Semanggi Suroboyo Bikin Kangen
Jumat, 05 Oktober 2018
6 Komentar
Saya
pernah tinggal di Surabaya selama tiga tahun. Selama itu tak sekalipun saya
mencicipi semanggi Suroboyo. Saya pikir sama saja dengan nasi pecel. Lha,
penampilan bumbunya yang coklat itu sama seperti bumbu pecel. Jadi, saya yang
sudah terbiasa makan nasi pecel tetap memilih nasi pecel saja.
Tahun
berganti dan saya masih sering ke Surabaya. Begini ya, Surabaya itu tidak jauh
dari Tuban. Kalau membawa kendaraan pribadi butuh waktu sekitar 2 jam lebih. Kalau
macet lebih lama, bisa sampai 3 jam. Apalagi kalau naik bus, wah ... waktu
sepertinya tidak bisa diajak kompromi.
Orang-orang
Tuban banyak yang pergi ke Surabaya untuk sekedar jalan-jalan, bertemu kerabat
dan kulakan (bisnis). Saya sejak kecil diajak orang tua ke Surabaya, ke pusat
perbelanjaan untuk belanja kebutuhan toko.
Nah,
ketika saya jalan-jalan di Surabaya, di tempat-tempat yang biasa saya datangi
dulu, rasanya seperti sedang napak tilas. Mau mampir ke rumah dinas, sudah
banyak teman-teman suami yang mutasi. Ya, sudah muter-muter saja.
Tempat
paling favorit kami adalah area Masjid Agung Surabaya atau masjid Al Akbar. Di sekitar
lokasi ini banyak sekali pedangan makanan. Padahal disamping masjid sudah
disediakan tempat untuk berjualan. Begitulah, beberapa bakul sudah pindah,
kemudian muncul bakul baru.
Karena
sering kesini dan melihat deretan bakul semanggi, saya tergoda juga. Seperti apa
sih semanggi Suroboyo itu. Kalau dipikir-pikir seperti lontong pecel, tapi
alangkah baiknya kalau benar-benar mencicipi baru komentar. Saya membeli satu
bungkus saja. Ya, dibungkus lebih aman. Bila tidak sesuai ekspektasi alias saya
tidak doyan, saya tidak malu di depan banyak orang.
Beli
satu bungkus tapi yang makan ramai-ramai. Ada suami dan anak-anak ikut
mencicipi. Jadinya saya kurang kenyang. Saya butuh makan lagi. Berikutnya kalau
beli dihitung per kepala saja, kecuali si bungsu.
Beli
semanggi ini ketika hari Minggu. Satu bungkus itu tidak banyak. Kalau bilang
semanggi ya dapatnya semanggi dan bumbunya plus kerupuk. Tapi kalau mau agak
kenyang bisa ditambah lontong beberapa iris. Seporsi semanggi ini sedikit, tapi
sudah cukup mengenyangkan bagi saya. Cuma kalau buat anak laki-laki, porsi ini
terlalu kecil. Sebentar saja sudah teriak minta makan lagi.
Waktu
itu hampir dhuhur saya keluar tol. Suasana di masjid agung Surabya sudah sepi. Saya
ragu apakah bakul semanggi masih ada. Eh, masih. Pembeli masih ada tapi satu
dua, tidak banyak seperti di pagi hari. lainnya, sepi. Tapi para bakul ini
tetap bertahan sambil tetap berharap dagangannya laris dan pulang.
Penjual
semanggi berada di trotoar samping masjid agung Surabaya. Kata si bakul, semua
penjual semnggi berasal dari daerah Benowo. Masih satu desa tapi beda RT. Satu sama
lain saling menyapa ketika berpapasan.
Di
Benowo, semanggi di budidayakan sehingga para bakul gampang mencarinya sebagai
bahan utama semanggi Suroboyo. Sekali beli semanggi dalam jumlah banyak karena untuk jualan. Saya belum pernah melihat penampakan sayur
semanggi yang masih segar dan belum diolah. Si ibu bakul tertawa mendengar
pengakuan saya. Dia membuka handphone dan menunjukkan gambar semanggi.
Kali
ini saya makan di tempat. Sambil menikmati semilir angin, saya bercakap-cakap
dengan bakulnya. Siang yang panas. Suami dan anak-anak berada di masjid untuk
menunaikan sholat dhuhur. Sedangkan saya...libur. Makanya saya bisa makan
dengan damai.
Yang
unik dari semnggi Suroboyo adalah bumbunya. Jadi bumbu semanggi ini terdiri
dari bumbu pecel yang dicampur dengan ubi. Ya, ubi yang biasa kita pakai
sebagai bahan kolak. Bisa juga digoreng dan dibuat aneka kue lezat. Tapi ubi
yang saya makan ini diolah menjadi bumbu. Ah, tidak terbayangkan ubi bisa
dijadikan bumbu semanggi yang lezat
Bumbu
semanggi ini tidak memakai daun jeruk. Ubi dihaluskan dan dicampur dengan bumbu
pecel. Tekstur ubi yang lembek dan berair menjadi kental. Tetap ditambahkan
sedikit air ketika mengaduk adonan bumbu.
Tekstur
bumbu semanggi adalah kental dan halus. Rasanya cenderung manis. Rasa pedasnya
sudah dikalahkan oleh ubi. Kalau sekilas memang mirip bumbu pecel karena
sama-sama berwarna cokelat.
Dalam
seporsi semanggi Suroboyo terdapat daun semanggi rebus, bumbu semanggi (tanaman paku air) dan
kerupuk puli (kerupuk dari beras). Semanggi dibungkus daun pisang dan dilapisi
kertas minyak. Mungkin karena zaman sudah berubah ya, peran daun diganti dengan
kertas minyak. Tapi kalau masih ada daun pisangnya, penampilan semanggi lebih
khas.
Yang
membedakan semanggi satu dan lainnya dalah bumbunya. Sekali orang cocok dengan
bumbunya, selanjunya bisa ditunggu kedatangannya lagi.
Harga
semanggi ini tidaklah mahal. Seporsi semanggi dijual dengan harga 10 ribu. Untuk
harga rasanya sudah cocok dengan makanan yang kita pilih. Sampai saat ini saya
baru mencoba semanggi Suroboyo di masjid agung Surabaya. Di tempat lain belum
pernah. Semoga ada kesempatan untuk hunting semanggi Suroboyo.
^_^
wih...weunaaak
BalasHapusIya, mbak.
HapusWajib dicari nih kalo ke Surabaya. Di Bandung nggak ada sih :D Eh tapi kalau bumbunya yang pakai ubi, di Bandung sebagian penjual lotek juga pakai ubi.
BalasHapusUbinya dikukus juga ya.
Hapusjadi ini tuh kaya semacam jenis lain dari pecel gitu ya.. kaya modifikasi dari pecel hehe
BalasHapus-Traveler Paruh Waktu
Variasi lain dari pecel. Miriplah.
Hapus