Menikah Bukanlah Suatu Perlombaan Untuk Menjadi Pemenang
Rabu, 27 Maret 2019
2 Komentar
Tadi
pagi saya ngobrol dengan dua teman baru. Biasa kan, ibu-ibu begitu kenalan
langsung bertanya ini itu. Contohnya, anaknya berapa, rumah dimana, di rumah
sibuk apa (baca: kerja apa). Pertanyaan tersebut kadang bikin bete. Tapi ya
tetap dijawab saja daripada bertemu teman-teman baru tapi diam saja karena
tidak mempunyai bahan cerita.
Nah,
tadi itu saya ikut cerita tentang keluarga. Anak pertama saya sudah
kuliah lalu dua adiknya masih sekolah. Entah bagaimana salah seorang teman
salah menghitung usianya. Akhirnya menyebutkan tahun kelahirannya. Kemudian kami ikut
menyebutkan tahun kelahiran juga.
Oww...
saya agak kaget ketika mendengar bahwa ibu A usianya lebih muda daripada saya
namun anaknya sudah lebih dulu kuliah. Kemudian dia berkata. “Tinggal nunggu menikahkan
anak.”
Diantara
kami, si ibu A itu yang paling muda tapi anaknya yang paling tua. Sampai dia
bilang nikah muda. Tidak juga. Saya menebak dia menikah usia dua puluh sekian.
Sekiannnya cuma sedikit.
Ada
yang menganggap menikah usia dua puluh sekian itu masih muda, Jadi dianggap
menikah muda. Tapi menurut saya tidak juga. Mau usia dibawah 20 atau lebih
kalau merasa masih muda ya dianggap muda. Gampang kan.
Saya
menikah setelah lulus kuliah. Waktu itu saya merasa terlalu cepat menikah karena hampir semua teman kuliah
ingin bekerja dulu. Kalaupun ada yang sudah menikah saat kuliah (sepertinya hanya
dua orang) saya percaya mereka memiliki jalan yang berbeda. Sedangkan saya
termasuk ke dalam golongan yang ingin bersenang-senang selama masih single.
Masa depan depan seperti apa, rasanya masih kabur. Mohon jangan ditiru!
Dulu, Menikah Karena
Apa?
Kalau
sekarang ada pertanyaan seperti itu saya pasti akan menjawab menikah karena
Allah. Menikah untuk menyempurnakan agama. Menikah untuk ibadah. Menikah untuk
menjaga diri. Kemudian calon yang datang agamanya baik, dsb... Jawab sesuai
dengan apa yang seharusnya saya yakini.
Namun
masa menjelang menikah adalah masa sulit. Saya mengatakan ini berat. Karena
akan berlangsung seumur hidup. Tidak bisa salah pilih orang. Tidak bisa
main-main. Tidak bisa untuk urusan senang-senang. Seperti saya yang ketika
dapat uang dari ngajar privat langsung buat belanja dan jalan.
***
Tadi
kami tertawa membicarakan tentang keluarga. Ibu-ibu seperti kami juga senang
mengenang masa muda. Masa ketika kami masih labil tapi memutuskan untuk menikah.
Jadi
menikah karena apa?
Alasan
menikah kami pada dasarnya sama karena sudah ada calon yang cocok di hati orang
tua. Penting banget buat mendapatkan ridha orang tua. Tidak muluk dan tidak aneh,
sih.
Mau
mencari yang bagaimana lagi? Bukankah sudah datang lelaki yang baik? Mau
berharap untuk yang lebih dari ini? Lalu ingat usia, ah masih muda, masih ingin
bekerja, masih ingin berkelana. Tapi rasanya sudah siap menikah. Ah galau dan
hopeless...
“Ada
yang cocok, ayo nikah!” begitu kata teman.
Saya mengangguk setuju!
Saya mulai mengingat apa dulu menjadi pertimbangan saya. Bukan...bukan saya!
Namun pertimbangan orang tua karena saya dan suami bisa saling kenal karena
orang tua. Alias dijodohkan.
Rasanya tidak ada. Saya ingin patuh, bakti pada orang tua. Apa yang diinginkan orang tua ada pada diri suami. Mungkin seperti itu. Sementara saya masih blank. Tapi saya menyimpan keyakinan bahwa calon saya ini orang baik.
Usia bukan tolok ukur
kesiapan menikah
Berapa
usia ideal untuk menikah bagi wanita? Ada patokannya? Ada alasannya?
Berdasarkan
survey dari Tirto adalah usia 20-23. Karena masyarakat kita beranggapan di
rentang usia tersebut, wanita mampu hamil, melahirkan dan mengurus anak. Almarhumah
ibu saya juga sependapat. Dulu saya sempat galau, aduh mengapa disuruh menikah.
Pikiran saya masih jauh menuju tahap ini.
Ibu
saya menjelaskan dengan gamblang bahwa jika saya menikah di usia itu, saya
berada di usia produktif. Bisa hamil dan melahirkan 2 anak sebelum usia 30
tahun. Saya masih akan cukup kuat untuk mengurus anak-anak. Faktanya, anak
ketiga saya lahir setelah saya berusia 30 tahun plus sekian. Terakhir saya
hamil menjelang usia 35 tahun namun keguguran.
Bagi
saya usia menikah itu relatif, ya. Saya tidak suka ketika orang mengatakan
untuk segera menikah agar cepat punya anak. Atau agar tidak menjadi bahan
pembicaraan orang kampung. Pernikahan itu bukan untuk lomba. Siapa yang cepat
dia menang. Memang dapat hadiah apa?
Usia
menikah bagi saya sangat pribadi. Tidak bisa disamakan satu orang dengan
lainnya. Orang desa banyak yang menikah dibawah usia 20 tahun dan baik-baik saja (langgeng). Usia tersebut
dianggap sudah matang. Sudah tepat untuk berumah tangga.
Berapapun
usia menikah, itulah usia ideal kita. Karena jodoh datang di saat yang tepat. Siap atau tidak kalau sudah melangsungkan
pernikahan artinya sudah siap mengarungi bahtera rumah tangga. Sudah siap
dengan segala resiko baik dan buruk pasangan.
Kalau
saya merasa berada di usia yang labil saat memutuskan menikah. Kata suami saya
masih “anak-anak”. Hahaha...(jujur amat sih). Namun
karena dia sudah siap (termasuk siap membimbing saya ke jalan yang benar), maka apapun masalah yang dihadapi insyaallah ada
solusinya jika mau ikhtiar. Dengan berjalannya waktu kami sama-sama belajar. Kadang
merasa tidak cocok, ya wajar. Lha, saya dan suami bertolak belakang hobi,
passion, dsb. Tapi bagaimana menyikapinya itu yang mesti dilakukan.
Ketika ada orang yang berjodoh karena mereka cocok, enak diajak ngobrol alias
nyambung kadang saya sempat merasa iri. Saya dan suami tidak bisa seperti itu.
Tapi kami memiliki toleransi yang tinggi. Tidak mempermasalahkan hal-hal
seperti ini. Yang penting tujuan akhir perjalanan kami di dunia ini sama,
insyaallah.
Jadi, lupakan target usia ideal menikah. Syukur-syukur kalau bisa tercapai. Namun sesungguhnya menikah itu karena kita siap! Bismillah. Bukan karena ingin berlomba lepas dari status jomblo, atau lainnya. Menikah atas kesadaran sendiri, bukan karena terpaksa. Menikahlah karena Allah.
Jadi, lupakan target usia ideal menikah. Syukur-syukur kalau bisa tercapai. Namun sesungguhnya menikah itu karena kita siap! Bismillah. Bukan karena ingin berlomba lepas dari status jomblo, atau lainnya. Menikah atas kesadaran sendiri, bukan karena terpaksa. Menikahlah karena Allah.
^_^
Dear mom, saya nikah usia 23th sekarang mau annive ke 5 dan udah ada anak usia 2th dan belum kepikiran kapan promil lagi soalnya 1 aja ini harus diurus hihi tfs ya mom
BalasHapusKetika seseorang nggak mampu membanggakan isi kepalanya, maka mau nggak mau dia membanggakan kelaminnya. Karena cuma itu yang dia bisa.
BalasHapusMereka yang menikah karena Tuhannya, akan dijadikan pernikahan itu sebagai ibadah, bukan ajang perlombaan.