Memberi Fasilitas Untuk Belajar dan Hobi Anak, Yay or Nay
Selasa, 17 April 2018
2 Komentar
Bulan
April ini si tengah telah mengikuti kompetisi robotik yang diadakan oleh ITS. Sepulang dari
lomba banyak cerita seru yang dibagi. Salah satunya ketika dia takjub melihat
para peserta dari kota Surabaya dengan fasilitas robotik yang super lengkap.
Saya
bilang, “Ya, begitulah. Tapi jangan menyerah hanya karena peserta lainnya lebih
lengkap fasilitasnya.”
Kalau
di kota besar, apa sih yang tidak ada. Ingin melejitkan bakat anak menjadi
mudah selama ada dukungan dari keluarga termasuk kemampuan finansial. Mau ikut
kursus diluar sekolah ada. Mau mencari guru yang mumpuni ada. Lengkap!
Sementara,
anak-anak dari daerah dengan kemampuan finansial pas-pasan bagaimana? Tidak
masalah. Anak-anak memiliki semangat yang sama tingginya dengan peserta lain. Memiliki
daya juang yang berapi-api. Fokus untuk
menampilkan kemampuan mereka.
Kalau orang tua mampu dan anak semangat untuk berlatih, orang tua pasti senang. Mendukung kegiatan anak dengan memberikan fasilitas yang lengkap. Bagi mereka tak masalah. Wajar saja! Namun akan
berbeda dengan orang-orang biasa yang tetap memegang cita-citanya. Bagaimana kita,
sebagai orang tua sanggup mendukung kegiatan anak?
Saya
yakin orang tua pasti ingin membahagiakan anak-anak dengan memberikan yang
terbaik untuk mereka. Memberikan fasilitas yang mendukung kegiatan belajar
maupun hobi. Memberikan dukungan mental untuk memacu semangat. Apa saja asalkan
itu baik untuk anak, ayo saja!
Namun
jika terbentur masalah finansial, tak mudah untuk memberikan keputusan. Nanggung.
Boleh belajar, berlatih tapi kekurangan fasilitas. Contohnya saja di kelas robotik.
Banyak siswa tertarik ikut ekstra ini namun fasilitas robot kurang memadai.
Sebagaimana
kita ketahui harga robot itu mahal. Katakanlah ketika anak saya membawa robot
seharga tujuh juta – sekarang sudah sebelas juta - untuk dipakai latihan di
rumah. Jujur, saya deg-degan. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan robot itu
ketika di rumah. Saya mesti bertanggung jawab, bukan!
Makanya,
saya perhatikan kakak dan adik ketika bermain robot dirumah. Dijaga benar robot
dari sekolah. Asal dipakai berlatih untuk lomba dan bukan untuk mainan. Dalam kasus
robotik ini beda tipis antara berlatih dan bermain.
Beda
robot beda harga. Ada kok yang lebih murah. Namun tetap saja yang namanya
robotik itu butuh modal jika ingin memilikinya. Namun jika hanya untuk
bersenang-senang, bisa ikut pelajaran ekstra saja. Sudah cukup dengan berlatih
robotik di sekolah.
Masalahnya
kalau di daerah, hobi semacam ini masih sulit berkembang. Pernah ada komunitas
robotik, namun tak berjalan lama. Masalah tentu ada. Yang pasti hobi ini masih
langka peminatnya. Berbeda dengan kota-kota besar, yang lebih dahulu ada kursus robotik dan berkembang dengan pesat.
Di kota besar, robot jenis lego sudah dimainkan anak SD. Sementara disini
dimainkan anak SMP. Beberapa sekolah negeri maupun swasta disini sudah mulai
membuka ekstra robotik dan mengikuti sejumlah kompetisi.
***
Lain
lagi dengan si sulung. Dia pernah cerita bagaimana temannya yang tertarik
dengan hobi fotografi membeli kamera mahal. Saya katakan mahal karena untuk
ukuran saya begitu. Jujur kamera si teman anak ini lebih bagus dari milik saya.
Jauh deh....
Dia
juga bercerita tentang teman-temannya yang mencari bimbingan belajar maupun
guru privat. Awalnya saya kaget dengan harga –harga yang ditawarkan. Seiring dengan
berjalannya waktu saya mulai terbiasa dengan nominal yang disebutkan.
Kalau
si sulung ini masih berusaha membandingkan harga dan kualitas. Tidak langsung
meminta bimbel A, misalnya. Bagi saya, kalau dia merasa butuh tambahan
pelajaran karena memang kesulitan ya silakan saja. Tapi tetap dengan ijin orang
tua.
Yang
terpenting, tidak mudah ikut teman-temannya. Bisa saja temannya memilih bimbel
A yang harganya mahal. Teman lainnya memilih guru privat. Sedangkan dia tidak.
Dalam
kasus si sulung, saya mendukung keputusannya dengan memberikan ijin. Karena sudah
mandiri, dia harus bisa mempertanggung jawabkan pilihannya dengan belajar
sungguh-sungguh. Masalah hasil, saya serahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Nah,
fasilitas untuk anak itu penting atau tidak?
Penting.
Ibaratnya orang mau menulis, sudah disediakan buku oleh sekolah, namun tak
memiliki pensil atau pulpen. Mau pinjam temannya, tapi sedang dipakai. Kok ya mengganggu.
Tinggal bagaimana orang tua bisa memberikan
fasilitas untuk mendukung anak-anak. Minimal dengan membawakan pensil sehingga anak bisa menulis dengan gembira. Anak tetap semangat dan memiliki cita-cita.
Kalau
si tengah suka mengeluh dengan laptop dan handphone miliknya, saya berusaha
untuk memahaminya. Melihat teman-temannya jelas membuat iri. Handphone mereka keren-keren. Sementara
milik anak saya, yang katanya tidak support untuk ini itu, yang lemot. Rasanya sepaket dengan handphone milik saya. Begitu juga dengan
laptop. Saya cuma tersenyum saja.
Percayalah, fasilitas bukan satu-satunya cara melahirkan para juara. Namun kerja keras, semangat
dan keyakinan kita.
Bagi
saya, memberikan fasilitas kepada anak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Kalaupun kurang,
maklum saja. Karena orang tua juga memiliki batas kemampuan yang berbeda. Kadang tak mudah memberikan pemahaman seperti ini. Namun saya selalu berusaha menyemangatinya. Tidak
perlu melirik kanan dan kiri, berjalan lurus saja hingga mencapai garis finish.
^_^
Betul 3x. Fasilitas adalah pendukung. Yg penting semangatnya dan the man behind the gun��
BalasHapusRobotic emang mahal, Mbak Nur. Pernah dulu nanya pas liat pamerannya. Harganya cukup bikin tarik nafas panjang
BalasHapusCuman aku tetep aja takjub dengan otak anak-anak yang pandai robotic. Kok mereka cerdas amat gitu ya