Dari Museum Wayang Jakarta: Mari Kita Rawat Cagar Budaya Indonesia, Kita Kelola Jejak Peradaban Untuk Generasi Muda
Rabu, 20 November 2019
15 Komentar
Siang
yang terik. Pengunjung kota tua seolah tak mempermasalahkan suhu udara di musim
kemarau yang menyengat. Sebagian besar berada di lapangan, mengayuh sepeda,
memotret, jalan-jalan atau keliling bangunan-bangunan kuno yang merupakan cagar
budaya di Jakarta.
Beberapa
bangunan besar digunakan sebagai museum. Salah satunya adalah Museum Wayang. Gambar
tokoh wayang terpampang di depan pintu masuk. Di atas pintu masuk ada tulisan
Museum Wayang.
Saya bergegas bergabung dalam barisan pengunjung di depan pintu masuk Museum Wayang. Dalam antrean yang mengular itu, saya mendengarkan petugas keamanan memperkenalkan kartu bergambar Museum Wayang yang bisa digunakan sebagai alat bayar untuk masuk tempat-tempat wisata hingga transportasi umum di Jakarta.
Saya bergegas bergabung dalam barisan pengunjung di depan pintu masuk Museum Wayang. Dalam antrean yang mengular itu, saya mendengarkan petugas keamanan memperkenalkan kartu bergambar Museum Wayang yang bisa digunakan sebagai alat bayar untuk masuk tempat-tempat wisata hingga transportasi umum di Jakarta.
Perlahan,
saya berhasil menginjakkan kaki ke gedung museum. Saya membayangkan seperti
apakah wayang yang menjadi koleksi museum ini. Yang ada dalam benak saya hanya wayang kulit
dengan tokoh Pandawa 5 (Yudhistira, Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa) dan
Punakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong). Lainnya masih terlalu sulit saya
ingat.
Beberapa
waktu lalu, ada pelajaran bahasa daerah (bahasa Jawa) anak saya tentang wayang.
Saat itu grup whattsapp wali murid ramai dengan berbagai keluhan. Semuanya
mengeluhkan betapa pelajaran wayang ini makin sulit. Kami yang asli orang Jawa tidak
familiar dengan tokoh-tokoh pewayangan.
Sayang
sekali, tidak ada tindak lanjut dari sekolah. Kata wali kelasnya, memang
seperti itu pelajarannya. Suka atau tidak tetap anak-anak harus belajar
menghafal. Pelajaran tentang wayang inipun tuntas ketika ada penilaian dari
sekolah. Setelah itu, anak-anak melupakannya.
Saya
tidak membayangkan dalam 10 atau 20 tahun mendatang, akankah wayang masih ada
dalam ingatan anak-anak Indonesia? Jika dalam pelajaran bahasa daerah hanya
sebagai pelengkap saja, akankah mereka mengenal pesan moral dalam seni wayang?
Akankah mereka masih menggenggam erat warisan budaya luhur ini?
Sungguh,
pertanyaan demi pertanyaan tersebut seolah menjadi pisau yang menghujam di
dada. Menyakitkan! Ketika generasi muda sekedar tahu bahwa wayang identik
dengan barang kuno, dan hiburan untuk orang-orang tua. Bentuk-bentuk wayang
hanya pajangan di museum-museum. Ya, wayang yang terlibas oleh pusaran waktu.
Seni Wayang: Tak Kenal Maka Tak Sayang
Wayang
yang telah dikenal sejak zaman purba merupakan perwujudan bayang-bayang nenek
moyang. Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme, roh nenek moyang yang telah
lama mati dianggap sebagai pelindung bagi manusia yang masih hidup. Roh tersebut
tinggal di bukit-bukit, gunung-gunung, pohon besar dan benda-benda lainnya.
Menurut
penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum
agama Hindu masuk ke pulau Jawa. Namun cerita wayang yang populer di masyarakat
masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan
Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami perubahan
dan penambahan sesuai dengan falsafah asli Indonesia.
Wayang yang sering saya lihat adalah wayang kulit. Itupun karena saya pernah menonton pagelaran wayang kulit sepintas. Kadang gambar lakon wayang menjadi benda pajangan di rumah-rumah kuno. Di beberapa daerah Jawa, pagelaran wayang kulit masih diadakan ketika ada orang memiliki hajat misalnya khitanan, pernikahan, perayaan hari jadi, sedekah bumi, dsb.
Selain
wayang kulit, Indonesia mengenal bermacam-macam jenis wayang. Satu daerah
dengan daerah lain bisa sangat berbeda. Itulah yang membuat budaya bangsa ini
makin kaya. Makin berkarakter.
Jenis-jenis wayang menurut bahan pembuatannya:
Wayang Kulit
- Wayang Purwa
- Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta
- Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
- Wayang Madya
- Wayang Gedog
- Wayang Dupara
- Wayang Wahyu
- Wayang Suluh
- Wayang Kancil
- Wayang Calonarang
- Wayang Krucil
- Wayang Ajen
- Wayang Sasak
- Wayang Sadat
- Wayang Parwa
- Wayang Arja
- Wayang Gambuh
- Wayang Cupak
- Wayang Beber
Wayang Bambu
- Wayang Golek Langkung
Wayang Kayu
- Wayang Golek/Wayang Thengul
- Wayang Menak
- Wayang Papak/Wayang Cepak
- Wayang Klithik
- Wayang Timplong
- Wayang Potehi
- Wayang Golek Techno
- Wayang Ajen
Wayang Orang
- Wayang Gung
- Wayang Topeng
Wayang Motekar
- Wayang Plastik Berwarna
Wayang potehi
- Wayang potehi
Wayang Rumput
- Wayang Suket
Jenis-jenis wayang menurut asal daerah
Beberapa
seni budaya
wayang selain menggunakan bahasa Jawa, Sunda, dan Bali, ada juga yang
menggunakan bahasa Melayu lokal seperti bahasa Betawi, Palembang dan Banjar.
Beberapa diantaranya adalah:
Wayang Surakarta
- Wayang Jawa Timur
- Wayang Bali
- Wayang Sasak (NTB)
- Wayang Kulit Banjar (Kalimantan Selatan)
- Wayang Palembang (Sumatra Selatan)
- Wayang Betawi (Jakarta)
- Wayang Cirebon (Jawa Barat)
- Wayang Madura (sudah punah)
- Wayang Siam (Kelantan, Malaysia)
Sejarah Museum Wayang Jakarta
Museum Wayang terletak di Jalan Pintu Besar utara No. 27 Jakarta Barat. Dahulu, bangunan ini merupakan gereja tua yang didirikan VOC pada tahun 1640 dengan nama de oude Hollandsche Kerk sampai tahun 1732. Pada tahun berikutnya terjadi perubahan nama menjadi de nieuwe Hollandsche Kerk.
Pada
tahun 1808 bangunan ini mengalami kerusakan akibat gempa bumi. Genootshap van Kunsten en Wetwnschappen yaitu
lembaga yang menangani pengetahuan dan kebudayaan Indonesia membeli bangunan
ini. Oleh lembaga ini, bangunan ini diserahkan kepada Stichting Oud Batavia
pada tanggal 22 Desember 1939 dijadikan museum dengan nama Oude Bataviasche Museum atau Museum Batavia Lama.
Pada tahun 1957 bangunan ini diserahkan
kepada Lembaga Kebudayaan Indonesia dan pada tanggal 17 September 1962
diberikan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI yang selanjutnya
diserahkan kepada Pemerintah DKI Jakarta pada tanggal 23 Juni 1968 untuk
dijadikan Museum Wayang. Museum Wayang diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta
Bapak H. Ali Sadikin pada tanggal 13 Agustus 1975.
Museum Wayang dibangun dengan tujuan untuk memberikan
edukasi kepada masyarakat khususnya anak muda mengenai wayang sebagai salah
satu seni khas Indonesia yang harus terus dipertahankan dan dikembangkan.
Selain itu, Museum Wayang berfungsi untuk meningkatkan eksistensi wayang di
Indonesia.
