Ketika Anak Mengakui Kesalahannya
Selasa, 26 Desember 2017
2 Komentar
Suatu
hari si bungsu menghampiri saya dengan senyumnya yang mencurigakan. Aduh mencurigakan itu seperti apa ya?
“Ada apa,
dek?”
“Ibu
jangan marah ya?” katanya pelan.
Dalam
hati saya mencoba menebak. Ada apakah gerangan? Apakah ada suatu kesalahan
sehingga si anak ragu-ragu menghadap saya?
Pertanyaannya
harus dijawab sebelum melanjutkan pertanyaan berikutnya. Entah suka atau tidak
saya mengatakan iya sambil mengangguk. Tapi saya tak mau dong sekedar
menyetujui keinginannya.
Sebagai
ibu saya memiliki feeleng yang berbeda ketika dia meminta saya untuk tidak
marah. Hayo, ibu-ibu biasanya marah karena apa? Karena si anak melakukan
pelanggaran terhadap norma, aturan di rumah, atau lainnya?
Yang
jelas ketika si bungsu meminta saya tidak marah artinya dia telah melakukan
kesalahan. Dia saja sudah merasa bersalah. Bagaimana jika kesalahan itu
mendapatkan hukuman.
Anak
saya termasuk sensitif. Hal-hal kecil yang mestinya tidak menjadi masalah besar
kadang justru sebaliknya. Saya berusaha memahami perasaannya. Seperti ketika
dia mengakui kesalahannya. Untuk beberapa saat dia masih diam. Entah karena
merasa bersalah atau bagaimana. Hingga akhirnya saya desak untuk menceritakan
masalahnya.
“Ada
apa sih, dek?”
“Tadi
aku mainan sandal. Trus sandalnya hilang satu. Tapi ibu nggak usah beli sandal
baru. Di rumah masih ada sandal. Aku nggak apa-apa, kok.”
Dilempar
dimana sampai tidak bisa diambil kembali? Ternyata di rumah orang dan dia tidak
berani mengatakan kepada pemilik rumah. Saya dipaksa untuk pulang saja.
Jadi
seperti itu ceritanya. Kadang saya berpikir ada masalah besar apa sih yang
sedang dialami anak-anak. Eh, masalah anak-anak memang menggemaskan. Tetap sih, saya harus tahu seperti apa kesalahannya. Seberapa parah akibatnya...
Atau
ketika tiba-tiba si anak mengakui bahwa bolanya masuk ke halaman tetangga,
sementara pemilik rumah sedang pergi. Dan banyak lagi cerita—cerita seru ala
anak-anak.
Ya,
sudah kalau dia sudah mau mengakui kesalahannya. Saya justru bersyukur karena
dia mau mengerti. Dia mau berterus terang dan menanggung resiko. Kehilangan
suatu barang bagi anak-anak adalah masalah yang besar. Termasuk sandalnya.
Sesuai
dengan kesepakatan yang dia buat, maka saya tidak perlu lagi membelikan sandal
baru. Tidak ada tawar-menawar. Semua karena dia menyadari kesalahannya. Saya
setuju saja. Dia juga bisa menepatinya.
Jadi,
ketika si anak sudah mengakui kesalahannya, sebaiknya orang tua masih
memberlakukan sanksi atau lupakan saja?
Menerima – memaafkan – memberikan kepercayaan
Tiga
poin tersebut saya terapkan kepada anak-anak. Bahkan saya bertanya kepada
mereka apa yang sebaiknya ibu lakukan? Semuanya tak ada yang mau menerima
hukuman. Bagi mereka hukuman bukan satu-satunya cara yang ampuh agar anak menjadi disiplin
dan patuh terhadap orang tua.
Mengetuk kesadaran anak-anak agar memahami memahami perilakunya. Mana yang boleh dan tidak. Pasti berbeda. Dan anak belajar untuk memilah perilaku. Tidah mudah, karena kadang mereka merasa sudah benar. Padahal ada sisi-sisi yang bersinggungan dengan orang lain.
Menerima
kesalahan anak dan memaafkan membuat kedua belah pihak (orang tua dan anak)
menjadi lebih tenang. Menjalani hari-hari bersama tanpa dirundung ketakutan. Takut
dimarahi ibu.
Aduh,
saya kok jadi seperti monster yang menakutkan! Jika sedikit-sedikit anak-anak
takut kepada orang tua akan berakibat buruk. Si anak tidak lagi percaya begitu
pula sebaliknya. Padahal tinggal di bawah satu atap. Menjalani kehidupan
sehari-hari bersama. Pasti tidak nyaman, bukan?
Mungkin
aturan dalam setiap keluarga berbeda. Namun saya berharap orang tua mampu
memahami keinginan anak-anak. Mampu memberikan kepercayaan lagi. Juga memberikan
kesempatan agar mereka bisa menjadi generasi yang jujur.
Saya
memilih untuk memaafkan dan memberikan kepercayaan kepadanya. Anak saya jadi
bersorak kegirangan. Tapi tetap saya meminta untuk tidak mengulanginya lagi. Hasilnya?
Namanya
juga anak-anak. Entah mengerti maksud saya atau tidak, tetap ya kalau sedang
bermain dengan teman-temannya suka lupa diri. Lupa pada kesepakatan bersama. Beberapa
kali bermain-main lempar sandal berakibat sandal hilang. Kadang ketemu kalau
area tidak luas dan mudah dijangkau.
^_^
Kita sebagai orang tua emang paling senang kalau anak mau jujur ya, Mbak. Biarpun istilahnya pahit, mending mereka jujur. Dan kita pasti hargai itu
BalasHapusAku lihat siy, orangtua jaman sekarang mah lebih terbuka dengan anak. Jadi anak bisa cerita banyak hal. Beda banget dengan jaman kita dulu. Mau cerita apa, eh udah takut dimarahi duluan. Apalagi orang tua dulu kan marahnya suka serem
Dulu aku merasa begitu takut jika orang tua marah. Pokoknya diam menunduk, mendengatkan "ceramah" sampai selesai.
Hapus