Jangan Ada Dendam Diantara Kita
Selasa, 06 Februari 2018
10 Komentar
Cukup
mengejutkan ketika membaca berita tentang kematian seorang guru di Madura yang
dianiaya oleh siswanya. Bagaimana mungkin seroang guru yang merupakan pendidik
menjadi korban kekerasan. Ah, sebagai seorang ibu dengan pengalaman maupun ilmu
yang sangat cetek, saya tetap merasa terusik.
Disetrap
Saya
ingat ada pengalaman yang berkesan: disetrap (dihukum dengan berdiri di depan
kelas). Ini bukan prestasi, ya! Masalah hukuman, yang disetrap di depan kelas inilah yang paling saya
ingat. Entah kalau ada lagi...
Waktu
itu saya masih duduk di bangku SMP dan tidak mengerjakan tugas. Saya harus
mengakui di depan guru. Bagaimana mungkin saya bisa mengelak, sementara fakta
sudah terlihat dengan jelas. Majulah saya dengan gugup di depan kelas. Melewatkan pelajaran,
karena sibuk dengan pikiran liar yang bersliweran tak berujung. Sibuk menenangkan
degup jantung yang berdetak tak karuan menahan malu. Sibuk menghindari tatapan teman-teman.
Berdiri
hingga pelajaran beliau ini adalah peristiwa yang memalukan. Kaki pegal
bukan main. Goyang ke kanan dan ke kiri agar lebih rileks, ternyata tidak. Entah satu atau dua jam pelajaran saya habiskan dengan berdiri. Apakah
saya marah, jengkel, dendam? Kok rasanya tidak. Anak-anak zaman dahulu santai
saja. Setelah hukuman selesai ya sudah. Bahkan cerita-cerita memalukan seperti
ini membangkitkan kenangan akan masa-masa sekolah.
Seperti
suami saya yang pernah dicubit gurunya. Biasa saja. Ya, tentu karena saya,
suami dan teman-teman lainnya merasa memang bersalah. Memang selayaknya
mendapat hukuman. Jadi wajar, begitu.
Ada
lagi hukuman kalau lupa tidak potong kuku. Guru dengan tampang garangnya akan
membawa penggaris kayu. Anak-anak pasrah meletakkan jari-jarinya diatas bangku
meja.
Orang
tua? Ah, orang tua saya, dan lainnya kok ya biasa saja. Orang tua tidak akan
perhatian sampai detail banget. Orang tua sibuk mencari uang karena kehidupan
zaman dahulu menyedihkan. Tapi tetap untuk urusan sekolah, orang tua sangat care. Terbukti urusan membayar sekolah
pasti diutamakan.
Saya
tidak mengeluh kepada mereka. Semua kejadian semacam ini disimpan rapat-rapat. Kalaupuan
ketahuan, pasti yang salah juga anak-anak. Jadi, wajar mendapat hukuman. Tak ada
dendam, marah ataupun rasa jengkel yang berlebihan.
Cuma
malu. Pada waktu itu saja. Setelah itu kembali kepada rutinitas. Bertemu guru
pada pelajaran yang diampunya. Mengerjakan tugas seperti biasa dan jangan
sampai dimarahi apalagi dihukum. Jangan!
Agak
takut juga ketika bertemu dengan guru yang “galak”. Takut salah, takut mendapat
nilai jelek apalagi kena hukuman. (Makannya yang rajin dan patuh!) Walaupun demikian,
anak-anak selalu menghormati para guru. Masalah hukuman ya diterima saja. Karena
memang salah, sih.
Mengenang
masa itu, saya kadang berpikir, bagaimana jika anak-anak zaman now
merasakannya. Sudah tidak zamannya! Hukuman seperti yang saya dan teman-teman
seumuran itu bisa jadi digolongkan ke dalam kekerasan fisik. Sungguh menjadi
buah simalakama. Di satu sisi anak tak kunjung patuh, sementara si guru tak
berdaya. Entahlah...
Yang
menjadi pertanyaan saya bagaimana dengan anak-anak zaman now? Anak salah, mau
dihukum saja orang tua sudah banyak yang protes. Belum dihukum. Kalau sudah
dihukum bagaimana? Entahlah...
Seorang
teman yang berprofesi sebagai guru sangat menyayangkan tindakan kekerasan
siswa terhadap guru di Madura tersebut. Bagaimana seorang guru yang sudah melakukan tugasnya mengajar
semakin terdesak ruang geraknya. Jika ingin memberikan efek jera, jangan-jangan
nanti ada yang salah paham. Dianggap melakukan tindakan kekerasan, melanggar
HAM, dsb. Tapi bagaimana kalau si murid
makin membandel, makin merajalela perilakunya? Apakah guru hanya bisa pasrah?
Baca juga Hukuman dari Sekolah....
Baca juga Hukuman dari Sekolah....
******
Saya
yakin setiap orang tua pasti mendambakan anak-anak yang sholih dan sholihah. Yang
memiliki akhlaq mulia dalam berinteraksi dengan teman, keluarga orang tua dan
lainnya. Tapi apakah semua keinginan itu mendadak terkabul? Apakah tidak ada
usaha terus-menerus untuk setidaknya
memberikan teladan di mata anak-anak. Bagaimana kita, menyiapkan generasi
penerus ini menjadi generasi yang tangguh, tapi tetap menjunjung tinggi adab.
Saya
sempat bertanya-tanya, bagaimana sih latar belakang si siswa sampai sebrutal
itu menganiaya gurunya. Apakah hatinya sudah begitu mengeras sehingga sulit
untuk menerima nasihat? Apakah semudah itu emosi tersulut? Apakah tidak ada sedikitpun
adab untuk menghormati gurunya?
Mungkin
pertanyaan-pertanyaan seperti itu hanyalah ilusi saya. Toh, saya cuma membaca
portal berita yang lalu lalang. Saya hanya membaca linimasa yang ramai. Saya hanya
membaca keluhan teman-teman. (Meski dalam hati nyesek!)
Menumbuhkan karakter mulia sejak dini
Selama
hampir 17 tahun memiliki anak, ada banyak tantangan untuk membentuk karakter
mereka. Bisa saya katakan ini seperti never ending journey. Tak mudah, bahkan rasanya seperti roller
coaster. Meluncur begitu baik, namun tiba-tiba memberontak. Ada suatu waktu ketika saya dengan mudah berbicara dengan anak. Atau sebaliknya, anak tak menghiraukan, melawan kita. Rasanya sedih sekali. Kemudian saya berusaha instropeksi diri. Adakah yang salah dengan saya. Mungkin cara saya berbicara dengan anak yang kurang tepat. Ataukan si anak sedang bermasalah. Mungkin juga hubungan saya dengan sang Pencipta kurang mesra. Whatever.... koreksi diri dan mencari solusi!
Karena setiap anak berbeda, keinginan dan sifatnya. Ada masanya ketika si anak sedang susah diatur. Saya yakin setiap orang tua memiliki seni/cara dalam mendekati anak-anak. Bagaimana berkomunikasi yang hangat dan menyenangkan. Setiap orang tua juga ingin agar anak-anaknya menjadi lebih baik. Tapi mulai dari mana?
Karena setiap anak berbeda, keinginan dan sifatnya. Ada masanya ketika si anak sedang susah diatur. Saya yakin setiap orang tua memiliki seni/cara dalam mendekati anak-anak. Bagaimana berkomunikasi yang hangat dan menyenangkan. Setiap orang tua juga ingin agar anak-anaknya menjadi lebih baik. Tapi mulai dari mana?
Mulai
dari pernikahan. Yes! Kemudian dari kandungan. Karena orang tua berperan dalam
membentuk karakter anak. Tidak bisa dipungkiri, anak adalah peniru yang baik. Bagaimanapun
kita, para orang tua mampu memberikan teladan yang baik sejak dini. Juga terus berusaha memperbaiki
diri dan memberikan lingkungan yang baik buat anak-anak.
Selain
itu, jangan lupa untuk mencari rejeki yang halal. Jangan sampai mengotori darah
daging kita dengan rejeki yang abu-abu. Bukankah yang baik-baik akan
mengantarkan kepada kebaikan lainnya. Mengapa harus mengotorinya.
Mari
melangitkan doa-doa terindah untuk anak-anak kita. Anak-anak yang kita cintai
dengan segenap rasa!
^_^
Sumber
bacaan:
http://news.liputan6.com/read/3250888/guru-di-madura-meninggal-dunia-diduga-dianiaya-murid
http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/ibu-dan-anak/10/12/20/153470-mendidik-anak-dimulai-sejak-dalam-kandungan
Mba jadi sedih bacanyaa.. Saya aja dulunya agak nakal mbaa.. dan kemarin sempat jadi guru.. Kok sekarang anak-anak lebih milenial yaaa.. lebih kritis terhadap guru dan tidak seperti pada jaman kita dulu yang sangat menghormati yang namanya guru. Semoga kita bisa menjadi orangtua yang sukses mendidik anak ya mbaa
BalasHapusAamiin.
HapusSaya juga sempat menyayangkan sekali kejadian itu Teh
BalasHapusdi zaman saya dulu tidak ada murid yang melawan gurunya.
y kita nakal tapi masih dalam batas wajar, masih takut dengan guru.
Orang tua kita juga tidak pernah membela kita jika kita salah, tetap di hukum di rumah.
Tapi kalo melihat sekarang, murid seakan seenak enaknya. Guru nyubit saja sudah main lapor polisi.
Mungkin selain ada Komnas Perlindungan Anak
mungkin ada juga Komnas Perlindungan Guru.
Tidak akan ada menteri, presiden, anggota DPR, dll tanpa adanya Guru.
Saya tidak pernah ada dendam dengan guru yg memukul saya, memarahi saya. Bhkan saya berterima kasih dengan mereka. Kalau dulu saya tidak di tegur dan di beri hukuman mungkin hari ini saya tidak paham tentang kesalahan.
Tuh kan, perlu sekali untuk koreksi diri. Memahami bahwa kita memang bersalah.
HapusMbak Nur, aku suka banget sama kalimat terahirnya
BalasHapusMari melangitkan doa-doa terindah untuk anak-anak kita
Anak-anak yang kita cintai dengan segenap rasa
Maknyess banget, bikin adem hati ...
Udah jadi orangtua kayak gini emang baru berasa ya , Mbak. Ternyata mendidik anak itu bukan hal yang ringan. Selalu ada tantangan di setiap jamannya
Aku dulu juga pernah ditampar bu guru pas kelas 5 SD, Mbak Nur. Perkaranya aku gak mau bikin PR Ketrampilan. Emang aku pas SD gak suka sama pelajaran itu plus bahasa Jawa. Stress kalo ketemu dua mata pelajaran itu deh
Mau ngomong ke ortu kala itu, mana berani. Papaku galak, bisa-bisa makin diomelin
Alhamdulillah, gak ada dendam sama bu gurunya
Sama, kita mah nggak berani membuat pengakuan kepada orang tua. Takut dimarahi, hihi...
HapusKalau memang salah, saya terima hukuman dengan lapang dada. Tapi yang bikin kesel sampai sekarang tuh kalau ingat guru yang selalu bersikap kasar pada murid-murid yang gak bersalah, padahal seorang guru harus memperlakukan anak didik dengan sikap welas asih.
BalasHapusYang begitu sebaiknya ditegur ya.
HapusTernyata mirip hukumannya seperti sewaktu saya kecil dulu ya. Distrap, berdiri didepan kelas atau kena penggaris karena lupa potong kuku.
BalasHapusAnak-anak sekarang hatinya lembut dan mudah tersinggung. Makanya perlu ada pola pendidikan yang baru.
Hukuman zaman dulu nggak bisa diterapkan sekarang.
Hapus