak berhasil alias gosong, si anak ini senyum-senyum. Untungnya tidak parah. Jadi roti bakar yang dipanaskan diatas
teflon itu bisa dibersihkan bekas gosongnya. Dikerik saja dengan pisau. Rontok
juga bekas gosongnya. Kalau perlu diiris. Nah, roti bakarnya siap dibawa ke
sekolah.
Untuk
kasus seperti ini memang sangat biasa. Kadang menggoreng tempe, pisang sering
kelamaan tidak diangkat. Akibatnya gosong. Kadang masih ragu-ragu sehingga
tampak gorengannya masih pucat.
Saya
tidak mencela ataupun memarahi. Dia tahu telah melakukan kesalahan. Itu sudah
cukup. Atau ketika mencicipi masakan buatannya lalu terasa agak aneh.
Hahaha...pasti ada yang kurang atau kelebihan!
Yang
perlu diingat ketika anak sudah mau membantu di dapur adalah saya memberikan
kesempatan untuk mencoba. Tidak perlu terlalu peduli soal rasa dan tampilan.
Ini bukan untuk lomba. Jadi abaikan saja. Kalau suami saya tidak pernah
sekalipun mengeluhkan masakan saya yang kacau, mengapa saya harus mengeluhkan masakan anak-anak.
Biarkan saja. Perlahan, mereka tahu kok. Merekapun mulai menghargai bahwa memasak itu tak mudah. Butuh perjuangan.
Bagi
saya memasak itu tidak melihat jenis kelamin. Mau laki-laki mau perempuan ayo
saja. Karena anak-anak saya laki-kaki semua, jadi tidak masalah kalau mereka
berada di dapur. Biasa saja. Kalau orang tua dulu, sering mengingatkan bahwa
tidak layak menyuruh laki-laki (suami) ke dapur. Saya rasa anggapan seperti itu
sudah berlalu. Jadi ketika suami berada di dapur untuk membantu pekerjaan kita,
justru orang tua yang marah.
Faktanya
tidak selamanya di rumah ada yang mengurus. Kalau saya sakit lalu bagaimana? Kalau tidak ada ART di rumah?
Anak-anak
terbiasa melihat kesibukan saya di dapur. Mereka akhirnya terbiasa saja dengan
pekerjaan-pekerjaan kecil. Saya harap mereka tidak merasa keberatan jika suatu
waktu memang harus di dapur. Sama seperti pekerjaan lainnya, di dapurpun
nyaman. Sama seperti ruang lainnya, dapur perlu dirawat sehingga penghuninya
betah.
Berada
di dapur itu sejatinya adalah tempat untuk menikmati family time bersama keluarga. Tidak perlu keluar budget mahal, bukan? Lha
cuma di rumah sendiri, ngubek-ubek isi dapur dan tara.... sebuah hadiah kecil
dari anak-anak!
Seperti
pagi itu, si anak bikin pisang bakar. Pokoknya yang mudah-mudah saja dan sesuai
dengan seleranya. Lalu menyiapkan bekalnya sendiri. Kalau sudah begini rasanya
ada diskon pekerjaan rumah.
Kalau
teman-teman bagaimana? Sharing yuk!
^_^
Aku dulu jg paling muales kalo airuh ke dapur mak enakan makannya ajah heheh tp setelah nikah ya mau ga mau lah ya. Meskipun sampe sekarang ga jago masak tp lumayan lah asal yg gampang2 aja. Kalo pas libur n ga kemana2 aku jg suka ngajakin nadia masak yg gampang2 n dia suka kaya spageti misalnya
BalasHapusSama ya.
HapusAnakku skrg yg mau 4 taun jg lagi suka ngajak ibunya oprek2 dapur mba.. Bikin puding pingin ikut ngaduk, bikin popcorn, oles2 roti, bikin buncis goreng tepung dia yg masukon ke tepungnya. Dapur pun sukses jd lebih berantakan hehe.. Padahal aku termasuk yg males masak :D
BalasHapusAnak kreatif ya.
HapusJujurnya aku ga terlalu suka masak mbak.. Mungkin yaaaa ini krn sejak kecil kita memang dilarang masuk dapur ama mama.. Katanya cm bikin berantakan dan rusuh :D. Ya namanya anak2 yaaa.. Tp gara2 dilarang trs, aku ama adek2ku juga jd males masuk dpur, dan ga pengen samasekali bljr masak jadinya..
BalasHapusNah udh jd ibu gini, sbnr nya pgn sih anak2 bisa pinter masak.. Makanya aku g prnh ngelarang tuh kalo babysitternya ato mba ART lg msk, si kaka biasanya suka pgn bantu2 walo sbnrnya msh lbh ngerusuh drpd ngebantuin :D. Tp gpp lah... Biar dia seneng dulu, jgn kyk emaknya yg jd ga suka masuk dapur :p
Nggak perlu dilarang deh anak-anak. Biar mereka senang dengan kegiatan sederhana sesuai dengan umur mereka. Yang penting ditungguin biar aman.
HapusBerekspolarasi di dapur bersama anak-anak emang menyenangkan Mbak. Sayapun meski sibuk tetap mengupayakan minimal sehari sekali masuk dapur.
BalasHapusAgar anak-anak terbiasa melihat aktivitas di dapur. dan akhirnya turun tangan membantu ya.
Hapusiya ya mba. memasak itu ga memandang gender
BalasHapuswong chef ternama kebanyakan juga laki2
Siapapun bisa memasak.
HapusSaya belajar masak dari almarhumah nenek. Karena ngajarinnya sambil ngomel, saya pun beranggapan kalau memasak itu hal yang menyebalkan :D Tapi saya tetap jadi asisten masak beliau, ketimbang kena damprat, hahah... Sampai akhirnya mindset pun berubah, skill apapun yang saya miliki, mungkin akan jadi modal saya cari duit nantinya. Foto makanan di majalah yang cakep2 bikin saya jadi semangat untuk ngikutin, walau hasilnya pasti beda banget :D Dan ternyata benar, dua kali saya dapat uang dari resep masakan, haha... satu dari tabloid Saji dan satu menang lomba.
BalasHapusMiss Nita keren. Apapun yang kita lakukan mesti seneng ya.
HapusSetuju bangeet mak... Masak itu perjuangan banget!! Dari mulai bahannya sampe d rmh, bersihin, ngupas bumbu dan seteruussnya, warbiyasa..buat aku perjalanan panjang juga x)
BalasHapusPerjalanan panjang dan bikin capek.
HapusSaya juga nggak suka masak, tapi apalah daya tuntutan rumah tangga. Sekarang kan udah banyak bumbu-bumbu instan penyelamat walaupun meracik sendiri akan lebih enak pastinya. Eh tau-tau, belanja peralatan dapurnya asik juga sih wuehehehe.
BalasHapusBumbu praktis emang penyelamat perjalanan panjang memasak. hihihi...
HapusSepertinya budaya mengajari anak-anak memasak makanan perlu dilakukan secara dini agar anak-anak mempunyai kepintaran lain.
BalasHapusTerima kasih artikelnya yang menarik dan bermanfaat.
Salam hangat dari Jombang, Jawa Timur.
Terima kasih pak dhe Cholik.
HapusSaya biasa melihat saya memasak di dapur dan tertarik. Ayo saja main masak-masakan!