Jejak-Jejak Peradaban Bangsa di Museum Wayang Jakarta
Untuk pertama kalinya, saya memasuki
ruangan-ruangan dengan lebih dari 4.000 koleksi wayang. Setiap koleksi dilengkapi
dengan informasi tentang nama tokoh wayang, asal usul, ciri khas dan
sebagainya. Dari satu tokoh ke tokoh wayang berikutnya seolah mengajak saya
untuk mengenal berbagai karakter manusia, sikap maupun perilaku lakon dari
berbagai daerah. Ya, ada jejak-jejak peradaban bangsa yang rasanya sayang kalau cuma
untuk dilihat-lihat saja.
Sejumlah koleksi wayang dari penjuru
tanah air meliputi wayang kulit, wayang golek, patung wayang, wayang mainan, topeng
wayang, wayang beber, wayang kaca, gamelan, serta lukisan-lukisan wayang. Dari museum
wayang Jakarta, semakin bertambah pengetahuan saya. Semakin saya bangga dengan
budaya bangsa.
Selain itu ada juga berbagai koleksi wayang dan boneka dari negara-negara sahabat yaitu Malaysia, Thailand, Surinama, Cina, Vietnam, Perancis, Rusia, Polandia, India, dan Kamboja. Berkunjung ke museum wayang bukan sekedar mencari hiburan atau untuk update media sosial kita. Museum Wayang bisa dijadikan tempat pelatihan, pusat dokumentasi, dan penelitian pewayangan, serta dapat dijadikan media pengetahuan budaya antar daerah dan antar bangsa. Untuk mendukung keberadaannya, museum ini secara berkala melakukan perubahan tata pamer, pagelaran wayang dan antraksi pembuatan wayang. Jadwal pagelaran bisa dilihat pada banner yang dipasang di depan museum.
Cagar
Budaya Milik Kita, Rawatlah dengan Sepenuh Jiwa!
Menurut UU RI Nomor 11 tahun 2010, suatu bangunan dapat digolongkan dalam cagar budaya dengan kriteria sebagai berikut:
Benda, bangunan atau struktur dapat diusulkan sebagai cagar budaya, bangunan cagar budaya atau struktur cagar budaya apabila memenuhi kriteria:
1. Berusia
50 tahun
2. Mewakili
masa gaya paling singkat berusia 50 tahun. Yang dimaksud dengan masa gaya
adalah ciri yang mewakili masa gaya tertentu, yang berlangsung
sekurang-kurangnya 50 tahun, antara lain tulisan, karangan, pemakaian bahasa
dan bangunan rumah, misalnya gedung Bank Indonesia yang memiliki gaya
arsitektur tropis modern Indonesia pertama.
3. Memiliki
arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau
kebudayaan.
4. Memiliki
nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Museum
Wayang Jakarta memenuhi kriteria diatas karena sampai tahun ini sudah berumur 379
tahun. Bangunan ini cukup lama bertahan karena peran serta pemerintah untuk
melakukan renovasi dengan tetap mempertahankan keasliannya.
Bangunan
Museum Wayang bergaya arsitektur Eropa kuno, yang memiliki ciri dinding
tembok tebal dengan langit-langit yang tinggi. Daun pintu dan jendala berukuran
cukup lebar terbuat dari kayu jati masif. Terdiri dari dua lantai, bagian bawah
dipergunakan sebagai sekretariat Yayasan Nawangi dan kantor museum. Di tengah
ruangan lantai bawah, terdapat sebuah taman, dimana beberapa pejabat tinggi
Hindia Belanda dikuburkan di tempat tersebut.
Pada
saat saya berkunjung, museum sedang dalam perbaikan. Di lantai atas hingga
bawah. Namun perbaikan gedung tidak membuat museum ditutup untuk umum.
Perbaikan tersebut dilakukan di sebagian tempat. Setelah selesai, berganti
dengan bagian lainnya. Sehingga pengunjung masih bisa melihat sebagian koleksi
museum sambil mendengarkan instrumen gamelan.
Sayang
sekali, di ruangan-ruangan museum wayang ini tidak ada pemandu wisata. Namun jika
kita ingin mendapatkan informasi lengkap bisa bertanya kepada petugas saat itu.
Saya berharap, pihak museum bisa bekerja sama dengan relawan dan komunitas
cagar budaya agar edukasi kepada masyarakat lebih mudah. Beberapa komunitas
cagar budaya yang bisa kita ikuti adalah Cagar Budaya Id (@cagarbudayaid) yang
memiliki berbagi informasi tentang cagar budaya dan kegiatan wisata cagar
budaya di Indonesia. Ada juga malam museum yang memiliki kegiatan Kids in Museum dan jelajah museum malam hari.
Merawat
cagar budaya apakah cukup dengan perbaikan saja?
Tidak! Perbaikan bangunan maupun
koleksi harus dibarengi dengan melestarikan seni pewayangan. Bangunan museum tetap
menjadi tempat pembelajaran, sedangkan seni pewayangan tetap hidup di
tengah-tengah masyarakat. Hidup di hati kita!
Wayang kulit sudah diakui oleh UNESCO
pada tanggal 7 November 2003 sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam
bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga. Sayang saja jika
perjalanan wayang hingga mendapat pengakuan ini terabaikan oleh generasi muda. Karena
mereka tidak tahu, tidak merasa memilki dan tidak peduli.
Saya rasa perlu untuk menjembatani cita-cita
generasi tua dan muda. Membuat regenerasi pegiat wayang dan memperbanyak komunitas pecinta sejarah dan budaya. Mulai saja dari diri
sendiri. Kita bisa ikut melestarikan wayang dengan cara:
1.
Mengenalkan
wayang kepada anak-anak
2.
Membuat
pagelaran wayang secara rutin
3.
Memasukkan
wayang dalam pelajaran sekolah
4.
Membuat
festival dalang, kompetisi wayang dan penulisan
5.
Mengemas
wayang secara modern dan mudah dimengerti
Kesenian
tradisional tidak harus ditampilkan sesuai dengan pakem-pakemnya sehingga
terkesan kaku dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Contohnya pagelaran
wayang orang dengan judul Arjuna Galau di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dengan
durasi 4,5 jam. Pagelaran wayang ini didukung artis Maudy Koesnaedy dan Wulan
Guritno mampu menarik perhatian penonton. Oleh Jaya Suprana disebut Wayang
Gaul. Seni wayang berkolaborasi dengan budaya lain (breakdance, rap, dll),
tidak monoton dan dengan bahasa yang mudah dimengerti sehingga lebih dekat
dengan generasi muda. Dengan cara tersebut nilai-nilai luhur bangsa ini tetap
tersampaikan dengan baik.
Sumber: detik |
Saya berharap hal yang sama pada pagelaran wayang kulit dan wayang-wayang lainnya. Ada regenerasi dalang untuk bisa diterima dengan baik di semua kalangan. Munculnya dalang-dalang cilik dari festival dalang maupun karena bakat dan minatnya merupakan kabar baik. Ada Gymna Cahyo Nugroho yang pernah menampilkan Lakon Gatotkaca di KBRI Washington, Amerika Serikat. Pramariza Fadhlansyah dan Rafi Ramadhan pernah tampil di India dan Rusia.
Sebagai orang tua, saya harus banyak belajar warisan budaya ini agar kelak ada penerusnya. Mengenal wayang tidak boleh berhenti pada saya. Berhenti artinya musnah! Sebaliknya, harus berkelanjutan pada anak keturunan saya dan seterusnya. Ditangan merekalah, pelestarian budaya itu. Mulailah dengan mengenalkan tokoh-tokoh wayang atau superhero dengan berbagai nilai-nilai kepahlawanan.
Mengenalkan wayang kepada anak, bisa dilakukan dengan berbagai media seperti boneka dan mainan. Karena tidak semua anak bisa menerima kehadiran wayang. Bentuk wayang bisa jadi sebuah trauma. Tentu kita tidak ingin warisan budaya menjadi hal menakutkan. Kita bisa menghadirkan seni wayang sesuai dengan usia dan pemahaman anak. Dengan memilih boneka, kita bisa lebih dekat dengan dunia imajinasi anak. Di Museum Wayang ada koleksi boneka Si Unyil yang pernah hits di era 90an.
Selain
dengan media boneka, kita bisa membuat wayang dari kardus atau rumput. Di museum wayang ada contoh wayang
dari rumput kering yang disebut wayang mainan. Bagi saya ini cukup menarik.
Karena untuk penyampaian sejak dini, anak-anak harus memiliki rasa senang. Begitu
juga orang tua dan guru pengajar. Ketika kita sudah senang, maka mudah saja
untuk mempelajarinya.
Nah,
teman-teman boleh dong, sharing upaya
untuk melestarikan cagar budaya Indonesia di kolom komentar ya. Terima kasih.
^_^
Sumber
bacaan:
- https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/UU_Tahun2010_Nomor11.pdf
- http://staff.ui.ac.id/system/files/users/darmoko/material/beberapapendapatasal-usulwayangdiindonesia.pdf
- Brosur 'Museum Wayang'. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
- https://id/wikipedia.org/wiki/Wayang
- https://situsbudaya.id/sejarah-museum-wayang-jakarta/
- https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt58e85f1db5483/kriteria-sebuah-bangunan-ditetapkan-sebagai-cagar-budaya/
- http://edupaint.com/jelajah/8091-bangunan-museum-wayang-di-jakarta
- https://thecrazymuseum.wordpress.com/2018/05/10/museum-wayang-jakarta/
- https://brainly.co.id/tugas/2302124
- https://www.pusakapusaka.com/melestarikan-budaya-indonesia-melalui-wayang-orang.html
- https://www.hipwee.com/list/yuk-kenali-5-komunitas-pecinta-sejarah-dan-budaya-di-indonesia/
- https://news.detik.com/berita/d-2979856/ini-gymna-dalang-cilik-dari-gunungkidul-yang-beraksi-ciamik-di-washington-dc
- https://kumparan.com/kumparannews/duo-dalang-cilik-ini-mahir-mainkan-wayang-hingga-rusia-dan-india
- Wawancara dengan guru PAUD, TK, SD dan pegiat literasi
salah satu kekayaan budaya kita nih. Sayang kalo sampe musnah tertelan zaman
BalasHapusHarus kita rawat.
HapusCagar budaya emang kudu dijaga ya, biar gak hilang dan terus dapat menjadi saksi sejarah
BalasHapusCagar budaya adalah tanggung jawab bersama.
HapusSemoga hari demi hari akan terlahir anak - anak yang menyukai dan melestarikan wayang. Sehingga wayang akan selalu eksis dimasa akan datang.
BalasHapusOhy...saya suka permainan wayang golek loh....soalnya lucu, apalagi yang memainkannya adalah anak - anak. Lucu bangetz.
Kalau di daerah saya masih sering ada wayang kulit.
HapusKalau di tempat saya Wayang masih sering dipertunjukkan. Bahkan beberapa bulan lagi bakal ada pementasan wayang kulit di Desa saya
BalasHapusSemoga tetap lestari seni wayang.
HapusKalau di desa saya masih ada pertunjukan wayang meskipun sudah sangat jarang. Itu pun penontonnya rata-rata sudah berusia lanjut
BalasHapusSama, di daerah saya juga gitu.
HapusDi kampungku, wayang masih sering ada mbak. Biasanya kalau pas sunatan atau nikahan. Terutama yang sunat atau nikah anak satu2nya. Wajib nanggap wayangan.
BalasHapusIya mbak, sunatan, nikahan masih sering ya.
HapusPadahal dulunya wayang adalah alat penyebaran informasi dan pembelajaran ya. Sekarang mempelajari wayang saja susah. Sungguh suatu ironi.
BalasHapusIya, susah banget.
HapusMakasih mbk Nur sudah diajak jalan2 ke museum wayang plus diceritain pula segala hal ttg wayang. Berharap bgd wayang tetap lestari sbg warisan yg membanggakan utk generasi penerus bangsa selanjutnya.
BalasHapus