Curhat Keuangan Bersama Anak-Anak, Yuk!
Selasa, 09 Oktober 2018
4 Komentar
“Dek,
jangan beli robot (robotik) dulu dong. Bulan ini ibu lagi banyak pengeluaran.”
“Robotnya
yang lego aja ya.” (lebih murah)
Ternyata
si anak tetap pada pendiriannya. Tidak bisa ditawar. Okelah, ayah dan ibu setuju
dengan kesepakatan bersama. Anaknya juga setuju. Jadi, kita lihat saja seberapa
taat terhadap kesepakatan kita.
***
Curhat keuangan kepada anak-anak menjadi bagian tak terpisahkan dalam diskusi kami siang itu. Minimal mereka paham seperti
apa keadaan orang tua. Jangan seenaknya sendiri minta ini itu. Merengek, marah
kalau tidak kunjung membeli barang yang diinginkan.
Ketika
curhat keuangan, saya tidak mengharapkan mereka kasihan kepada saya. Bukan
seperti itu. Saya lebih suka terbuka dalam koridor tertentu. Saya berharap
mereka bisa mengerti kerja keras ayahnya dalam mencari nafkah. Tidak boros
dalam membelanjakan jatah uang bulanan. Bisa membedakan mana keinginan dan kebutuhan.
Ya,
tidak semua keinginan bisa dipenuhi pleh orang tua. Ada kalanya saya merasa
mudah untuk membelikan sesuatu. Ada kalanya saya mesti memikirkan anggaran
belanja. Pos-pos mana yang mesti dikoreksi agar bisa memenuhi kebutuhan anak.
Masalah
keinginan ini berbeda jauh dengan kebutuhan. Andai sepatu si anak rusak parah,
mau tak mau saya mesti berangkat ke toko sepatu untuk membelikan sepatu baru. Kalau
yang seperti ini merupakan kebutuhan. Sementara jika mereka meminta model yang
bagus dan mahal, di luar budget, tentunya ini bakal mengganggu pos belanja yang
lain.
Ketika
saya mengeluh tentang keuangan ini, anak saya bilang, “Ibu kan tinggal ambil
uang di ATM!” ((TINGGAL AMBIL))
Memang
pikiran anak sederhana. ATM adalah mesin yang berisi uang. Tak peduli tabungan
kita masih gendut atau sudah kurus. Ya kan?
Berbeda
dengan membeli robot itu untuk ekstra robotik seperti contoh diatas. Robot dari
sekolah tidak mencukupi. Sekolah tidak ada dana untuk memperbarui robot yang
ada. Sementara anak saya pengen memiliki robot untuk bisa belajar. Tujuannya mengikuti
lomba selanjutnya. Sebenarnya permintaan ini sudah sejak tahun lalu. Saya
berharap si anak lupa. Hahaha.. Ternyata tidak. Tahun ini saya ditagih.
Masih
banyak lagi keinginan anak-anak yang minta segera dipenuhi. Karena saya yang
lebih banyak bersama anak-anak, saya cerita saja keadaan keuangan. Kadang memang
bukan masalah kami tidak mampu, namun memilah keinginan itu yang penting dan
tidak. Anak-anak harus belajar untuk mengerem keinginan. Sekali lagi, tidak
semua keinginan harus dipenuhi. Ini penting karena mereka harus siap ketika
keinginannya ditolak. Tidak perlu larut dalam kekecewaan.
Belum
lagi kalau anak-anak merasa membutuhkan hadiah. Seperti si bungsu yang sekarang
sudah berani pergi ke musholla terdekat untuk menunaikan sholat fardhu.
“Aku
sudah berani sholat di musholla. Aku dapat hadiah apa?” Rengek si bungsu.
Karena
minggu ini sedang PTS (Penilaian Tengah Semester) si anak pulang pagi. Biasanya
dhuhur dan ashar sholat berjamaah di sekolah, sekarang jadi di rumah. Sedangkan
sholat maghrib hingga shubuh bisa bareng kakaknya.
Pergi
ke musholla bagi tiap anak memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Kalau si
bungsu merasa berat karena tidak ada temannya, tidak ada yang dikenal. Bahkan di
musholla itu sering sepi. Sholat fardhu tidak ada seorangpun. Aduh... Yang ramai itu di masjid,
jaraknya lumayan jauh.
Andaikan
sehari dua kali si bungsu berani sholat berjamaah di musholla, tinggal
dikalikan saja hadiahnya selama lima hari ini. Sambil main-main saya menolak
secara halus. Saya yakin selalu ada cara untuk menghindari untuk memberikan reward seperti ini.
“Dek,
hari Minggu kemarin abis dibelikan jam tangan oleh ayah. Itu kan sudah hadiah. Nggak
diminta juga. Jadi sholat di musholla nggak pakai hadiah ya karena hadiahnya
sudah diterima adek.”
Anaknya
senyum-senyum girang. Sambil melirik jam tangan baru, dia berkata, “Harganya muahaal, ya?”
Rasanya
saya ingin tertawa, tapi saya tahan sekuatnya. Anak saya mana tahu itu jam
tangan mahal apa murah. Kalau cocok ya sudah dipakai saja. Beli di emperan toko,
anaknya sudah bahagia. Sepanjang hari dipakai kecuali sedang mandi dan wudhu.
Untuk
kedua kakaknya, sejak saya mulai memberi uang bulanan, mereka mesti bisa
mengatur keuangannya sendiri. Sayangnya karakter dua kakak yang berbeda
mengakibatkan tujuan mengelola keuangan jadi berbeda. Satu anak bisa sangat
irit, sampai saya tak tega. Satu anak lagi bisa sangat boros, meski saya sudah
berkali-kali memberikan peringatan keras. Yang begini ini menjadi tantangan
orang tua. Pastinya semua orang tua ingin anaknya sukses mengelola keuangan
sejak kecil.
Jadi,
ngobrol masalah keuangan bersama anak-anak itu rasanya nano-nano. Ngobrol
ringan saja, sebatas kemampuan si anak.
^_^
hehehe....
BalasHapusmenarik dan bermanfaat pengalamannya.
Nambah ilmu dan nambah wawasan bagaimana cara menghadapi anak anak.
# Terima kasih telah mau berbagi
Karakter anak-anak berbeda, jadi tantangan buat ortu.
HapusHihihi...lucu memang ya, tapi kadang kesel juga. anak-anak kan gak tau harga ya.
BalasHapusLha anak saya suka dengan entengnya ngomoong "Pap, besok beli mobil yuk ah? Kan bosen naik moter terus!" Lhaaa ya bingung juga mau jelasin panjang-panjang juga dianya gak bakalan ngerti
langkahnya tepat sekali mbak mengajarkan anak ttg keuangan. apalagi soal memberikan uang bulanan ke ke dua kakak. karena literasi keuangan itu tidak didapatkan di sekolah, padahal sangat vital.
BalasHapusmungkin mbak bisa membaca buku rich dad poor dad, ada versi indonesianya