Ketika Anak Mengakui Kesalahannya



Family Time


Suatu hari si bungsu menghampiri saya dengan senyumnya yang mencurigakan. Aduh mencurigakan itu seperti apa ya? 


“Ada apa, dek?”

“Ibu jangan marah ya?” katanya pelan.

Dalam hati saya mencoba menebak. Ada apakah gerangan? Apakah ada suatu kesalahan sehingga si anak ragu-ragu menghadap saya?

Pertanyaannya harus dijawab sebelum melanjutkan pertanyaan berikutnya. Entah suka atau tidak saya mengatakan iya sambil mengangguk. Tapi saya tak mau dong sekedar menyetujui keinginannya.

Sebagai ibu saya memiliki feeleng yang berbeda ketika dia meminta saya untuk tidak marah. Hayo, ibu-ibu biasanya marah karena apa? Karena si anak melakukan pelanggaran terhadap norma, aturan di rumah, atau lainnya?

Yang jelas ketika si bungsu meminta saya tidak marah artinya dia telah melakukan kesalahan. Dia saja sudah merasa bersalah. Bagaimana jika kesalahan itu mendapatkan hukuman.

Anak saya termasuk sensitif. Hal-hal kecil yang mestinya tidak menjadi masalah besar kadang justru sebaliknya. Saya berusaha memahami perasaannya. Seperti ketika dia mengakui kesalahannya. Untuk beberapa saat dia masih diam. Entah karena merasa bersalah atau bagaimana. Hingga akhirnya saya desak untuk menceritakan masalahnya.

“Ada apa sih, dek?”

“Tadi aku mainan sandal. Trus sandalnya hilang satu. Tapi ibu nggak usah beli sandal baru. Di rumah masih ada sandal. Aku nggak apa-apa, kok.”

Dilempar dimana sampai tidak bisa diambil kembali? Ternyata di rumah orang dan dia tidak berani mengatakan kepada pemilik rumah. Saya dipaksa untuk pulang saja.

Jadi seperti itu ceritanya. Kadang saya berpikir ada masalah besar apa sih yang sedang dialami anak-anak. Eh, masalah anak-anak memang menggemaskan. Tetap sih, saya harus tahu seperti apa kesalahannya. Seberapa parah akibatnya...

Atau ketika tiba-tiba si anak mengakui bahwa bolanya masuk ke halaman tetangga, sementara pemilik rumah sedang pergi. Dan banyak lagi cerita—cerita seru ala anak-anak.

Ya, sudah kalau dia sudah mau mengakui kesalahannya. Saya justru bersyukur karena dia mau mengerti. Dia mau berterus terang dan menanggung resiko. Kehilangan suatu barang bagi anak-anak adalah masalah yang besar. Termasuk sandalnya.

Sesuai dengan kesepakatan yang dia buat, maka saya tidak perlu lagi membelikan sandal baru. Tidak ada tawar-menawar. Semua karena dia menyadari kesalahannya. Saya setuju saja. Dia juga bisa menepatinya.

Jadi, ketika si anak sudah mengakui kesalahannya, sebaiknya orang tua masih memberlakukan sanksi atau lupakan saja?

Menerima – memaafkan – memberikan kepercayaan


Tiga poin tersebut saya terapkan kepada anak-anak. Bahkan saya bertanya kepada mereka apa yang sebaiknya ibu lakukan? Semuanya tak ada yang mau menerima hukuman. Bagi mereka hukuman bukan satu-satunya cara yang ampuh agar anak menjadi disiplin dan patuh terhadap orang tua.

Mengetuk kesadaran anak-anak agar memahami memahami perilakunya. Mana yang boleh dan tidak. Pasti berbeda. Dan anak belajar untuk memilah perilaku. Tidah mudah, karena kadang mereka merasa sudah benar. Padahal ada sisi-sisi yang bersinggungan dengan orang lain.

Menerima kesalahan anak dan memaafkan membuat kedua belah pihak (orang tua dan anak) menjadi lebih tenang. Menjalani hari-hari bersama tanpa dirundung ketakutan. Takut dimarahi ibu.

Aduh, saya kok jadi seperti monster yang menakutkan! Jika sedikit-sedikit anak-anak takut kepada orang tua akan berakibat buruk. Si anak tidak lagi percaya begitu pula sebaliknya. Padahal tinggal di bawah satu atap. Menjalani kehidupan sehari-hari bersama. Pasti tidak nyaman, bukan?

Mungkin aturan dalam setiap keluarga berbeda. Namun saya berharap orang tua mampu memahami keinginan anak-anak. Mampu memberikan kepercayaan lagi. Juga memberikan kesempatan agar mereka bisa menjadi generasi yang jujur.

Saya memilih untuk memaafkan dan memberikan kepercayaan kepadanya. Anak saya jadi bersorak kegirangan. Tapi tetap saya meminta untuk tidak mengulanginya lagi. Hasilnya?

Namanya juga anak-anak. Entah mengerti maksud saya atau tidak, tetap ya kalau sedang bermain dengan teman-temannya suka lupa diri. Lupa pada kesepakatan bersama. Beberapa kali bermain-main lempar sandal berakibat sandal hilang. Kadang ketemu kalau area tidak luas dan mudah dijangkau.

^_^
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

2 Komentar untuk "Ketika Anak Mengakui Kesalahannya"

  1. Kita sebagai orang tua emang paling senang kalau anak mau jujur ya, Mbak. Biarpun istilahnya pahit, mending mereka jujur. Dan kita pasti hargai itu

    Aku lihat siy, orangtua jaman sekarang mah lebih terbuka dengan anak. Jadi anak bisa cerita banyak hal. Beda banget dengan jaman kita dulu. Mau cerita apa, eh udah takut dimarahi duluan. Apalagi orang tua dulu kan marahnya suka serem

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulu aku merasa begitu takut jika orang tua marah. Pokoknya diam menunduk, mendengatkan "ceramah" sampai selesai.

      Hapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel