Jangan Ada Dendam Diantara Kita



Jangan Ada Dendam Diantara Kita


Cukup mengejutkan ketika membaca berita tentang kematian seorang guru di Madura yang dianiaya oleh siswanya. Bagaimana mungkin seroang guru yang merupakan pendidik menjadi korban kekerasan. Ah, sebagai seorang ibu dengan pengalaman maupun ilmu yang sangat cetek, saya tetap merasa terusik.


Disetrap


Saya ingat ada pengalaman yang berkesan: disetrap (dihukum dengan berdiri di depan kelas). Ini bukan prestasi, ya! Masalah hukuman, yang disetrap di depan kelas inilah yang paling saya ingat. Entah kalau ada lagi...

Waktu itu saya masih duduk di bangku SMP dan tidak mengerjakan tugas. Saya harus mengakui di depan guru. Bagaimana mungkin saya bisa mengelak, sementara fakta sudah terlihat dengan jelas. Majulah saya dengan gugup di depan kelas. Melewatkan pelajaran, karena sibuk dengan pikiran liar yang bersliweran tak berujung. Sibuk menenangkan degup jantung yang berdetak tak karuan menahan malu. Sibuk menghindari tatapan teman-teman.

Berdiri hingga pelajaran beliau ini adalah peristiwa yang memalukan. Kaki pegal bukan main. Goyang ke kanan dan ke kiri agar  lebih rileks, ternyata tidak. Entah satu atau dua jam pelajaran saya habiskan dengan berdiri. Apakah saya marah, jengkel, dendam? Kok rasanya tidak. Anak-anak zaman dahulu santai saja. Setelah hukuman selesai ya sudah. Bahkan cerita-cerita memalukan seperti ini membangkitkan kenangan akan masa-masa sekolah.

Seperti suami saya yang pernah dicubit gurunya. Biasa saja. Ya, tentu karena saya, suami dan teman-teman lainnya merasa memang bersalah. Memang selayaknya mendapat hukuman. Jadi wajar, begitu.

Ada lagi hukuman kalau lupa tidak potong kuku. Guru dengan tampang garangnya akan membawa penggaris kayu. Anak-anak pasrah meletakkan jari-jarinya diatas bangku meja.

Orang tua? Ah, orang tua saya, dan lainnya kok ya biasa saja. Orang tua tidak akan perhatian sampai detail banget. Orang tua sibuk mencari uang karena kehidupan zaman dahulu menyedihkan. Tapi tetap untuk urusan sekolah, orang tua sangat care. Terbukti urusan membayar sekolah pasti diutamakan.

Saya tidak mengeluh kepada mereka. Semua kejadian semacam ini disimpan rapat-rapat. Kalaupuan ketahuan, pasti yang salah juga anak-anak. Jadi, wajar mendapat hukuman. Tak ada dendam, marah ataupun rasa jengkel yang berlebihan.

Cuma malu. Pada waktu itu saja. Setelah itu kembali kepada rutinitas. Bertemu guru pada pelajaran yang diampunya. Mengerjakan tugas seperti biasa dan jangan sampai dimarahi apalagi dihukum. Jangan!

Agak takut juga ketika bertemu dengan guru yang “galak”. Takut salah, takut mendapat nilai jelek apalagi kena hukuman. (Makannya yang rajin dan patuh!) Walaupun demikian, anak-anak selalu menghormati para guru. Masalah hukuman ya diterima saja. Karena memang salah, sih.

Mengenang masa itu, saya kadang berpikir, bagaimana jika anak-anak zaman now merasakannya. Sudah tidak zamannya! Hukuman seperti yang saya dan teman-teman seumuran itu bisa jadi digolongkan ke dalam kekerasan fisik. Sungguh menjadi buah simalakama. Di satu sisi anak tak kunjung patuh, sementara si guru tak berdaya. Entahlah...

Yang menjadi pertanyaan saya bagaimana dengan anak-anak zaman now? Anak salah, mau dihukum saja orang tua sudah banyak yang protes. Belum dihukum. Kalau sudah dihukum bagaimana? Entahlah...  

Seorang teman yang berprofesi sebagai guru sangat menyayangkan tindakan kekerasan siswa terhadap guru di Madura tersebut. Bagaimana seorang guru yang sudah melakukan tugasnya mengajar semakin terdesak ruang geraknya. Jika ingin memberikan efek jera, jangan-jangan nanti ada yang salah paham. Dianggap melakukan tindakan kekerasan, melanggar HAM, dsb. Tapi bagaimana  kalau si murid makin membandel, makin merajalela perilakunya? Apakah guru hanya bisa pasrah?

Baca juga Hukuman dari Sekolah....

******

Saya yakin setiap orang tua pasti mendambakan anak-anak yang sholih dan sholihah. Yang memiliki akhlaq mulia dalam berinteraksi dengan teman, keluarga orang tua dan lainnya. Tapi apakah semua keinginan itu mendadak terkabul? Apakah tidak ada usaha terus-menerus untuk  setidaknya memberikan teladan di mata anak-anak. Bagaimana kita, menyiapkan generasi penerus ini menjadi generasi yang tangguh, tapi tetap menjunjung tinggi adab.

Saya sempat bertanya-tanya, bagaimana sih latar belakang si siswa sampai sebrutal itu menganiaya gurunya. Apakah hatinya sudah begitu mengeras sehingga sulit untuk menerima nasihat? Apakah semudah itu emosi tersulut? Apakah tidak ada sedikitpun adab untuk menghormati gurunya?

Mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti itu hanyalah ilusi saya. Toh, saya cuma membaca portal berita yang lalu lalang. Saya hanya membaca linimasa yang ramai. Saya hanya membaca keluhan teman-teman. (Meski dalam hati nyesek!)


Menumbuhkan karakter mulia sejak dini 

Selama hampir 17 tahun memiliki anak, ada banyak tantangan untuk membentuk karakter mereka.  Bisa saya katakan ini seperti never ending journey. Tak mudah, bahkan rasanya seperti roller coaster. Meluncur begitu baik, namun tiba-tiba memberontak. Ada suatu waktu ketika saya dengan mudah berbicara dengan anak. Atau sebaliknya, anak tak menghiraukan, melawan kita. Rasanya sedih sekali. Kemudian saya berusaha instropeksi diri. Adakah yang salah dengan saya. Mungkin cara saya berbicara dengan anak yang kurang tepat. Ataukan si anak sedang bermasalah. Mungkin juga hubungan saya dengan sang Pencipta kurang mesra. Whatever.... koreksi diri dan mencari solusi!

Karena setiap anak berbeda, keinginan dan sifatnya. Ada masanya ketika si anak sedang susah diatur. Saya yakin setiap orang tua memiliki seni/cara dalam mendekati anak-anak. Bagaimana berkomunikasi yang hangat dan menyenangkan. Setiap orang tua juga ingin agar anak-anaknya menjadi lebih baik. Tapi mulai dari mana?


Mulai dari pernikahan. Yes! Kemudian dari kandungan. Karena orang tua berperan dalam membentuk karakter anak. Tidak bisa dipungkiri, anak adalah peniru yang baik. Bagaimanapun kita, para orang tua mampu memberikan teladan yang baik sejak dini. Juga terus berusaha memperbaiki diri dan memberikan lingkungan yang baik buat anak-anak.

Selain itu, jangan lupa untuk mencari rejeki yang halal. Jangan sampai mengotori darah daging kita dengan rejeki yang abu-abu. Bukankah yang baik-baik akan mengantarkan kepada kebaikan lainnya. Mengapa harus mengotorinya.

Mari melangitkan doa-doa terindah untuk anak-anak kita. Anak-anak yang kita cintai dengan segenap rasa!

^_^

Sumber bacaan:

http://news.liputan6.com/read/3250888/guru-di-madura-meninggal-dunia-diduga-dianiaya-murid

http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/ibu-dan-anak/10/12/20/153470-mendidik-anak-dimulai-sejak-dalam-kandungan
Nur Rochma Assalamualaikum. Mengasah ilmu, berbagi rasa, asa dan cerita lewat tulisan. Happy reading! ^_^

10 Komentar untuk "Jangan Ada Dendam Diantara Kita"

  1. Mba jadi sedih bacanyaa.. Saya aja dulunya agak nakal mbaa.. dan kemarin sempat jadi guru.. Kok sekarang anak-anak lebih milenial yaaa.. lebih kritis terhadap guru dan tidak seperti pada jaman kita dulu yang sangat menghormati yang namanya guru. Semoga kita bisa menjadi orangtua yang sukses mendidik anak ya mbaa

    BalasHapus
  2. Saya juga sempat menyayangkan sekali kejadian itu Teh
    di zaman saya dulu tidak ada murid yang melawan gurunya.
    y kita nakal tapi masih dalam batas wajar, masih takut dengan guru.
    Orang tua kita juga tidak pernah membela kita jika kita salah, tetap di hukum di rumah.

    Tapi kalo melihat sekarang, murid seakan seenak enaknya. Guru nyubit saja sudah main lapor polisi.

    Mungkin selain ada Komnas Perlindungan Anak
    mungkin ada juga Komnas Perlindungan Guru.

    Tidak akan ada menteri, presiden, anggota DPR, dll tanpa adanya Guru.

    Saya tidak pernah ada dendam dengan guru yg memukul saya, memarahi saya. Bhkan saya berterima kasih dengan mereka. Kalau dulu saya tidak di tegur dan di beri hukuman mungkin hari ini saya tidak paham tentang kesalahan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tuh kan, perlu sekali untuk koreksi diri. Memahami bahwa kita memang bersalah.

      Hapus
  3. Mbak Nur, aku suka banget sama kalimat terahirnya

    Mari melangitkan doa-doa terindah untuk anak-anak kita
    Anak-anak yang kita cintai dengan segenap rasa

    Maknyess banget, bikin adem hati ...

    Udah jadi orangtua kayak gini emang baru berasa ya , Mbak. Ternyata mendidik anak itu bukan hal yang ringan. Selalu ada tantangan di setiap jamannya

    Aku dulu juga pernah ditampar bu guru pas kelas 5 SD, Mbak Nur. Perkaranya aku gak mau bikin PR Ketrampilan. Emang aku pas SD gak suka sama pelajaran itu plus bahasa Jawa. Stress kalo ketemu dua mata pelajaran itu deh

    Mau ngomong ke ortu kala itu, mana berani. Papaku galak, bisa-bisa makin diomelin

    Alhamdulillah, gak ada dendam sama bu gurunya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, kita mah nggak berani membuat pengakuan kepada orang tua. Takut dimarahi, hihi...

      Hapus
  4. Kalau memang salah, saya terima hukuman dengan lapang dada. Tapi yang bikin kesel sampai sekarang tuh kalau ingat guru yang selalu bersikap kasar pada murid-murid yang gak bersalah, padahal seorang guru harus memperlakukan anak didik dengan sikap welas asih.

    BalasHapus
  5. Ternyata mirip hukumannya seperti sewaktu saya kecil dulu ya. Distrap, berdiri didepan kelas atau kena penggaris karena lupa potong kuku.
    Anak-anak sekarang hatinya lembut dan mudah tersinggung. Makanya perlu ada pola pendidikan yang baru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hukuman zaman dulu nggak bisa diterapkan sekarang.

      Hapus
Taraa! Akhirnya tiba disini. Terima kasih Anda telah membaca blogpost ini. ^_^

Mohon maaf, jika ada link hidup, anonymous atau broken link akan saya hapus!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel